ISU perundungan (bullying) kembali menyeruak di dunia medis. Pemicunya ialah kematian seorang calon dokter spesialis yang sementara menjalani program pendidikan dokter spesialis (PPDS) anestesi di Semarang. Kematiannya dicurigai akibat bunuh diri dan dipicu oleh perundungan di tempat pendidikannya.

Sontak banyak pihak bereaksi dan menuduh PPDS sebagai sumber perundungan. Meski laporan kepolisian menyatakan bahwa penyebab kematian dokter tersebut belum tentu terkait dengan bunuh diri dan perundungan, tetap saja itu bersirkulasi tanggapan sinis dan tajam tentang perundungan dokter PPDS.

Multidefinisi, multitafsir

Saat ini, terdapat banyak definisi perundungan. Berbagai institusi mengeluarkan definisi yang tidak seragam. Akibatnya, sering terjadi redundancy dalam mengidentifikasi tindakan perundungan. Tindakan nonperundungan dapat dipersepsi perundungan dan demikian pula sebaliknya. Akibat multidefinisi, individu dijejali oleh persepsi subjektif fenomena itu.

American Psychological Association mendefinisikan perundungan sebagai perilaku agresif yang sengaja dilakukan, yang menyebabkan orang lain mengalami luka (injury) dan tidak nyaman (discomfort). Dengan menggunakan kriteria ‘tidak nyaman’ dari definisi itu, orang dengan mudah mengeklaim bahwa dirinya mengalami perundungan.

Baca Juga: Bacakan Cerita Anak pada Anak, Yuk!

Definisi lain yang banyak digunakan berasal dari Olweus Bullying Prevention Program, yang menyebutkan bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan berulangkali oleh seseorang atau kelompok terhadap individu yang merasa kesulitan untuk membela diri. Definisi itu pun membuka ruang interpretasi lebar. Hingga kini, belum ada kesepakatan tentang apa yang dimaksud perilaku agresif. Intinya, beragam definisi perundungan memicu perbedaan persepsi dan interpretasi terkait dengan perundungan itu sendiri.

Perundungan dimanifestasikan lewat berbagai cara. Yang paling sering ialah perundungan fisik yang mana korban didorong, dipukul, ditendang, atau dianiaya. Model perundungan itu mudah diidentifikasi. Perundungan juga dilakukan secara verbal dengan menghina, mengejek, merendahkan, mengancam, dan menyebarkan berita rumor yang membuat korban menderita dan terisolasi. Kategori ini juga termasuk memanggil nama orang dengan panggilan jelek dan membuat orang menjadi subjek tertawaan.

Di Amerika, dari semua laporan perundungan yang masuk pada pelajar, 13% akibat namanya dibuat lelucon. Perundungan juga dilakukan dengan mengganggu interaksi sosial korban dengan orang lain. Misalnya sengaja tidak mengundang korban menghadiri acara sosial, tidak memberikan kesempatan mengemukakan pendapat dalam satu pertemuan, atau menuduh korban sebagai sumber kegagalan perusahaan. Yang marak akhir-akhir ini ialah perundungan siber yang mana korban dihina, dihumiliasi, dan direndahkan di dunia maya dengan tujuan mendegradasi kehidupan mereka.

Banyak yang kaget ketika mendengar kasus perundungan terjadi pada institusi pendidikan, termasuk sekolah-sekolah dan pusat pelatihan. Padahal, sejatinya kasus perundungan terjadi di mana-mana dan bukan hanya pada institusi pendidikan. Perundungan ditemukan di hampir semua bidang kehidupan.

Pada remaja di Amerika, lebih dari 30% pernah mengalami perundungan. Di Amerika, setiap tahun lebih dari 2 juta pekerja mengalami perundungan. Beberapa studi melaporkan bahwa 30%-47% pekerja pernah mengalami perundungan. Pada 2020 saja, terdapat lebih 20 ribu pekerja yang mengalami trauma akibat workplace violence.

