Keamanan Siber Sebagai Pilar Ketahanan Negara
INDONESIA telah memasuki era baru setelah dilantiknya Presiden RI kedelapan Prabowo Subianto, di Jakarta pada Minggu (20/10/2024). Dalam pidato pelantikannya, Presiden Prabowo menegaskan komitmennya untuk berani dalam menghadapi dan mengatasi berbagai tantangan di Indonesia. Ia mengatakan, “Mari kita menatap ancaman dan bahaya dengan gagah. Marilah kita menghadapi kesulitan dengan berani.” Saat ini, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh bangsa kita adalah cyber security atau keamanan siber.
Ketika kita berbicara tentang ancaman terhadap keamanan siber, mungkin kita akan merasa bahwa ancaman tersebut tidaklah nyata, karena memang pada dasarnya kita tidak dapat melihat seperti apa bentuk ancaman tersebut. Kita akan cenderung mengabaikan dan tidak peduli terhadap ancaman-ancaman digital. Lain halnya ketika kita menghadapi ancaman fisik. Tentu saja kita akan berusaha untuk membela diri, dan melakukan berbagai macam cara untuk memastikan keamanan diri kita.
Dari sini kita dapat melihat, bahwa ada perbedaan besar antara ancaman fisik dan ancaman digital. Serangan-serangan yang mengancam keamanan siber bersifat halus namun mematikan. Salah satu contohnya adalah kebocoran data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) beberapa bulan lalu. Kita tidak dapat melihat bentuk ancaman seperti apa yang mengakibatkan bocornya data itu, tapi kita dapat melihat bahwa tragedi tersebut telah merusak kepercayaan publik terhadap negara, serta melumpuhkan infrastruktur penting dalam sekejap.
Pilar ketahanan negara
Revolusi industri 4.0 telah membuat segala sesuatu terhubung secara digital. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, tantangan keamanan siber pun menjadi semakin kompleks. Saat ini, ketahanan negara tidak lagi hanya ditentukan oleh batas fisik, namun juga oleh kemampuan suatu negara untuk melindungi infrastruktur digital dan data warganya.
Baca Juga: Jihad Ekonomi dan Persoalan KemandirianMenurut survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia sudah mencapai angka 221 juta pada tahun 2024. Angka ini meningkat 1,31% dibanding tahun sebelumnya (215 juta pengguna). Mengingat adanya potensi serangan siber yang dapat mengancam berbagai aspek kehidupan, terutama kehidupan bermasyarakat, keamanan siber menjadi pilar yang krusial dalam menjaga integritas ketahanan negara.
Berdasarkan data dari BSSN, ada peningkatan pesat dalam serangan siber terhadap Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sepanjang tahun 2022, telah terjadi 370,02 juta serangan siber terhadap Indonesia dimana target utama penyerangan merupakan sektor administrasi pemerintahan (284,09 juta). Selain sektor pemerintahan, berbagai sektor lain seperti keuangan dan layanan publik juga menjadi target penyerangan. Hal ini membuktikan, bahwa peningkatan keamanan siber sangat diperlukan oleh Indonesia.
Reaksi global terhadap isu keamanan siber
Keamanan siber tidak hanya menjadi perhatian Indonesia, tetapi juga merupakan isu global. Salah satu negara yang terdepan dalam menghadapi tantangan keamanan siber adalah Australia. Mereka telah meluncurkan sebuah strategi pada November 2023 silam, yang kemudian dijadikan panduan pemerintah dalam menghadapi isu keamanan siber. Strategi yang dinamakan 2023-2030 Cyber Security Strategy ini, dibentuk sebagai upaya Pemerintah Australia untuk menjadi pemimpin dunia dalam keamanan siber pada tahun 2030.
Dalam misi untuk meningkatkan keamanan siber bagi warga negara dan bisnis di Australia, mereka memperkenalkan konsep Perisai dalam implementasi strateginya. Terdapat enam Perisai yang diharapkan dapat menjadi lapisan pertahanan terhadap ancaman dunia maya, yaitu 1) Bisnis dan warga negara, 2) Teknologi yang aman, 3) Pembagian dan pemblokiran ancaman kelas dunia, 4) Infrastruktur penting yang terlindungi, 5) Kemampuan yang berdaulat, serta 6) Wilayah tangguh dan kepemimpinan global.
