KETEGANGAN yang tampaknya tak pernah berakhir antara Rusia dan Ukraina, yang mungkin dilihat sebagai pertanyaan tentang kepatuhan terhadap hukum dan norma-norma internasional, menciptakan tantangan signifikan bagi stabilitas global. Akan tetapi, konflik ini yang memiliki akar kuat dalam geopolitik Eropa, seringkali diabaikan di skala global, termasuk di Indonesia. Respons hati-hati dari negara-negara di belahan dunia selatan, termasuk Indonesia, mencerminkan perspektif geopolitik mereka. Khususnya, negara-negara di belahan dunia selatan, termasuk Indonesia, telah menanggapinya dengan hati-hati. Narasi yang melihat konflik ini sebagai pertarungan yang lebih signifikan antara demokrasi dan otokrasi, cukup tepat, memicu perdebatan. Meskipun negara-negara ini tidak terlibat langsung dalam konflik, dukungan ekonomi dan politik mereka dapat menjadi sangat penting dalam mem­bentuk respons internasional, dan memastikan sanksi jangka panjang terhadap pihak yang bersalah.

Seperti negara-negara selatan lainnya, Indonesia sangat menyadari implikasi strategis yang lebih luas dari konflik ini, terutama dalam hal persaingan yang lebih luas antara Amerika Serikat dan Tiongkok.  Pelajaran potensial yang dapat diambil dari kejadian-kejadian yang terjadi di Ukraina, dapat berdampak pada bagaimana negara-negara lain memandang dan menanggapi contoh-contoh agresi sehingga memengaruhi intensitas dan kemungkinan ancaman di masa depan. Bagaimanapun, ketegangan geopolitik antara negara-negara adidaya ialah fenomena yang sudah ada sejak lama. Hal ini selalu mengarah pada siklus kekerasan dan konflik yang berulang. Krisis Ukraina menunjukkan pola yang sama, menandakan kembalinya ke norma historis setelah periode perdamaian relatif setelah berakhirnya Perang Dingin. Lebih kompleks dari Perang Dingin Baru Namun, melihat hal ini melalui lensa Perang Dingin baru ialah penyederhanaan yang berlebihan, gagal menangkap seluk-beluk dinamika geopolitik modern, terutama yang terjadi antara AS dan Tiongkok. Saling ketergantungan antara kedua kekuatan ini dalam sebuah sistem global bersama merupakan perubahan yang signifikan dari dinamika Perang Dingin yang terisolasi.

Sejak reformasi ekonomi Deng Xiaoping pada 1970-an, Tiongkok dan AS telah tumbuh sangat berhubungan satu sama lain, dan dengan seluruh dunia. Saling ketergantungan yang mendalam di rantai pasokan global ini menandakan komplek­sitas yang tidak terlihat di era sebelumnya, membuat ‘pemisahan’ penuh dari kedua ekonomi tidak layak dan tidak diinginkan. Contoh yang baik ialah dinamika AS-Tiongkok di pasar semikon­duktor, di mana gangguan apa pun dapat menyebabkan kerugian yang signifikan. Akibatnya, persaingan antara AS dan Tiongkok lebih dari sekadar pembagian ke dalam sistem yang terpisah, seperti yang terjadi selama era Perang Dingin. Hal ini melibatkan penilaian yang bernuansa, penentuan posisi, dan manajemen strategis saling ketergantungan. Kedua negara cenderung memanfaatkan saling ketergantungan ini sebagai alat kompetisi, berusaha mengurangi kerentanan mereka dan mengeksploitasi kerentanan pihak lain.