Pada tingkat rumah tangga pun perundungan terjadi, baik korbannya suami, istri, maupun anak-anak. Di Tiongkok, 29% anak-anak pernah terlibat perundungan dengan saudaranya dan lebih dari 13% mengaku pernah di-bully saudara mereka. Data itu menunjukkan bahwa perundungan terjadi di mana-mana. Makanya, sebagian ahli menyebut fenomena itu sebagai international public issue. Itu sekaligus mengingatkan bahwa adalah keliru bila melabel perundungan hanya pada satu bidang atau institusi.

Perundungan PPDS

Karena maraknya perundungan di mana-mana, wajar kalau muncul asumsi bahwa PPDS telah terkontaminasi perundungan. PPDS melatih dokter menjadi spesialis yang profesional, memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tangguh, serta memegang norma dan etika yang elegan. Itu penting karena tugas mereka ialah membantu menyelamatkan nyawa manusia. Untuk memenuhi tuntutan itu, lingkungan PPDS memiliki standar pendidikan yang tinggi dan ketat dengan iklim kompetisi yang tinggi.

Saat bersamaan, PPDS merupakan tempat bertemunya beragam individu dengan berbagai latar belakang, termasuk sosial-ekonomi, budaya, psikologis, dan ekpektasi. Gabungan lingkungan yang rigiditas dan kompetitif serta interaksi beragam latar belakang memudahkan munculnya sikap kompetisi, pelecehan, dan intimidasi. Saat bersamaan, dunia kedokteran memiliki tradisi kesenioran yang kental. Dokter senior sangat dihormati dan menjadi penentu diagnosis serta penanganan pasien.

Sebagai peserta PPDS yang menjalani proses pendidikan, calon dokter spesialis perlu menaati dokter senior. Bila tidak, ada kemungkinan proses pendidikannya terganggu. Artinya, calon dokter spesialis memiliki ketergantungan akademik dan psikologis dengan dokter senior mereka.

Situasi psikologis seperti itu mudah dimanfaatkan oleh dokter senior bila mereka memiliki superiority complex. Karena merasa memiliki kekuasaan, mereka ingin menonjolkan dan memanfaatkan kekuasaan mereka terhadap calon dokter spesialis. Makanya, dari situ mudah terpicu tindakan perundungan. Artinya, sama dengan institusi pendidikan di bidang lain, PPDS pun memang rentan terkontaminasi perundungan.

Di berbagai negara lain, prevalensi perundungan pada calon dokter spesialis cukup tinggi. Survei NHS di Inggris memperlihatkan bahwa 55% staf pernah mengalami perundungan dan 31% ialah dokter yang sementara menjalani pendidikian spesialis. Studi lain menyebutkan prevalensi perundungan calon dokter spesialis bahkan mencapai 48%.

Di Indonesia, hingga saat ini belum ada data tentang preva­lensi and intensitas perundungan dokter PPDS. Di media sosial banyak berseliweran informasi sepihak dan chit-chat yang menceritakan tentang kisah perundungan. Namun, informasi sepihak demikian tidak bisa dijadikan basis untuk menilai magnitudo perundungan. Diperlukan adanya studi dan data valid sebelum mengeklaim bahwa perundungan PPDS bersifat kronis dan ia menjadi sarang perundungan.

Sejak beberapa tahun lalu, Kemenkes telah membuka hotline pelaporan perundungan PPDS. Dari 1.500 laporan yang masuk, sekitar 30% di-follow up karena dicurigai terkait dengan perundungan. Sementara itu, 70% sisanya dianggap bukan perundungan. Besarnya jumlah laporan yang ditolak menunjukkan masih adanya over-feeling dokter PPDS terkait dengan perundungan.

Tindakan yang merupakan hal normatif atau bagian dari penegakan disiplin pendidikan mereka persepsikan sebagai perundungan. Memang dalam dunia pendidikan kadang tidak mudah untuk memilah antara tindakan penegakan disiplin dan perundungan. Pemilahnya kadang hanya berupa garis tipis. Apa yang dipersepsi perundungan bagi satu calon dokter spesialis mungkin saja dipersepsi sebagai penegakan disipilin pendidikan (tough love) bagi calon lainnya.

