1001 Jalan Menuju Net Zero Emision
Setiap tahun, Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati pada 5 Juni. Sebagai bagian Hari Lingkungan Hidup Sedunia, acara Indonesia Net Zero Summit digelar di Jakarta, Sabtu (24/6/2023).
Ironisnya, pada bulan ini, korban jiwa akibat suhu udara ekstrem berjatuhan. Di India dikabarkan lebih dari 125 jiwa melayang karena gelombang panas yang mencapai 40 derajat celsius.
Indikasi bahwa perubahan iklim beserta mata rantai bencana yang ditimbulkannya sudah sangat urgen untuk diatasi. Kalau kata orang “It’s now or never”
Seberapa seriusnya masalah perubahan iklim global ini juga tercermin dari pernyataan mantan ekonom Bank Dunia Nick Stern dan profesor di Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment Amar Battachara.
Mereka bilang diperlukan investasi perubahan iklim senilai US$ 500 miliar – US$ 1 triliun atau Rp 7.500 triliun – Rp 15.000 triliun (kurs US$ 15.000) pada 2019-2025. Biaya ini meningkat menjadi US$ 2,4 triliun atau Rp 36.000 triliun tahun 2030 di mana pascapandemi nilai yang diperlukan makin besar, yaitu US$ 5,3 triliun.
Baca Juga: Mengatur Dual Use Technology untuk Kepentingan EkonomiKesepakatan COP 21 Paris telah lama ditandatangani. Lantas sudah di tahap mana status realisasinya saat ini? Masih jauh panggang dari api kah? Sampai-sampai pakar lingkungan kebanggaan tanah air, Profesor Emil Salim menolak pemberian penghargaan Climate HeroAward dari Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) karena merasa gagal menjalankan konvensi Rio 1992.
Mantan menteri lingkungan hidup itu juga mensinyalir bahwa seluruh dunia gagal melaksanakan konvensi tersebut, termasuk Indonesia, yang dikatakannya sebagai poor, rendah dan buruk. (ANTARA, Senin, 26 Juni 2023).
Sebagai salah satu negara yang meratifikasi Perjanjian Paris Indonesia, Indonesia juga serius dalam mewujudkan komitmen net zero emission (NZE) pada tahun 2060 yang dikukuhkan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nation Framework Convention Climate Change.
Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menaikkan target pengurangan emisi mandiri 29 % naik menjadi 31,89% di tahun 2030 dan target dengan dukungan internasional dinaikkan dari 41% menjadi 43,20%.
Sementara langkah implementasi dan kenaikan emisi saling berkejaran dan target implementasi selalu tertinggal. Karenanya terobosan yang signifikan sudah saatnya dilakukan.
Untuk mengurangi jejak karbon dan mencapai kondisi net zero emission, pemerintah menerapkan lima prinsip utama, yaitu: peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT); pengurangan energi fosil; penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi; peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri; dan yang terakhir pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).
Sebagai terobosan, Indonesia mulai merencanakan penggunaan CCS. Ini merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer.
Teknologi ini merupakan rangkaian proses mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage). Pemisahan dan penangkapan CO2 dilakukan dengan teknologi absorpsi yang sudah banyak dikenal oleh kalangan industri.
Penangkapan CO2 biasa digunakan dalam proses produksi hidrogen baik pada skala laboratorium maupun komersial. Proses pengangkutan dilakukan dengan menggunakan pipa atau tanker seperti pengangkut gas pada umumnya (LPG dan LNG).
Sedangkan penyimpanan dilakukan dengan mengalirkan gas CO2 ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan bumi yang dapat menjadi perangkap gas, atau diinjeksikan ke dalam laut pada kedalaman tertentu hingga tidak kembali ke atmosfer.
Strategi ini menjanjikan, namun masih dipertanyakan mengingat biayanya yang tinggi dan masih akan tetap tidak kompetitif. Hingga tahun 2021, terdapat 31 proyek CCS yang beroperasi secara komersial di seluruh dunia dan sekitar 90 projek lainnya masih dalam tahap pengembangan.
