Robohnya Surau Kami” merupakan cerita pendek (cerpen) yang paling terkenal dan melekat dengan sosok A.A. Navis. Cerpen tersebut bercerita  tentang seorang kakek  yang menjadi penjaga surau di sebuah desa kecil. Kakek tersebut dikenal sebagai sosok yang sangat taat beribadah, menghabiskan sebagian besar hidupnya di surau, berzikir, dan salat. Namun, surau yang ia jaga sudah jarang dikunjungi orang. Desa tempatnya tinggal pun mulai berubah dengan orang-orang yang sibuk mencari nafkah dan jarang mendatangi tempat ibadah. Kakek tetap setia menjaga surau meskipun merasa kesepian dan diabaikan oleh masyarakat sekitar. Kesehatan mental Kakek terganggu, Kakek tidak lagi ceria seperti biasa sejak mendengar bualan Ajo Sidi mengenai Haji Saleh yang masuk neraka walaupun pekerjaan sehari-harinya beribadah di masjid, persis seperti yang dilakukan oleh Kakek. Haji Soleh dalam cerita Ajo Sidi merupakan orang yang rajin beribadah. Semua ibadah dari A sampai Z ia laksanakan dengan tekun. Namun, saat “hari keputusan”, yaitu hari ditentukannya manusia masuk surga atau neraka, Haji Soleh malah dimasukkan ke neraka.

Karya A.A. Navis tersebut berkaitan erat dengan isu yang  hangat dibicarakan, yaitu isu kesehatan mental yang membuat cerita pendek tersebut makin menarik untuk dibahas, terutama pada aspek psikologis yang dialami oleh tokoh utama, Kakek Penjaga Surau. Isu kesehatan mental ini dapat dianalisis menggunakan teori psikologi sastra. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1949) dalam buku mereka yang berjudul Theory of Literature, psikologi sastra merupakan salah satu pendekatan ekstrinsik yang digunakan untuk menganalisis karya sastra. Mereka berpendapat bahwa psikologi sastra dapat menjelaskan dua aspek, yaitu aspek psikologi pengarang dan aspek psikologi karakter.

Aspek psikologi pengarang berfokus pada kondisi psikologis pengarang dan karya yang dihasilkannya. Melalui pendekatan tersebut, pembaca dapat menganalisis latar belakang psikologi pengarang yang meliputi pengalaman pribadi dan/atau trauma. Begitu pun dengan aspek psikologi, karakter digunakan untuk mendalami motivasi, perkembangan psikologis, dan konflik batin yang dialami oleh karakter dalam cerita.

Aspek psikologi karakter dibahas karena dinamika psikologi karakter Kakek Penjaga Surau pada cerpen  “Robohnya Surau Kami” tampak sangat jelas. Dari awal cerita, Kakek merasa agung dan saleh berubah menjadi kerdil dan sia-sia sehingga alasan Kakek Penjaga Surau memilih mengakhiri hidupnya  menjadi sangat kental dengan isu kesehatan mental melalui beberapa aspek psikologis. Sigmund Freud dalam Wellek & Warren (1949) memberikan pandangan unik dalam penentuan kondisi kesehatan mental karakter dalam karya sastra yang disebut teori psikoanalisis. Teori tersebut menggabungkan teori ketidaksadaran, mekanisme pertahanan, serta dinamika tiga struktur kepribadian. Kondisi kesehatan mental yang tampak melalui pendekatan aspek psikologis karakter dan pendekatan psikoanalisis pada Kakek, yaitu krisis eksistensial dan kehampaan, keterasingan sosial dan kesepian, perasaan gagal atau rendah diri, serta penyesalan dan refleksi diri. Kondisi tersebut merupakan hasil dari krisis identitas yang ditandai dengan kehampaan dan kehilangan arah setelah Kakek mendengar cerita Ajo Sidi, ditambah dengan konflik batin yang dialami karena selama hidupnya Kakek merasa kurang bermanfaat bagi masyarakat.

Krisis Eksistensial dan Kehampaan

Baca Juga: Menyoal Program Pensiun Tambahan Wajib

Kakek Penjaga Surau yang menghabiskan hidupnya dengan beribadah mulai mengalami krisis eksistensial saat mendengar kisah Haji Saleh. Ia mulai merenungkan  hidupnya yang hanya berpusat pada ibadah tanpa kontribusi nyata kepada orang lain, tanpa memiliki arti. Perasaan hampa tersebut merupakan salah satu tanda krisis eksistensial yang dalam kesehatan mental bisa berujung pada perasaan kehilangan makna hidup, depresi, atau kecemasan. Pada kasus Kakek, krisis eksistensial ini membawa Kakek pada depresi dan kecemasan. Depresi dan kecemasan tersebut muncul karena Kakek takut mengalami hal yang sama dengan Haji Saleh, masuk neraka meski sudah beribadah tanpa cela. Kecemasan tersebut membuat Kakek untuk memilih jalan yang salah, yaitu bunuh diri.

Keterasingan Sosial dan Kesepian

Kakek dalam cerita tersebut juga mengalami keterasingan sosial. Meskipun menjalani hidup yang taat beragama, ia merasa terabaikan oleh masyarakat yang jarang lagi datang ke surau. Isolasi sosial dan kesepian yang dialami oleh Kakek merupakan salah satu faktor yang bisa memperburuk kondisi kesehatan mental, terutama kepada orang tua.

