Bingung dan Berbelit, Hakim Tegur Saksi Jaksa di Sidang Tanaya
AMBON, Siwalimanews – Hakim menegur mantan Kasi Penuntutan Kejati Maluku, Rolly Manampiring yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan praperadilan Ferry Tanaya di Pengadilan Negeri Ambon, Selasa (24/9).
Manampiring ditegur karena bingung dan berbelit-belit. Ia dihadirkan sebagai saksi oleh Kejati Maluku.
“Kami ingin penjelasan sesuai dengan fakta, tanpa berbelit-belit dan berputar-putar sehingga menyebabkan kasus ini semakin tidak jelas,” kata hakim, Rahmat Selang.
Kepada hakim Manampiring bersikukuh, kalau pihaknya sudah menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya penyelidikan (SPDP) kasus dugaan korupsi pembelian lahan untuk pembangunan PLTG di Namlea, Kabupaten Buru.
Namun ketika hakim menanyakan kepada siapa surat tersebut diberikan, Manampiring terdiam. Begitupun saat hakim menanyakan kapan diberikan.
Baca Juga: Pemilik Dua Paket Sabu Diadili“Surat pemberitahuan penyidikan sudah berikan ke siapa?,” tanya hakim. Manampiring yang terlihat bingung akhirnya menjawab, tidak ada.
Setelah terdiam beberapa saat, Manampiring lalu menyebut ada SPDP dan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Nomor Print-01/S.I/FD.1/04/2019 tertanggal 30 April 2019.
“Pada saat penyidikan, dibuatkan SPDP tertanggal 30 April 2019, maka penyidik menyampaikannya kepada penuntut umum Kejati dan KPK. SPDP itu tidak diwajibkan untuk diberitahukan ke tersangka. Sebelum penetapan, tersangka pernah diperiksa sebagai saksi dua kali,” jelasnya.
Hakim kembali menanyakan apakah surat tersebut sudah disampaikan kepada Tanaya, Manampiring hanya menjawab, seingatnya sudah diberikan.
Hakim lalu meminta bukti apabila surat tersebut memang diberikan. Manampiring hanya terdiam lalu membalikkan kertas yang dipegangnya, sembari mengatakan tidak tahu siapa yang memberikan surat tersebut.
“Kalau biasanya diberikan, harusnya sesuai aturan. Ada buktinya tidak? Saudara tidak tahu siapa yang memanggil dan kapan dia dipanggil. Perkara ini kan semi perdata, jadi butuh pembuktian. Saudara kan yang menangani langsung,” tandas hakim.
Manampiring kembali menjelaskan, ada Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Nomor: Print-02/Q.1/Fd1/05/2020 tertanggal 26 Mei 2020. Setelah itu, barulah disampaikan SPDP kepada KPK.
“Tidak ada surat pemberitahuan kepada Tanaya. Penetapannya sebagai tersangka pada 28 Mei 2020. Sebelum itu ada surat penyidikan khusus atas nama Ferry Tanaya pada 26 Mei 2020,” katanya.
Karena kebingungan, Manampiring lalu menyebut ada surat perintah penyidikan umum dan khusus. Dia mengatakan, hal itu berlaku di kejaksaan. Hakim kaget mendengar keterangan Manampiring, karena baru pertama kali mendengar istilah surat penyidikan khusus dan umum.
“Setahu saya, tidak ada penyidikan khusus dan umum. Jadi istilahnya kejaksaan surat penyidikan itu ada yang khusus dan umum?,” tanya hakim.
Hakim lalu menegaskan kepada saksi terkait prosedur pemberitahuan surat perintah penyidikan juga wajib diberitahukan kepada tersangka, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Tahu tidak soal prosedur diberitahukan ke pihak terkait? Kenapa tidak berikan kepada tersangka padahal dia sudah diperiksa dua kali sebagai saksi? Kajati tahu soal ini atau tidak?,” tanya hakim.
Manampiring memgaku tahu soal aturan tersebut. Namun, surat itu tidak diberikan lantaran perkara pembangunan lahan dilaporkan anonim. Selain itu, karena yang dilaporkan adalah kegiatan pembangunannya, bukan pelakunya. “Apabila ada pelapor dan terlapor kami sampaikan, tapi dalam perkara ini pelapornya anonim,” kata Manampiring.
Manampiring juga membeberkan bagaimana prosedur dalam penetapan tersangka. Ia menjelaskan, setelah mengumpulkan data orang-orang dalam penjualan tanah, termasuk dokumen-dokumen, penyidik lalu melakukan mekanisme ekspos dan menyimpulkan ada unsur korupsi.
Jaksa Rita Akolo, yang juga dihadirkan sebagai saksi tidak banyak memberikan kesaksian. Dia hanya mengatakan, adanya kerjasama kejaksaan dengan beberapa instansi untuk memberikan bantuan hukum. Namun, bantuan hukum kepada instansi pemerintah harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Hal ini menyusul adanya fakta bahwa pihak kejaksaan ikut terlibat dalam pembelian lahan untuk pembangunan gardu listrik di Namlea.
“Saya tidak tahu soal penetapan Tanaya sebagai tersangka. Tapi memang ada sosialisasi dari jaksa untuk pembangunan itu,” kata Rita.
Sementara aksi ahli dari perwakilan BPKP Perwakilan Maluku tidak membantah menghitung kerugian negara dalam lahan yang dibeli PLN.
“Kami melakukan audit terhadap dokumen, juga bidang tanah serta tumbuhan yang ada di situ. Berdasarkan pengakuan pada saat observasi, perkebunan itu milik tersangka. Sejarahnya kami tidak tahu ya itu ditanam sendiri atau bagaimana,” kata R. Wahyudi.
Dia juga menyebut, dalam audit itu terdapat bukti transfer pembayaran serta akta jual beli. Namun, Wahyudi mengatakan, tanah itu bukan milik Ferry Tanaya. Dalam akta jual beli tanahnya atas nama Sadrak Wakano.
“Ada bukti akta jual beli. Akta itu dibuat di PPAT, ada tanda tangan camat. Tidak ada putusan pengadilan terkait tanah itu. Tapi, kami tidak punya buku aset negara maupun neraca. Aset itu tidak tercatat pada BPN,” jelasnya.
Surat permintaan penyidik kepada BPKP tertanggal 2 Mei 2019 untuk mengaudit perhitungan kerugian negara. Dia mengaku, dalam permintaan itu belum ada surat perintah penyidikan. Penyidik juga belum menjelaskan siapa tersangkanya.
“Soal penetapan tersangka saya tidak tahu. Masalah antara pemohon dan termohon, saya tidak tahu. Saya disini untuk menjelaskan prosedur audit,” ujar Wahyudi.
Usai mendengar keterangan para saksi, hakim menunda sidang hingga Rabu (23/9) dengan agenda kesimpulan. (Cr-1)
Tinggalkan Balasan