Strategi yang diterapkan oleh Australia ini, memungkinkan pemerintah untuk merangkul seluruh elemen di negaranya. Dengan penerapan strategi tersebut, mereka dapat memusatkan fokus mereka untuk memberikan dukungan yang lebih baik bagi warga negara dan industri di negaranya. Strategi tersebut, juga menjelaskan bahwa penerapannya akan memungkinkan peningkatan kerja sama antara sektor publik dan swasta, agar mereka dapat bersama-sama mengatasi permasalahan yang dihadapi saat ini.
Negara besar lainnya seperti Amerika Serikat (AS), juga telah memandang isu ini sebagai isu krusial bagi negara. Mereka memperkenalkan lima pilar utama dalam National Cybersecurity Strategy yang diluncurkan pada Maret 2023 lalu, yaitu 1)Pertahankan infrastruktur penting, 2) Disrupsi dan bongkar pelaku ancaman, 3) Bentuk kekuatan pasar untuk mendorong keamanan dan ketahanan, 4) Investasi dalam masa depan yang tangguh, serta 5) Menjalin kemitraan internasional untuk mengejar tujuan bersama. Lima pilar tersebut, menjadi landasan utama pemerintah AS untuk melindungi keamanan nasional dan mempromosikan keselamatan publik.
Reaksi negara-negara besar di dunia terhadap isu keamanan siber, seharusnya sudah menjadi sirene bagi Indonesia untuk turut bereaksi. Berkaca dari negara-negara itu, Indonesia juga perlu menyiapkan hal serupa untuk melindungi data pemerintah dan warga negaranya dari ancaman digital di era modern ini. Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan Indonesia dalam merumuskan langkah strategis yang tepat.
Langkah strategis
Manusia merupakan mata rantai terlemah dalam rantai keamanan siber. Secanggih apapun sistem keamanan teknologi kita, manusia akan tetap menjadi mata rantai terlemah karena salah satu metode peretasan yang paling ampuh adalah social engineering atau rekayasa sosial. Hal ini, didukung oleh investigasi yang dilakukan oleh Verizon dalam 2024 Data Breach Investigation Report (DBIR). Laporan tersebut menyatakan, bahwa 68% peretasan di dunia maya terjadi karena kelalaian manusia dalam menghadapi ancaman rekayasa sosial.
Oleh karena itu, langkah pertama yang perlu diambil adalah meningkatkan literasi digital di seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara perlu memahami bahaya dunia digital, dan memiliki pengetahuan dasar tentang bagaimana melindungi data pribadi.
Selanjutnya, keterlibatan seluruh elemen dalam negara sangat penting untuk menghadapi isu ini. Melihat apa yang sudah dilakukan oleh Australia dan AS, kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta menjadi sangat krusial karena kerja sama ini akan menjadi kunci dalam membangun sistem pertahanan siber yang unggul.
Ketiga, investasi serta perhatian khusus terhadap infrastruktur digital juga perlu dilakukan, untuk memastikan keamanan siber nasional dan keselamatan publik. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan anggaran untuk penelitian di bidang keamanan siber. Dengan investasi yang cukup, negara akan dapat mengembangkan teknologi dan inovasi secara terus menerus, sehingga kita akan siap dalam menghadapi berbagai ancaman siber di masa mendatang.
Perlu diketahui, ancaman siber tidak mengenal batas negara. Serangan-serangan siber yang terjadi di negara lain bukan berarti tidak dapat terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, kerja sama internasional juga merupakan langkah selanjutnya dalam menghadapi ancaman siber. Indonesia perlu berkolaborasi dengan negara-negara lain, khususnya negara anggota ASEAN, agar antarnegara dapat berbagi informasi serta pengalaman dalam mengantisipasi berbagai ancaman siber.
Keamanan siber bukan hanya sekadar tuntutan teknis, namun juga kebutuhan strategis untuk memastikan ketahanan negara. Bagi negara, upaya untuk memperkuat keamanan siber dapat juga diartikan sebagai upaya untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Oleh karena itu, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, langkah-langkah strategis perlu diambil oleh pemerintah untuk menjadi fondasi dalam membentuk keamanan siber yang unggul sebagai pilar ketahanan negara. Oleh: Zafran Akhmadery Arif Program Pascasarjana Data Science and Decisions The University of New South Wales (UNSW) Australia (*)
Tinggalkan Balasan