Era digital saat ini menawarkan banyak tayangan audio , video (audio-visual), dan sejenisnya yang dapat membantu masyarakat. Tayangan-tayangan tersebut dikemas dengan menarik dan juga sangat mudah diakses oleh masyarakat. Namun, di setiap keuntungan yang ditawarkan, akan ada konsekuensi yang mesti diterima juga. Salah satu konsekuensi tersebut adalah terjadi penurunan budaya literasi, terutama literasi membaca pada anak-anak. Berdasarkan PISA (Program for International Student Assessment) 2022, skor literasi Indonesia mengalami penurunan walaupun secara peringkat Indonesia mengalami peningkatan, yakni urutan 61 dari 81 negara dalam literasi membaca, matematika, dan sains. Ada banyak faktor yang memengaruhi kemampuan literasi (membaca) pada anak, salah satunya adalah keterlibatan orang tua.

Pernahkah masyarakat mendengar tentang Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015? Regulasi ini memperkuat Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang salah satu kegiatannya ialah 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan minat baca anak serta membentuk budi pekerti dan karakter anak. Gerakan ini melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan dan juga pihak eksternal. Salah satunya adalah orang tua. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya mengenalkan literasi sejak dini untuk peningkatan kemampuan literasi anak. Namun, budaya literasi dini, seperti membacakan dongeng atau cerita anak sebelum tidur oleh orang tua sudah jarang kita dengar di masyarakat. Padahal, habituasi atau pembiasaan membacakan buku cerita kepada anak sejak dini dapat membentuk kebiasaan membaca sang anak ketika tumbuh menjadi dewasa.

Apakah ada kenangan dibacakan cerita anak atau dongeng sebelum tidur oleh orang tua?  Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama untuk seorang anak mengembangkan kemampuannya. Maka dari itu, keterlibatan orang tua dengan membiasakan membacakan buku bersama anak dapat menjadi salah satu stimulasi untuk sang anak mengembangkan kemampuan literasinya. Inten, D. N. (2017) menjelaskan bahwa keluarga merupakan tempat terbaik untuk menumbuhkan minat membaca dan menulis bagi anak (literasi emergen). Musthafa (2009) dalam Inten (2017) juga menjelaskan bahwa kita dapat menyosialisasikan dunia literasi kepada anak-anak yang salah satunya dengan cara demonstrasi interaksi literasi dan libatkan anak di dalamnya, seperti salah satu kekhasan keluarga literat, yakni terjadinya diskusi tentang apa yang mereka lihat, lakukan, dan alami, termasuk berbagai buku yang mereka baca, musik yang mereka dengar, atau film yang mereka lihat.

Kita pasti sudah tidak asing dengan kalimat membaca dapat membuka cakrawala dunia. Kalimat tersebut adalah sebuah nasihat yang patut kita maknai dengan baik. Dengan membaca, anak-anak dapat mengetahui banyak hal, menerima banyak informasi, dan membuka cakrawala dunianya. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan angka minat baca anak Indonesia yang mengalami penurunan. Menurut data yang dimuat oleh UNESCO, hanya 0,001% masyarakat Indonesia yang rajin membaca yang berarti dari seribu orang Indonesia, hanya ada satu orang yang rajin membaca. Saat ini, anak-anak cenderung menghabiskan waktunya untuk menonton televisi dan bermain gawai. Kesibukan bekerja menjadi salah satu faktor yang membuat orang tua tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengenalkan buku atau bahkan membacakan cerita kepada sang anak, terlebih lagi untuk membangun lingkungan literat sang anak. Memberikan gawai kepada anak dianggap menjadi solusi ampuh oleh orang tua agar sang anak tidak rewel ketika mereka bekerja. Amarina (2012) menjelaskan bahwa orang tua yang memahami pentingnya literasi akan terlibat lebih banyak, baik menyediakan fasilitas, maupun terlibat langsung dalam aktivitas literasi dan kebiasaan literasi yang dibangun. Jadi, kesadaran orang tua menjadi hal penting untuk menciptakan budaya literasi dini dan membangun lingkungan literat pertama sang anak.

Arus digitalisasi memang tidak bisa kita bendung, tetapi sebagai orang tua yang menjadi gerbang pertama anak untuk lingkungan lite­ratnya, kita bisa meng­imbanginya dengan habituasi atau pem­biasaan membacakan cerita dan membangun budaya literasi dininya. Pembiasaan membacakan cerita-cerita yang menarik dapat menjadi stimulus agar minat baca seorang anak meningkat. Selain itu, aktivitas membacakan cerita membuat anak dapat belajar memahami karakter tokoh di dalam cerita yang secara tidak langsung juga akan membantu membangun karakter anak. Mari, bacakan cerita kepada anak sejak dini!Oleh: Tanti Septiana Penelaah Teknis Kebijakan pada Kantor Bahasa Provinsi Maluku.(*)