Menavigasi ancaman noneksistensial Tidak seperti ancaman eksistensial selama Perang Dingin, persaingan AS-Tiongkok saat ini tidak mengancam penghancuran atau penggantian sistem. Bahkan, dengan adanya potensi titik nyala seperti Selat Taiwan, risiko konfl ik militer langsung sebagian besar bersifat tidak langsung dan tidak dirancang. Mengingat ancaman noneksistensial ini, AS telah mendefinisikan kembali keterlibatannya dengan dunia, beralih dari intervensi skala besar ke kebijakan penyeimbangan lepas pantai. Pergeseran ini, memungkinkan AS untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan tuntutan pada mitra tepercaya, membuka jalan bagi kebijakan luar negeri yang lebih transaksional. Dinamika ini, pasti akan membentuk hubungan Indonesia dengan AS dan Tiongkok dan memenga­ruhi keseimbangan regional di Asia Tenggara.

Mengarungi persaingan kekuatan besar abad ke-21: jalan Indonesia Saling ketergantungan yang melekat dalam geopolitik abad ke-21 menciptakan dinamika yang kompleks sehingga membuat pilihan biner yang sederhana antara demokrasi dan otoritarianisme tidak cukup untuk memahami hubungan antarnegara dalam satu sistem global. Bagi Indonesia, seperti halnya negara-negara lain, keterlibatan dengan keduanya bukan hanya sebuah kemungkinan, melainkan sebuah keharusan. Memang, dinamika saling ketergantungan yang rumit memberikan lebih banyak ruang bagi negara-negara untuk bermanuver jika dibandingkan dengan era Perang Dingin. Meskipun akan ada ketegangan dan perbedaan lebih lanjut antara AS dan Tiongkok, gagasan tentang perpecahan global menjadi dua sistem yang terpisah, seperti yang terlihat pada Perang Dingin, tampaknya tidak mungkin terjadi di dunia yang terhubung saat ini. Seperti halnya negara-negara lain, Indonesia perlu memetakan arahnya dalam pergeseran persaingan kekuatan global.

Baca Juga: Membangun Perpustakaan sebagai Ruang Publik di Era Digital

Dalam menghadapi dinamika yang kompleks ini, tujuan kita ialah untuk menjaga keseimbangan regional sembari menjalin hubungan yang produktif dengan Amerika Serikat dan Tiongkok. Ini ialah realitas geopolitik yang tidak dapat diabaikan oleh negara mana pun, dan kemampuan untuk mengelola hubungan dengan keduanya secara efektif sangat penting bagi kemakmuran negara kita di abad ke-21. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar ke-16 di dunia dan terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki pengaruh ekonomi yang signifikan yang dapat dimanfaatkan. Mengingat risiko yang besar jika terlalu dekat dengan salah satu negara adidaya, penting bagi Indonesia untuk mendiversifikasi ketergantungan ekonomi dan kemitraan strategisnya. Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah menjadi platform yang berharga, yang memungkinkan kolaborasi regional dan tawar-menawar kolektif dalam berbagai isu. Dengan membina hubungan yang  lebih kuat di dalam ASEAN dan negara-negara berkembang lainnya, Indonesia dapat mengurangi risiko ketergantungan yang berlebihan terhadap AS atau Tiongkok. Memainkan peran lebih aktif Sebagai anggota G-20 dan pemain kunci di Asia Tenggara, Indonesia dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam tata kelola global. Indonesia dapat menggunakan platform ini untuk mengadvokasi norma-norma dan aturan-aturan internasional, menengahi konflik, dan memajukan kepentingannya.

Dengan melakukan hal tersebut, Indonesia dapat memengaruhi wacana global, dan berkontribusi pada pembentukan tatanan internasional yang lebih adil. Pendekatan proaktif seperti ini meningkatkan posisi Indonesia di panggung dunia, dan memberikannya suara dalam membentuk aturan main. Bahkan ketika menghadapi dinamika ekonomi dan politik, Indonesia harus tetap memperhatikan pertahanan dan keamanannya. Meningkatnya militerisasi Laut Tiongkok Selatan, meningkatnya persaingan AS-Tiongkok, dan ancaman keamanan regional yang sedang berlangsung membutuhkan postur pertahanan yang kuat. Hal ini mencakup modernisasi kemampuan militer dan peningkatan keamanan maritim, mengingat lokasi stra­tegis Indonesia sebagai negara maritim.