Angka tersebut terus meningkat selain disebabkan oleh inovasi hasil riset yang terus berkembang dan meningkatnya komitmen dari banyak negara untuk mengurangi emisi karbon dengan teknologi CCS yang diyakini sebagai salah satu cara cepat.
Seperti dilansir The Economist baru-baru ini, perusahaan Orca akan menangkap 4.000 ton CO2 per tahun, dari sekitar 35 miliar ton yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Meski menjanjikan, teknologi ini diperhitungkan membutuhkan biaya US$ 600-US$ 800 untuk menyerap satu ton CO2.
Untuk menyerap 4.000 ton karbon per tahun, diproyeksikan perlu biaya US$ 4,8 juta. Bisa kita bayangkan berapa biaya untuk penyerapan 25 gigaton emisi karbon di tahun 2030, untuk mencegah kenaikan suhu 1,5 derajat celcius sebagaimana yang dicanangkan dunia.
Sejatinya selain lima cara di atas masih banyak cara lain, yang seharusnya ditempuh secara bersamaan untuk akselerasi NZE pada kondisi urgen sekarang ini. Pada dasarnya metoda penyerapan karbon ada dua kelompok, yakni biologis dan non-biologis.
Penyerapan non-biologis dicapai melalui reaksi fisik dan kimia, sehingga metode ini memiliki keterbatasan dalam efisiensi, teknologi dan biaya. Penyerapan biologis mengacu pada penangkapan dan penyimpanan CO2 melalui proses alami.
Fiksasi karbon oleh tumbuhan dan mikroba adalah dasar untuk penyerapan biologis. Sekitar 9 gigaton (Gt) karbon yang dilepaskan setiap tahun ke atmosfer melalui aktivitas manusia, 5 Gt di antaranya diserap secara alami oleh ekosistem akuatik dan terestrial, yang dikenal dengan penyerapan karbon biru (blue carbon sequestration ) dan penyerapan karbon terestrial (terrestrial carbon sequestration).
Pada penyerapan karbon biru, organisme laut berkontribusi sekitar 55% dari total karbon yang ditangkap secara biologis, yang membuat pelestarian dan restorasi ekosistem laut menjadi penting.
Istilah ‘Karbon Biru’ dicetuskan pada tahun 2009. Konsep ini bertumpu pada pengelolaan ekosistem laut untuk konservasi dan mitigasi perubahan iklim. Ada kriteria yang harus dipenuhi untuk mendefinisikan suatu ekosistem sebagai ‘ekosistem karbon biru’, yakni memiliki potensi penyerapan gas rumah kaca skala besar, penyimpanan karbon tetap jangka panjang, kepraktisan, dan keselarasan dengan kebijakan mitigasi.
Ekosistem bakau, rawa pasang surut, dan lamun adalah ekosistem karbon biru yang potensial, sehingga menyebabkan banyak negara memasukkan pemulihan dan konservasi lahan basah pesisir dalam rencana aksi setelah perjanjian Paris 2016.
Potensi penyerapan karbon biru pada tingkat global diperkirakan 24,0 ± 3,2 Megaton karbon per tahun untuk hutan bakau, 13,4 ± 1,4 Megaton karbon per tahun untuk rawa asin dan 43,9 ± 12,1 Megaton karbon per tahun untuk padang lamun.
Sekuestrasi terrestrial melibatkan banyak praktek implementasi, meliputi pelestarian hutan dan reboisasi, agroforestri, pertanian konservasi, termasuk penggunaan biochar dan pengolahan tanah minimum. Ekosistem terestrial berpotensi menyerap sekitar 333 Gegaton karbon di akhir abad ini.
Dalam strategi penyerapan karbon terrestrial, perluasan kawasan hutan tetap menjadi strategi yang utama dalam mitigasi perubahan iklim global. Potensi penyerapan aforestasi/reboisasi diperkirakan mulai 0,75 Gt CO2 th- 1 pada 2030, 1,5 Gt th – 1 pada 2050, 1,1 Gt th – 1 pada 2100 hingga 2,7 Gt CO2 th -1 pada tahun 2030, 4,9 Gt CO 2 th- 1 pada tahun 2050, 5,8 Gt CO2 th- 1 pada 2100.
