MENJELANG transisi pemerintahan, tantangan berat dihadapi Indonesia dalam mewujudkan visi Indonesia emas 2045. Geopolitik global memperpanjang perlambatan ekonomi sejak pandemi covid-19 dan belum pernah pulih sejak 2008. Bahkan, Bank Dunia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global dalam lima tahun terakhir sebagai yang terburuk dalam 30 tahun.

Tentu kita bersyukur mampu menstabilkan pertumbuhan ekonomi nasional di atas rerata global. Namun, pertumbuhan tersebut tidak akan bisa melepaskan kita dari middle income trap. Dibutuhkan pertumbuhan hampir dua kali lipat dari capaian satu dekade terakhir agar minimal threshold sebagai negara maju terpenuhi.

Transformasi ekonomi untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi memerlukan keberlanjutan dan akselerasi di beragam sektor dan wilayah. Saat ini denyutannya hanya terasa di kota-kota besar. Ambisi kolektif bangsa untuk menjadi negara maju belum terasa di desa, tempat tinggal lebih dari 40% penduduk Indonesia, meskipun dukungan kebijakan atau kucuran pendanaan dari pemerintah dalam 10 tahun terakhir sangat besar.

Bagaimana memampukan desa bertransformasi untuk mewujudkan Indonesia maju 2045?

Kondisi ekonomi global dan Indonesia

Baca Juga: Akar Persoalan KDRT, Bisakah Diatasi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir +5% (kecuali 2020-2021). Capaian yang patut disyukuri ketika rerata pertumbuhan ekonomi dunia menurun menjadi 2,4% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Tahun ini, Bank Dunia memproyeksikan negara berkembang tumbuh 3,9%, negara berpendapatan tinggi tumbuh 1,2%, dan negara berpendapatan rendah tumbuh 5,5%. Ketiga kategori tersebut turun jika dibandingkan dengan capaian tahun lalu dengan geopolitik menjadi risiko utamanya.

Untuk 2025, Bappenas menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%-5,6% dengan kawasan timur Indonesia tumbuh lebih tinggi 1,4%-1,6% jika dibandingkan dengan kawasan barat Indonesia. Pertumbuhan tertinggi akan dialami oleh Maluku Utara (14,9%-16%), Sulawesi Tenggara (12,7%-13,3%), lalu diikuti oleh Papua Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara. Meskipun jauh di atas rerata nasional, kontribusi perekonomian daerah tersebut relatif kecil.

Kondisi desa saat ini

Data Kemendes PDTT mencatat sebanyak 75.261 desa di seluruh Indonesia menjadi wilayah dari 6.554 kecamatan, 434 kabupaten, dan 36 provinsi. Dari jumlah tersebut, pembangunan desa diklasifikasikan menjadi 5: desa sangat tertinggal, tertinggal, berkembang, maju, dan mandiri. Desa mandiri memiliki skor indeks desa membangun (IDM) lebih dari 0,8155 dengan klasifikasi desa yang lain di bawahnya.

Desa berkembang menjadi klasifikasi terbanyak (38,22%) lalu diikuti desa maju (30,61%), desa mandiri (15,22%), dan sisanya desa tertinggal serta sangat tertinggal. Klasifikasi IDM tersebut merupakan indeks komposit dari indeks ketahanan sosial, indeks ketahanan ekonomi, dan indeks ketahanan ekologi/lingkungan. Sebagai program nasional, penyusunan IDM itu melibatkan validasi yang berjenjang dan hasilnya dapat digunakan dalam memformulasi, mengeksekusi, dan mengawasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah desa di seluruh Indonesia.

UU Nomor 6 2014 merupakan dukungan nyata pemerintah Indonesia sebagai wilayah istimewa sesuai dengan adat dan tradisinya. Tidak hanya status, terdapat juga peningkatan dana desa (DD) dari Rp280 juta (2015) menjadi Rp1,1-Rp1,3 miliar per desa (2023) dengan persentase penyerapan 99%. Bahkan, staf ahli Kemendes PDTT mencatat akumulasi dana desa, dana alokasi khusus yang tersalur ke desa, serta alokasi dari kementerian dan lembaga mencapai rata-rata Rp5,6 miliar per desa.

