AMBON, Siwalimanews – Ketua Dewan Pers, Nunik Rahayu mene­gas­kan, penyelesaian karya jurnalistik tidak boleh menggunakan KUHP atau UU ITE.

Pasalnya, ada proses yang bisa dilakukan jika ada pihak-pihak yang keberatan dengan karya jurnalistik tersebut, dimana keberatan itu cukup diselesaikan dengan etik menyam­paikan hak jawab ke­pada media bersang­kutan, atau melapor­kan kepada dewan pers.

“Jadi jika adda kebe­ratan maka meminta hak jawab langsung ke medianya, dan kalau media tidak memenuhi hak jawab itu bisa mengadu kepada dewan pers. Jadi pihak-pihak yang merasa dirugikan boleh me­ngadu ke dewan pers. atau langsung kepada medianya,” jelas Ketua Dewan Pers ke­pada wartawan di sela-sela kegiatan UKW yang digelar di Swissbell-Hotel, Jumat (2/8).

Lalu bagaimana dengan pihak-pihak yang keberatan dengan karya jurnalistik, dan telah melapor ke pihak kepolisian, menurut Nunik, Dewan Pers sudah melakukan Memorandum of Understanding dengan Kepolisian, dimana pihak kepolisian akan terlebih dahulu meminta pendapat dari dewan pers.

“Bagaimana dengan pihak-pihak yang melaporkan kepada kepolisian, Dewan Pers sudah melakukan MoU dengan kepolisian, dimana per­janjian kerja sama itu menegaskan, apabila ada pihak-pihak yang melapor kepada kepolisian maka kawan-kawan kepolisian terlebih dahulu akan meminta pendapat kepada dewan pers, apakah ini persoalan jusrnalistik atau tidak,” tegas Nunik.

Baca Juga: Warga Manipa Temukan Mayat Terapung di Laut

Dan jika masyarakat melapor ke Dewan Pers, katanya, maka pihaknya akan melihat apakah subtansi berita itu karya jurnalis ataukah tidak.

“Kalau memang bukan karya jurnalis, kami juga akan mere­komendasikan untuk ditindaklanjuti kepolisian. Jadi didalam perjanjian kerja sama itu tegas sekali, dua lembaga ini tidak mencampuri kewenangan masing-masing, menghormati kewenangan masing-masing,” cetusnya.

Menurutnya, dalam UU Nomor 40 Tahun 1990 tentang Pers, ada prinsip demokrasi, memang tidak mem­persoalkan kalau ada pihak-pihak yang berkeberatan dengan subtansi pemberitaan, atau proses ketika ada wartawan mencari informasi itu boleh saja berbeda pendapat,

“Misalnya harus melalui proto­koler dipersoalkan. itu boleh-boleh saja, keberatan itu disampaikan pemberitaannya, pemberitaannya pun kalau ada ditulis dan kalau ada keberatan boleh saja. tetapi keberatan-keberatan itu cukup penyelesaiannya hanyalah dengan etik,” tegasnya.

Nunik meminta kepada pihak kepolisian dimana MoU dengan Polri telah disosialisasikan kepada 34 Polda dan 541 jajaran Polres sampai pada tingkat paling bawah, maka hal ini diharapkan bisa dipahami sebagai bentuk kerja kolaboratif, kerja koordinatif dalam rangka menegakan aturan perundang-undangan. Karena UU Pers rezimnya, rezim etik bukan badan, berbeda dengan KUHP.

“Hal yang sama ini juga ada kerja sama dengan Kejaksaan. Ini memang masih dalam perpanjang di bulan Februari 2024 ini, sama Kejaksaan sebagai lembaga aparat penegak hukum juga memiliki pemahaman bahwa tidak melakukan kerja-kerja penetapan dengan memperhatikan UU Pers. begitu juga Mahkamah Agung, ada Zema yang dikeluarkan. Zema itu subtansinya menghormati penyelesaiam etik karya jurnalistik melalui Dewan Pers. Jadi harus menghormati kebebasan pers,” tegasnya.

Beri Pagar

Dikatakan, ada tantangan besar dari pers yang bukan hanya dari luar, tetapi justru dari dalam, dari orang-orang yang ingin merendahkan martabat pers dengan berbagai cara. Antara lain, disponsori oleh orang-orang yang mengatasnamakan dirinya wartawan atau jurnalis

“oleh karena itu, komitmen yang berikan kepada martabat pers yang memang harus terus dijunjung, karena dari berbagai UU ini ada mandat yang harus dijalankan yaitu, kode etik jurnalistik dan berbagai peraturan yang sudah dikeluarkan Dewan Pers.

Tugas jurnalis adalah memberikan pagar, agar kebebasan pers tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang mengatasnamakan kemer­dekaan pers dengan cara-cara yang tidak benar.

Mengapa, tantangan diluar cukup besar, dengan era teknologi kita dihadapkan pada situasi yang tidak mudah. Satu sisi teman-teman jurnalis yang benaran, yang ingin melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas, bukan kurnalisem, karena kurnalisem itu informasinya diambil dari media sosial.

“Tetapi teman-teman yang ingin melahirkan jurnalism, sekarang ini dituntut untuk memberikan berita­nya secara cepat disaat yang ber­samaan untuk mencari, mengolah, menyimpan, memproses, mem­butuhkan tahapan-tahapan apalagi media investigasi, apalagi kalau tantangan itu sumber informasinya sulit, menutupi-nutupi meng­halangi-halangi. Ini yang terkadang buat kawan-kawan mengambil jalan pintas, sumber informasinya dari media sosial dijadikan berita tanpa keberimbangan tanpa cover bide side, maka pagar itu menjadi penting.

Katanya, ada empat prinsip kerja pers  yang harus dipegang teguh, pertama demokratis dengan memberikan kesempatan bagi siapapun yang tidak setuju pada pemberitaan untuk meminta hak jawab.

Kedua, profesional yaitu cover bide side/akurasi tidak hanya fakta, opini digiring berdasarkan data, informasi yang akurat.

“Opini boleh ditolak. Tolak de­ngan data dan fakta, bukan dengan cara menghalang-halangi, dan bentuk penghalang sekarang be­ragam,” katanya.

Tak Boleh Larang

Ditegaskan, informasi dari PPDI, yang tulisannya seperti berita, apakah informasi dari PPID itu lalu membatasi kerja jurnalis dalam melakukan pendalaman informasi. Itu tidak.

“Jangan coba-coba melarang wartawan mengalami informasi yang ada di PPID atau berbagai kehu­masan dll,” tegasnya

Kerja humas, tambah Nunik, beda dengan kerja jurnalistik. Humas itu kerjanya bagaimana membuat citra baik, jurnalistik tidak begitu, kadang harus tulis baik kalau tidak baik tidak kerja sama,” itu tidak bisa”

Kerja sama atas batasnya di ruang kecil avetorial, diluar itu masih ada eksplor dari kerja jurnalistik dalam mengali informasi dan informasi itu tidak boleh dibatas.

PPID kementerian lembaga bukan kerja jurnalistik. Karena jurnalistik itu mensyaratkan. Pertama harus dibuat oleh wartawan yang profe­sional, harus perusahaan pers yang terdata. harus cover bide side, Mo­ralitas, ini prinsip dan dasar yang harus dipegang teguh, serta pene­gakan supremasi hukum. (S-05)