Pemulihan lahan basah menjadi strategi penting lainnya. Sekitar 50% dari lahan basah dunia hilang baik untuk pertanian, industri, atau urbanisasi. Hilangnya habitat kaya spesies seperti lahan basah, tidak hanya sangat mempengaruhi keanekaragaman hayati tetapi juga memperburuk emisi CO2. Potensi peningkatan karbon organik tanah yang stabil (SOC) akibat pemulihan lahan basah diperkirakan 0.35 – 1.10 t C ha – 1 tahun – 1.
Agroforestri sebagai strategi mitigasi dan adaptasi, merupakan sistem yang mengintegrasikan pepohonan ke dalam lanskap pertanian. Konversi penggunaan lahan dari padang penggembalaan menjadi perkebunan, hutan asli menjadi tanaman pangan, dan padang rumput menjadi tanaman pangan secara signifikan menurunkan stok SOC.
Dengan agroforestri, sekitar 35% cadangan karbon hutan yang hilang dapat dipulihkan. Agroforestri secara signifikan berkontribusi pada sumber karbon mencapai 50-75 t C ha- 1 dan potensi SOC 5.3 Gt C y – 1 secara global.
Penerapan praktek pertanian konservasi penting karena dapat menyumbang peningkatan SOC 1.01 tC ha-1 th-1. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mendefinisikan pertanian konservasi (CA) sebagai sistem pertanian yang mempromosikan konservasi tanpa pengolahan tanah atau pengolahan tanah minimum, diversifikasi penanaman, dan mempertahankan penutupan tanah.
Sebagian dari karbon tetap dari biomasa tanaman diubah menjadi karbon organik tanah yang stabil (SOC) dengan membentuk kompleks organo-mineral dan karbon anorganik tanah (SIC) dengan membentuk karbonat. Bila dibarengi aplikasi biochar, berpotensi meningkatkan SOC 8-18%.
Akhir-akhir ini banyak dikembangkan strategi penyerapan karbon menggunakan mikro dan makro alga sebagai biofaktor fotosintesis yang paling efisien. Mikroalga adalah bioagen yang mampu menangkap CO2 dan mengubahnya menjadi karbohidrat.
Teknologi CCS mikroalga dapat terdiri dari dua jenis yaitu fotobioreaktor dan kolam terbuka (open pond). Serapan CO2 oleh mikroalga Scenedesmus sp. dalam kolam kultur dapat mencapai hingga 94% menggunakan sumber CO2 dari cerobong industri.
CO2 yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 ton biomassa mikroalga adalah 1,83 ton. Chlorella sp. dan Nanochloropsis gaditana berpotensi menyerap karbon masing-masing sebesar 617,6 dan 551,9 kg m-3 th-1 atau kg m-2 th-1.
Masih banyak strategi lainnya yang dapat ditempuh secara bersamaan untuk membantu akselerasi NZE seperti aplikasi mikroba, termasuk bakteri, jamur, ragi dan ganggang, dan lain-lain. Sebagian besar mikroba berpotensi mengikat CO2 dari udara melalui berbagai macam mekanisme, termasuk fotosintesis dan nonfotosintesis.
Pendekatan rekayasa genetika dan mengatur sifat dan ekspresi enzim dapat ditempuh untuk meningkatkan penangkapan karbon melalui pengaturan sifat atau ekspresi karboksilase, mekanisme pemekatan karbon dari tanaman C4 atau Cyanobacteria pada tanaman C3. Ribulosa-1,5-bifosfat karboksilase/oksigenase (RuBisCO) adalah karboksilase pembatas laju fiksasi karbon yang paling banyak di alam dan dapat direkayasa untuk meningkatkan penyerapan CO2. oleh: Nuril Hidayati Staf peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Tinggalkan Balasan