Dalam konteks psikologis, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dan hubungan dengan orang lain. Keterasingan, terutama pada usia lanjut, sering kali menyebabkan perasaan tidak berharga, depresi, dan bahkan berkontribusi pada penurunan kesehatan fisik dan mental. Dalam cerita tersebut, kesepian Kakek yang mendalam menjadi salah satu faktor yang membuatnya mempertanyakan makna hidupnya dan merasa gagal.

Perasaan Gagal dan Rendah Diri

Setelah mendengar kisah Haji Saleh, Kakek mulai meragukan nilai hidupnya dan merasakan perasaan gagal. Meskipun selama ini merasa telah menjalani hidup yang benar dengan beribadah, ia mulai menyadari bahwa ia mungkin telah melewatkan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Perasaan gagal tersebut bisa berdampak serius pada kesehatan mental seseorang yang menyebabkan kecemasan, depresi, atau bahkan perasaan tidak berdaya.

Dalam cerita tersebut, Kakek merasa hidupnya tidak memberikan dampak positif bagi orang lain sehingga ia mungkin merasa tidak berharga. Ini bisa dikaitkan dengan depresi seseorang yang sering kali merasa tidak cukup, gagal memenuhi harapan, atau hidup tanpa arti.

Penyesalan dan Refleksi Diri

Kakek juga mengalami penyesalan yang muncul dari refleksi dirinya setelah mendengar kisah Haji Saleh. Penyesalan mendalam ini muncul karena ia menyadari bahwa hidupnya hanya dihabiskan untuk  beribadah tanpa memberikan dampak sosial. Penyesalan yang berlebihan dapat memicu gangguan kesehatan mental, terutama ketika seseorang merasa tidak ada cara untuk memperbaiki kesalahan atau menjalani hidup yang lebih bermakna.

Penyesalan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan depresi berat atau gangguan kecemasan, terutama pada orang-orang yang merasa hidup mereka sudah di akhir tanpa kesempatan untuk memperbaiki masa lalu. Dalam konteks ini, Kakek merasa terjebak dalam hidup yang ia anggap tidak membawa manfaat.

Runtuhnya Surau sebagai Simbol Runtuhnya Mental dan Iman

Runtuhnya surau di akhir cerita bukan hanya simbol runtuhnya sebuah bangunan fisik, me­lainkan juga bisa dipahami sebagai metafora bagi runtuhnya kondisi mental Kakek. Ia mungkin meng­alami semacam krisis mental yang keyakinan dan kehidupannya selama ini runtuh ketika diha­dapkan pada realitas bahwa hidupnya tidak memberi dampak yang berarti bagi orang lain.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization. Mental Health: Strengthening Our Response. 2018. Diakses pada 2 Oktober 2024. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-strengthening-our-response) menyatakan bahwa kesehatan mental sebagai suatu kondisi sejahtera  individu mampu me­nyadari kemampuan yang ia miliki, mampu mengatasi tekanan dan stres dalam kehidupan sehari-hari, mampu bekerja secara produktif, dan mampu berkontribusi aktif di lingkungan atau komunitasnya. Kesehatan mental seseorang bisa sangat terganggu ketika keyakinan dan prinsip hidup yang telah lama dianut tiba-tiba hancur. Hal ini dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan, perasaan kehilangan arah, dan bahkan krisis identitas. Hal ini dialami oleh tokoh Kakek dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. Hasil analisis me­nunjukkan bahwa Kakek meng­alami gangguan kesehatan mental karena keyakinan dan prinsip yang ia pegang dihancurkan oleh kisah tentang Haji Saleh yang diceritakan oleh Ajo Sidi.

Kesehatan mental yang dialami Kakek pada cerita pendek “Robohnya Surau Kami”  secara tidak langsung membenarkan bahwa karya-karya A.A Navis yang ditulis pada tahun 1955 masih relevan dengan kehidupan manusia saat ini. Contohnya,  perasaan gagal dan rendah diri Kakek karena bualan Ajo Sidi membuat Kakek merasa hidupnya tidak memberikan dampak positif bagi orang lain sehingga ia mungkin merasa tidak berharga. Pada era sekarang, mungkin bukan bualan atau tutur kata seseorang yang membuat kita merasa gagal, melainkan melihat orang lain mengunggah pencapaian kerja di media sosial sering membuat kita merasa gagal dan rendah diri. Pembahasan mengenai isu kesehatan mental di dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” ingin membawa pembaca untuk berpikir dan merenung, mung­kinkah kita sebagai penikmat karya A.A. Navis akhirnya menyadari bahwa kita ternyata memiliki kondisi kesehatan mental yang tampak pada karakter Kakek, yaitu krisis eksistensial dan kehampaan, keterasingan sosial dan kesepian, perasaan gagal atau rendah diri, serta penyesalan dan refleksi diri? Sebaliknya,  sikap dan perkataan yang dilakukan malah menjadi pemicu orang lain menjadi tidak sehat secara mental? Selamat merenung. Oleh: Herlina Inge Tomasoa, M.Hum. Balai Bahasa Provinsi Maluku.(*)