Peribahasa karena nila setitik, rusak susu sebelanga merupakan peribahasa yang sering didengar. Peribahasa tersebut berarti ‘karena kejahatan atau kesalahan yang kecil, hilang segala kebaikan yang telah diperbuat’. Mungkin  beberapa orang  bertanya-tanya, apa makna kata nila?  Mengapa kata nila muncul dalam peribahasa tersebut?

 

Berdasarkan survei yang dilakukan penulis, diketahui bahwa mayoritas orang tidak tahu makna kata nila. Kebanyakan dari mereka tahu tentang peribahasa tersebut, tetapi makna denotasi dari kata nila tidak mereka ketahui. Memang ada beberapa orang yang mengetahui bahwa kata nila bermakna ‘warna’, tetapi warna yang mereka maksudkan adalah warna hitam, oranye,  bahkan ungu.

 

Kata nila berasal dari tanaman nila yang menghasilkan warna biru. Sejak lama, nila dipakai oleh para perajin kain sebagai sumber warna biru. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V, nila bermakna ‘(1) tarum’, ‘(2) bahan cat (pewarna) biru yang dibuat dari daun indigofera’, dan ‘(3) biru’. Kata nila memiliki makna arkais, yaitu ’batu permata nilam’. Kata nila juga identik dengan kata tarum, yaitu perdu yang batangnya bulat, daunnya majemuk, anak daunnya berbentuk menjorong dengan lekuk di ujungnya, bunganya berwarna merah muda keunguan, biasanya digunakan sebagai pewarna alami.

Baca Juga: Pajak dan Mimpi Negara Kesejahteraan

 

Kata nila bersinonim dengan kata biru. Meskipun demikian, nila hanya dikenal dalam peribahasa karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Kata nila dalam peribahasa tersebut berarti ‘biru (biru yang dihasilkan oleh pohon nila, tidak semua warna biru dapat disebut nila)’. Peribahasa karena nila setitik, rusak susu sebelanga berarti ‘karena setitik warna biru (yang dihasilkan oleh pohon nila), menjadi ikut rusaklah susu sebelanga’. Artinya adalah karena sedikit kesalahan (nila), rusaklah segala kebaikan (susu yang berwarna putih).

 

Berbeda dengan kata nila, kata biru telah mengalami perkembangan makna. Biru bermakna ‘(1) warna dasar asli yang serupa dengan warna langit yang terang (tidak berwarna dsb.) serta merupakan warna asli (bukan hasil campuran beberapa warna)’, ‘(2) mengandung atau memperlihatkan warna yang serupa dengan biru’ (KBBI daring). Kata biru yang bermakna warna dapat ditemui pada beberapa gabungan kata, yaitu biru benhur, biru berlin, biru ceraka, biru dongker, biru gerau, biru jelak, biru kelasi, biru langit, biru laut, biru malam, biru muda, biru terang, dan biru tua. Warna-warna biru tersebut memiliki ciri yang berbeda-beda.

 

Berdasarkan Kamus Sinonim yang ditulis oleh Dr. Junaiyah H. Mutanggui (2009, hal. 127), kata biru, selain memiliki arti warna, juga lazim digunakan untuk menyatakan ‘ketulusan’, misalnya cinta yang biru berarti ‘cinta yang tulus’ dan hati yang biru berarti ‘hati yang tulus’. Kata biru dalam kedua contoh tersebut tidak dapat digantikan dengan kata nila.

 

Kata nila dan biru memiliki hubungan antarmakna, yaitu hubungan sinonim. Terdapat anggapan di masyarakat bahwa sebuah kata yang bersinonim pasti memiliki kesamaan arti dengan kata lainnya. Padahal, anggapan tersebut salah. Makna kata-kata tidak selalu betul-betul sama dan berbeda. Misalnya, baik, benar, betul, dan bagus (sering disebut bermakna sama), padahal anak yang baik tidak bisa disamakan menjadi anak yang bagus, anak yang benar, atau anak yang betul. Perbedaan itu terjadi akibat komponen makna yang dimiliki kata-kata tersebut berbeda. Sama halnya dengan kata baik, benar, betul, dan bagus, kata nila juga terkadang diidentikkan dengan kata ungu, tetapi jika ditilik lebih dalam, warna nila memiliki komponen warna yang lebih identik dengan warna biru.

 

Sinonim menurut John I Saeed (2000: 65) dalam bukunya yang berjudul Semantics adalah kata yang secara fonologis berbeda, tetapi memiliki makna yang sama atau hampir sama. Kata nila dan biru memiliki makna yang sama, tetapi tidak dapat secara mutlak dapat saling menggantikan. Hal tersebut merupakan hal yang wajar jika terdapat hubungan sinonim yang tidak sepenuhnya sama, hal tersebut disebabkan banyak faktor. Kemutlakan sinonim sangat jarang ditemukan, bahkan tidak ada. Hal ini terjadi karena sinonim sering memiliki distribusi yang berbeda dalam sejumlah parameter. Mungkin kata-kata yang bersinonim masuk pada suatu dialek yang berbeda  kemudian menjadi sinonim karena para penutur sudah sangat akrab dengan kedua dialek atau juga kata-kata yang bersinonim mungkin termasuk pada ragam bahasa yang berbeda, gaya bahasa, formalitas, kesusastraan, dan lain-lain yang termasuk dalam situasi yang berbeda pula.

 

Terdapat anggapan di masyarakat bahwa sebuah kata yang bersinonim pasti memiliki kesamaan arti dengan kata lainnya. Padahal, anggapan tersebut salah. Reinhart (1971) dalam bukunya yang berjudul Studies in Lingustic Semantics menyatakan bahwa tidak ada dua kata yang benar-benar bersinonim, bahkan yang termasuk pasangan kata yang secara transformasi berhubungan sekalipun. Kata-kata yang bersinonim memiliki perbedaan makna. Makna sebuah kata mungkin lebih umum, lebih formal, lebih intensif, lebih dialektal, lebih sopan, dan lebih literer dibandingkan dengan pasangan yang lain.

 

Kata nila dan biru merupakan kata-kata bersinonim, tetapi bersifat parsial. Makna yang terdapat pada kata biru lebih bersifat umum jika dibandingkan dengan makna yang terdapat pada kata nila. Pepatah karena nila setitik, rusak susu sebelanga tidak dapat digantikan menjadi karena biru setitik, rusak susu sebelanga. Hal tersebut disebabkan konsep warna biru pada kata nila berbeda dengan warna biru pada konsep kata biru. Selain itu, kata biru juga telah banyak mengalami perkembangan makna, lain halnya dengan kata nila. oleh: Nita Handayani Hasan, S.S., M.Hum.

(Widyabasa Ahli Muda Balai Bahasa Provinsi Maluku)