AMBON, Siwalimanews – Ketidakpercayaan publik terhadap kepemimpinan sebelumnya dinilai sebagai faktor utama partisipasi pemilih pada pilkada turun drastis.

Hal ini disampaikan akademisi Fisip Unpatti Paulus Koritelu kepada Siwalimanews melalui telepon selulernya, Rabu (11/12) merespon tingkat partisipasi pemilih pada pilkada yang hanya bisa mencapai 70.55 persen.

Koritelu mengaku, terdapat banyak faktor yang menyebabkan partisipasi pemilih mengalami penurunan pada pilkada, salah satunya proses sosialisasi dari penyelenggara yang terhambat oleh letak wilayah kepulauan Maluku.

Namun dalam konteks Pilkada Maluku, Koritelu menilai faktor utama yang menyebabkan partisipasi pemilih turun, karena adanya ketidakpercayaan publik terhadap pemimpin sebelumnya.

Pasalnya, kepemimpinan Maluku lima tahun sebelumnya, telah mendorong adanya ketidakpercayaan publik terhadap proses-proses demokrasi.

Baca Juga: KPU Akui Partisipasi Pemilih di Pilkada Maluku Turun

“Saya melihat adanya tingkat sensitivitas masyarakat Maluku yang memang sedang berada di ambang apatisme yang tinggi, artinya ada semacam ketidakpercayaan yang tinggi, sehingga masyarakat merasa siapapun yang menang sama saja dan tidak akan mengubah keadaan,” ujar Koritelu.

Fakta kemiskinan ekstrim yang sulit ditekan menurut Koritelu, menyebabkan ekspetasi dan harapan masyarakat terhadap pemimpin menjadi hilang, sehingga masyarakat merasa tidak perlu lagi menggunakan hak pilihnya.

Ketidakpercayaan publik terhadap pemimpin ini, tentu menjadi tanggung jawab kepala daerah terpilih untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang hilang dengan bekerja keras membangun Maluku.

“Jika kepala daerah terpilih tidak mampu mengembalikan kepercayaan public, maka maka pasti partisipasi masyarakat dalam pembangunan juga akan rendah dan mendekatkan diri pada sesuatu yang secara pragmatis itu adalah menguntungkan mereka,” jelas Koritelu.

Faktor lain yang menyebabkan tingkat partisipasi pemilih turun juga lanjut Koritelu, yakni harapan masyarakat agar adanya serangan fajar yang cukup tinggi, sebab masyarakat tidak malu-malu menyatakan itu saat ini.

“Artinya dikhawatirkan mereka yang tidak menggunakan hak pilih pada pilkada itu adalah mereka yang justru menanti serangan fajar tapi tidak kunjung datang. Itu sebabnya masyarakat merasa bodoh amat dengan proses pemilu dan tidak datang ke TPS walaupun diberikan undangan,” bebernya.

Terpisah, akademisi Fisip UKIM Amelia Tahutu menilai, turunnya tingkat partisipasi pemilih pada pilkada serentak di Maluku, disebabkan proses sosialisasi yang belum maksimal dilakukan penyelenggara.

Dalam konteks Maluku yang merupakan wilayah kepulauan, tentu menimbulkan tantangan tersendiri dalam kerja-kerja sosialisasi. Namun hal itu tidak boleh menjadi alasan bagi penyelenggara, khusus KPU untuk bekerja lebih maksimal dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat.

“Kami menilai proses sosialisasi yang belum maksimal, khususnya di daerah yang jauh. Memang faktor wilayah, tapi KPU mesti bekerja keras agar masyarakat tersosialisasikan,” ucap Tahitu kepada Siwalimanews melalui telepon selulernya, Rabu (11/12).

Menurutnya, menjadi tanggung jawab pemerintah dan KPU dalam setiap jenjang untuk memastikan agar di pilkada maupun pemilu lima tahun mendatang, masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik, sebab jika tidak, maka legitimasi proses demokrasi akan dipertanyakan.(S-20)