Postur pertahanan yang kuat akan menghalangi agresor potensial dan memastikan Indonesia dapat melindungi integritas teritorial dan kepentingan nasionalnya. Pada saat tatanan internasional berbasis aturan sedang mengalami tekanan, Indonesia memiliki kepentingan untuk mempromosikan dan memperkuat sistem ini. Tatanan berbasis aturan dapat mencegah tindakan se pihak oleh negara-negara kuat dan memastikan bahwa negara-negara kecil dan menengah seperti Indonesia tidak dikesampingkan. Oleh karena itu, Indonesia harus terus mengadvo­kasi tatanan berbasis aturan di berbagai forum internasional, termasuk PBB. Dalam persaingan kekuatan besar ini, sektor teknologi dan ekonomi digital menjadi semakin penting, terutama meng ingat pertarungan sengit untuk meraih supremasi dalam AI, 5G, dan komputasi kuan­tum antara AS dan Tiong­kok. Oleh karena itu, investasi Indonesia dalam kapabilitas teknologi dan ekonomi digital sangat penting, tidak hanya untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dalam strategi geopolitik. Meningkatkan infrastruktur digital, inovasi, dukungan terhadap startup, dan pengembangan keterampilan tenaga kerja bukan hanya menjadi tujuan domestik. Melainkan juga, merupakan langkah penting untuk memper­kuat posisi Indonesia dalam dinamika kekuatan global Me­navigasi kompleksitas persaingan kekuatan besar di abad ke-21 adalah masalah yang mendesak bagi Indonesia. Di tengah posisi Indonesia yang berada di garis tipis antara keselarasan dengan AS dan Tiongkok, Indonesia harus menyadari risiko tinggi dari ketergantungan yang berlebihan dan meresponsnya secara proaktif.

Diversifikasi strategis dari ke­tergantungan ekonomi, pening­katan kemampuan pertahanan, dan  sikap yang lebih tegas dalam tata kelola global semuanya penting untuk mempertahankan otonomi dan kedaulatan Indonesia. Dalam menghadapi kete­gang­an yang meningkat di Laut Tiongkok Selatan dan persaingan yang tidak henti antara AS dan Tiongkok, kemampuan Indonesia untuk membangun postur perta­hanan yang kuat dan berinvestasi dalam kemajuan teknologi akan menjadi ujian bagi ketahanannya. Perlombaan untuk supremasi teknologi adalah medan pertem­puran yang kritis; apakah Indonesia akan berdiri sebagai penonton atau muncul sebagai penantang? Tekad Indonesia untuk menempa diri di era ekonomi digital ini akan berdampak signifikan terhadap kemakmurannya di masa depan. Mengarungi arus geopolitik global merupakan suatu tugas yang berat bagi Indonesia.

Untuk memastikan stabilitas dan kemajuan, negara kita perlu memajukan kemampuan tekno­logi dan ekonomi digital, dan memperkuat daya pertahanan, dengan fokus pada keamanan laut. Kita harus memprioritaskan keanekaragaman hubungan ekonomi dan membina kerja­sama strategis, sementara ASEAN bisa dijadikan sebagai sarana untuk kolab rasi dan negosiasi bersama di tingkat regional. Selanjutnya, peran pro­aktif Indonesia dalam pemerin­tahan dunia sangatlah vital.

Sebagai anggota G-20 dan aktor penting di Asia Tenggara, kita memiliki kesempatan untuk membentuk norma dan aturan internasional, berfungsi sebagai penengah dalam perselisihan, dan mendorong

kepentingan kita sendiri. Dalam mengatasi rintangan di era geopolitik yang rumit ini, keberanian dan kecerdasan dalam pengambilan keputusan, bersama dengan visi yang jelas dan bertanggung jawab, akan menjadi kunci menuju masa depan Indonesia yang lebih damai dan sejahtera.Oleh: Virdika Rizky Utama Anggota PCINU Tiongkok Peneliti PARA Syndicate (*)