Hasilnya? selama 2015-2023, jumlah desa mandiri naik dari 174 menjadi 11.456. Jumlah desa maju juga meningkat signifikan dari 3.608 menjadi 23.035. Sebaliknya, desa tertinggal menurun dari 33.592 menjadi 7.154. Terkait dengan kemiskinan di desa, BPS melaporkan penurunan dari 14,21% (2015) menjadi 12,2% (2023). Tentu akan lebih baik jika ada data PDRB dan pertumbuhan ekonomi per desa yang saat ini belum ada di BPS.

Kemampuan desa untuk transformasi

Kinerja organisasi, baik swasta maupun publik, berorientasi laba maupun nirlaba, tergantung dari kemampuannya dalam mengelola perubahan ketika lingkungan secara konstan juga berubah. Studi yang kami lakukan di Center of Dynamic Capabilities Universitas Airlangga melaporkan hal tersebut (Sukoco dkk., 2021, 2022, 2023, 2024). Kemampuan melakukan perubahan itu terdiri atas tiga hal: pembelajaran, proses, dan budaya. Ketika organisasi mampu belajar dari eksternal dan memadukannya dengan kemampuan yang telah dimiliki, berarti langkah pertama telah on the right track.

Sebagai ilustrasi, skor IDM desa-desa yang ada di Kecamatan Denpasar Selatan (0,974) dan Kuta Utara (0,973) dengan pariwisata pantai sebagai andalannya. Adapun desa-desa di Kecamatan Batu Layar, Pantai Senggigi, NTB, (0,786) atau Kecamatan Komodo, Labuan Bajo, NTT, (0,663). Desa yang mengandalkan pariwisata pantai di seluruh Indonesia perlu belajar bagaimana peran pemerintah desa di dua kecamatan Bali tersebut dalam melakukan pembangunan ekonomi, sosial, dan ekologi mereka.

Bagaimana pembagian peran pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Tentunya perlu mempelajari roadmap menjadikan desanya mandiri dan bahkan lebih baik dari yang ada di Bali dalam lima tahun ke depan.

Positioning yang jelas dari tiap-tiap desa akan memberikan visualisasi perubahan yang akan dilakukan oleh pemerintah desa. Visualisasi dengan waktu yang jelas akan menyatukan fokus, pikiran, dan energi masyarakat desa untuk mewujudkan visi desa mereka masing-masing. Desa wisata pantai seperti di Bali, agrowisata seperti Desa Bumiaji Kota Batu, kain tenun tradisional di Desa Pandai Sikek dekat Bukittinggi, atau wisata sejarah dan yang lain.

Perlu fasilitas pemerintah kabupaten/kota atau provinsi agar pemerintah desa memiliki benchmark yang tepat untuk positioning yang akan dituju. Misalnya, bagaimana desa Wonosalam di Kabupaten Jombang memiliki kemandirian seperti Desa Bumiaji di Kota Batu, tetapi menjadikan durian sebagai produk andalannya. Bahkan, desa-desa yang sudah bagus perlu belajar ke negeri jiran untuk belajar ke distrik Mueang Nonthaburi di Thailand atau distrik Tanah Merah di Kelantan Malaysia agar potensi agowisata durian sebagus mereka.

Pembelajaran itu perlu ditindaklanjuti dengan perubahan proses. Statistik Keuangan Pemerintah Desa 2022-2023 menunjukkan bahwa belanja untuk pemberdayaan masyarakat hampir 11%. Pengeluaran terbesar terjadi pada penyelenggaraan pemerintah desa (36,78%) dan pelaksanaan pembangunan desa (35,35%).

