AMBON, Siwalimanews – Ahli Osea­no­grafi, Pe­nataan dan SIG Unpatti, Jusuf J. Watti­mury meng­ung­kapkan, abrasi yang terjadi di Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah bukan semata-mata akibat aktivitas pertambangan, melainkan fenomena alam yang lebih luas.

“Di Maluku, fenomena abrasi terjadi secara alami akibat dinamika arus laut dan perubahan iklim global. Bahkan di lokasi tanpa aktivitas tambang, seperti di Lusifara, abrasi tetap terjadi akibat naiknya permukaan laut dan perubahan pola angin,” ujarnya dalam rilis yang diterima Siwalima, Jumat (21/2).

Menurut Wattimury, pola arus dan cuaca di Maluku sangat dinamis dengan empat musim utama: musim barat, peralihan 1, musim timur, dan peralihan 2.

Katanya, abrasi di Teluk Haya tidak dapat dihentikan sepenuhnya dengan metode teknologi biasa, karena sifatnya yang alami dan berulang.

Dikatakan, arus permukaan laut di perairan Haya mengalami perubahan seiring periode pasang surut. Selama air pasang, arus bergerak menyusur pantai Teluk Teluti, berbelok ke Tanjung Haya, dan mengalir ke wilayah Tamilow serta ke arah selatan dan barat daya. Selama air surut, massa air Teluk Teluti bergerak ke barat daya dan barat, menyebabkan aliran sedimen yang memengaruhi dinamika pantai Haya.

Baca Juga: Rumah Jabatan Gubernur & Wagub Segera Tuntas

Sementara gelombang di perairan Haya terbentuk akibat pola angin musiman yang bertiup sepanjang tahun. Dimana selama musim barat (Desember-Februari), gelombang bergerak dari barat menuju timur, mengintensifkan penggerusan material pantai Haya. Pada musim peralihan 1 (Maret-Mei), perubahan arah angin menyebabkan gelombang yang lebih terkonsentrasi di Teluk Teluti.

Pada musim timur dan peralihan 2 (Juni-November) didominasi oleh angin tenggara, yang menyebabkan tekanan energi gelombang tinggi terhadap pantai Haya. Pola angin dan gelombang ini mengakibatkan abrasi berkepanjangan di wilayah tersebut.

Pantai Haya yang terletak di pesisir Pulau Seram Bagian Selatan berbatasan langsung dengan Laut Banda, yang memiliki dinamika musim kuat. Analisis oseanografi dan meteorologi menunjukkan bahwa abrasi di pantai ini disebab­kan oleh gelombang musiman, arus laut, pasang surut, serta kenaikan muka laut akibat pemanasan global.

Dimana posisi geografis pantai Haya yang terbuka terhadap lintasan angin dari berbagai arah menyebabkan laut di sekitarnya sering mengalami kondisi gelombang tinggi. Ketinggian gelombang di perairan Haya dapat mencapai 1-2 meter ketika mendekati pantai, sehingga mempercepat erosi sedimen pantai.

Sehingga tanpa adanya peng­halang alami seperti terumbu karang atau rekayasa pantai seperti jetty, sedimen pantai Haya akan terus bergerak dan menjauh dari pesisir, memperparah abrasi.

Ini Kata Male

Insiden pembakaran fasilitas PT. Waragonda Minerals Pratama di Desa Haya, Kecamatan Tehoru, Ma­luku, memicu spekulasi di masya­rakat terkait abrasi pantai yang dikait­kan dengan aktivitas tambang pasir garnet.

Namun, Prof Yusthinus T. Malle, selaku Ahli Kimia dan Pertambangan mengatakan, garnet adalah mineral yang digunakan untuk sandblasting dalam industri perkapalan dan bukan termasuk logam tanah jarang.

“Garnet yang ada di Haya ini merupakan pasir silika dengan unsur tambahan, dan yang paling dominan adalah besi, sehingga warnanya merah. Garnet ini tidak tercampur secara homogen dalam pasir hitam dan keberadaannya sangat tergantung pada faktor alam,” ujar penyusun dokumen Amdal pada perusahaan PT WMP ini,

Dia menekankan, bahwa garnet itu tidak ada di laut. Untuk itu, ada tidaknya pertambangan ini, tetap ada abrasi. Karena itu merupakan fenomena sirkulasi arus di Teluk Haya.

Ia menekankan bahwa perbedaan harga jual pasir dari lokasi yang berbeda disebabkan oleh kadar kandungan garnet dalam pasir tersebut.

“Jika satu kantong pasir memiliki kadar garnet lebih tinggi, maka harga jualnya tentu lebih mahal diban­dingkan pasir dengan kandungan garnet yang lebih rendah. Ini harus dijelaskan kepada masyarakat agar tidak terjadi kecemburuan sosial. Karena masyarakat berpikir bahwa pasir yang mereka bawa sama, misalnya 25 kilo, kenapa yang satu dibayar lebih mahal, sementara satunya lebih murah. Padahal ini soal kanduangan garnet dalam pasir itu. Itu yang harus dipahami,” tam­bahnya.

Sementara itu, Direktur Utama PT. Waragonda Minerals Pratama, Amin Saofa, menanggapi insiden pem­bakaran yang terjadi pada peru­sahaannya.

Ia menyatakan, bahwa kasus tersebut sudah ditangani oleh pihak kepolisian setempat.

“Kami berharap masalah ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan bantuan pemerintah setem­pat,”ujar Amin Kepada Wartawan, di Ambon, Minggu (23/2).

Saat ini perusahaan sebenarnya masih dalam tahap proyek awal dan belum sepenuhnya beroperasi.

“Kami tentu sedih dengan keja­dian ini. Tapi saat ini kita mau luruskan dulu soal masalah abrasi di Haya. Saat ini kita masih dalam bentuk proyek, masih mulai pem­bangunan. Struktur kita juga belum terbentuk lengkap dan material yang kita ambil masih dalam bentuk sampel yang dikirim ke berbagai pengguna untuk mengetahui tang­gapan mereka terhadap bahan baku atau pasir garnet ini,” ujar Amin.

Lebih lanjut, Amin menjelaskan bahwa perusahaan belum mela­kukan produksi secara penuh.

“Kami masih dalam tahap pra-produksi, pabrik masih dalam proses pembangunan. sampel yang kami kirim ke luar Maluku bertujuan untuk mengetahui kekurangan bahan baku ini, karena ini merupakan produk baru di Indonesia,” tambahnya.

Menurutnya, pihak ESDM serta instansi lingkungan terkait telah melakukan pemeriksaan dan sejauh ini tidak ditemukan permasalahan.

“Kami menunggu bagaimana kebijakan dari Bupati yang baru. Jika mendapat dukungan, maka kami akan tetap melanjutkan proyek ini,” kata Amin.

Ia menegaskan, bahwa peristiwa di Haya menjadi pelajaran bagi perusahaan untuk lebih berhati-hati dan akan melakukan sosialisasi kedepan. Terutama di dua lokasi lain, yakni Kelmury dan Sepa dan tentunya di Haya sendiri. (S-25)