Penanganan over-reaction vs penanganan bijak

Karena belum adanya data valid dan akurat terkait dengan prevalensi dan intensitasnya, para pejabat dan pihak terkait perlu menahan diri untuk tidak terlalu reaktif (over-reaction) terhadap issu perundungan PPDS itu. Mengidentifikasi suatu tindakan sebagai perundungan memerlukan penilaian serius terhadap intensitas, frekuensi, dan dampaknya terhadap korban, bukan ujug-ujug menyatakan suatu tindakan sebagai perundungan hanya dengan melihat atau mendengar satu sisi.

Perundungan itu spektrumnya sangat luas: ada yang jelas perundungan, ada yang jelas bukan perundungan, dan ada yang berada di jalur ragu-ragu (grey area). Di antara ketiganya, jenis grey area amat banyak. Tindakan Menteri Kesehatan yang langsung menutup program PPDS anestesi di Undip–pascakematian calon dokter spesialis–tanpa konfirmasi kejadian dari pihak kepolisian dan universitas menunjukkan sikap tergesa-gesa dan tidak profesional.

Mestinya Menkes lebih dulu menunggu investigasi selesai sebelum mengambil langkah-langkah strategis. Apalagi faktanya, hingga saat ini, pihak kepolisian, kuasa hukum korban, dan pihak universitas menyatakan kematian calon dokter spesialis tersebut belum tentu terkait dengan bunuh diri dan perundungan.

Persoalan yang dihadapi peserta PPDS bukan hanya terkait dengan perundungan. Peserta PPDS banyak yang terpaksa harus melakukan pekerjaan multi-tasking dan bekerja lebih dari yang seharusnya saat di rumah sakit. Mereka berhadapan dengan pasien yang bejibun jumlahnya dengan watak dan temperamen berbeda. Mereka harus bisa bekerja secara profesional saat berhadapan dengan pasien, sejawat, atau kolega lain. Pun mereka harus menyiapkan berbagai macam laporan yang jelimet dan detail.

Saat bersamaan, mereka tidak menerima gaji untuk semua pekerjaan itu dan bahkan harus mencari tambahan agar bisa membayar biaya pendidikan. Mereka kehilangan waktu sosial bersama-sama dengan keluarga dan teman. Juga terbebani oleh ekspektasi keluarga yang menginginkan mereka segera selesai. Itu beberapa stresor berat yang dialami mereka. Jadi, jangan sampai terjebak dalam issu perundungan, sementara isu serius lain dari mereka tak tertangani.

Yang tidak kalah pentingnya, semua pihak perlu wawas diri terkait dengan perundungan itu. Jangan sampai sibuk meneropong perundungan pada PPDS, sementara di lingkungan sendiri fenomena tersebut marak. Pihak rumah sakit, Kemenkes, dan Kemendikbud, yang merupakan supervising-line PPDS, perlu instrospeksi apakah mereka sudah terbebas dari fenomena itu.

Apakah para pejabat instansi tersebut tidak pernah menahan kenaikan pangkat pegawai mereka bertahun-tahun, hanya karena alasan suka atau tidak suka? Apakah tidak pernah memecat atau menurunkan pangkat pegawai hanya karena berbeda pendapat? Apakah pejabat tersebut tidak melakukan bullying exclusions dengan melibatkan staf yang mereka sukai dan membiarkan staf yang mereka tidak sukai duduk di pojok seorang diri? Semua itu merupakan perundungan yang sering tidak disadari dan menjadi tradisi institusi. Orang selalu sibuk dengan perundungan yang terlihat agresif dan atraktif serta melupakan perundungan halus dan pervasive begini.

Intinya, perundungan itu fenomena sosial yang marak dan semua pihak mesti terlibat dalam penatalaksanaanya. Persoalan PPDS jangan ditangani secara segmental, hanya dengan menyelisik isu perundungan.

Adanya beragam sistem tidak kondusif dalam kehidupan peserta PPDS juga mesti ditangani agar hasilnya bisa bagus.

Yang tidak kalah pentingnya, semua institusi harus berani introspeksi. Jangan sampai isu perundungan PPDS dikejar, sementara pada instansinya sendiri perundungan merajalela. Kata pepatah, semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak terlihat. Oleh: Iqbal MochtarKetua Klaster Kedokteran dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional serta pengurus PB IDI dan PP Iakmi. (*)