Saat ini pemerintah memiliki program P3PD (penguatan pemerintahan dan pembangunan desa) yang melibatkan Kemendagri, Kemendes PDTT, Kemenko PMK, dan Kementerian PPN/Bappenas. Perlu ditetapkan desa-desa percontohan berdasarkan skor IDM atau PDRB desa (bila ada). Targetnya sederhana, bagaimana meningkatkan PDRB desa meningkat dua kali lipat dalam luma tahun mengandalkan sektor unggulannya (misalnya agrowisata durian, wisata laut).

Sektor unggulan tersebut perlu diikuti dengan pengembangan lainnya, misalnya wisata kuliner berbasis durian, budi daya durian, dan lain-lain. Tentu keterlibatan aktif BUM-Des dan masyarakat menjadi salah satu tolok ukurnya. Proposal yang layak untuk dieksekusi dan tingkat keberhasilan yang tinggi akan mendapatkan tambahan dana Rp10 miliar (klaster desa mandiri) dalam lima tahun ke depan dan tidak boleh digunakan untuk penyelenggaraan ataupun pembangunan desa.

Karena kompetitif dan bergengsi, tiap provinsi hanya diwakili oleh delapan desa untuk sektor unggulan yang berbeda. Pendanaan untuk klaster maju sebesar Rp5 miliar untuk lima tahun dengan wakil delapan desa per provinsi untuk sektor unggulan yang berbeda. Dengan anggaran kurang dari Rp900 miliar, akan terdapat 288 desa model yang akan memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 15% per tahun.

Tiap tahun, sebanyak 288 kepala desa akan diundang oleh presiden dalam Upacara Hari Kemerdekaan Indonesia di IKN. Lima kepala desa terbaik akan mempresentasikan progress pembangunan desa mereka ke presiden. Hal itu salah satunya akan membentuk budaya kompetitif untuk mengontribusi­kan yang terbaik kepada bangsa di level desa. Penduduk desa akan menunjukkan kontribusi terbaik mereka dalam memba­ngun desa. Budaya kompetitif dan saling belajar satu sama lain merupakan langkah ketiga dalam memampukan desa untuk melakukan perubahan–kapabilitas perubahan desa.

Rekomendasi

Dalam rencana pembangunan ke-14 (2021-2025), pemerintah Tiongkok memfokuskan pembangunan dalam memodernisasi desa agar menjadi negara yang kuat dan maju di sektor pertanian. Fokus pembangunan itu untuk mengimbangi kemajuan kota yang pesat dengan industri berteknologi tinggi sehingga ketimpangan antara desa dan kota harus dikurangi. Karena itu, visi Tiongkok pada 2049 dengan kemakmurannya akan terjadi secara harmonis, terutama menjadikan desa semaju dan semakmur kota.

Asta cita ke-6 presiden terpilih Prabowo Subianto menyatakan pentingnya membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan. Dari sisi dukungan kebijakan dan fiskal dapat dikatakan cukup. Namun, bagaimana menjadikan desa mampu bertransformasi dan berkontribusi aktif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sosial, dan lingkungan sangat diperlukan. Dengan kontribusi dana desa dan alokasi dana desa mencapai +85% dari pendapatan pemerintah desa, sudah sepatutnya kontribusi desa dalam pembangunan signifikan.

Konsep kapabilitas perubahan desa di atas dapat digunakan sebagai dasar dalam memampukan pemerintah desa bertransformasi sebagai soko guru pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perlu ratusan bahkan ribuan desa model untuk melakukan transformasi Indonesia dari bawah. Desa model itulah yang akan menjadi inspirasi bagi 75.261 desa dan mengangkat perekonomian bagi +40% penduduk Indonesia. Itulah wujud Nusantara baru Indonesia maju, tema ulang tahun ke-79 Republik Indonesia melalui desa yang mampu dan maju dalam pembangunannya.Oleh: Badri Munir Sukoco Guru Besar Manajemen Strategi dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.(*)