PUTUSAN MK No 114/PUU-XX/2022 mengenai pengujian UU No 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) terhadap UUD 1945 tidak hanya menegaskan sistem proporsional terbuka, tetapi juga menyasar isu lain yang tidak kalah pentingnya, yakni menjamurnya praktik politik uang (money politics) pada setiap penyelenggaran pemilu. Mahkamah dalam pertimbangannya menekankan bahwa parpol dapat saja dibubarkan jika terbukti tidak mampu menekan laju politik uang yang dilakukan calon anggota DPR/DPD. Pertimbangan Mahkamah itu tentu bukan hanya pepesan kosong belaka, melainkan ditopang fakta empiris. Bawaslu RI, pada Pemilu 2019, telah memetakan 17 jenis tindak pidana pemilu. Dari jumlah itu, praktik politik uang menempati posisi tertinggi, sebanyak 69 perkara yang diputus pengadilan. Pertanyaan kemudian, mengapa politik uang masih saja terjadi dalam setiap penyelenggaraan pemilu?   Mengidentifikasi penyebab Lawrence M Friedman (1978) menyebut tiga faktor sebagai pendorong lemahnya penegakan hukum dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat. Pertama, legal substance. Kedua, legal structure. Ketiga, legal culture.

Dalam konteks legal substance, hukum dikonotasikan sebagai peraturan tertulis (statute) yang dibuat negara. Maka itu, eksistensinya ikut memengaruhi perilaku masyarakat. Dalam pemilu, legal substance yang dimaksud ialah UU Pemilu yang mesti memiliki kejelasan dan kepastian dalam mengatur mengenai delik politik uang. Oleh karena itu, perlu dilihat rumusan Pasal 515 UU Pemilu yang berbunyi setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan, atau memberikan uang, atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah akan dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp36 juta. Secara teori, ada dua hal yang perlu diketahui mengenai rumusan delik dalam Pasal 515 itu. Pertama, mengenai jenis delik berupa delik materiel. Dalam hal ini, seseorang baru dikatakan melakukan politik uang jika perbuatannya mengakibatkan surat suara menjadi tidak sah. Konsekuensi logisnya, jika akibat yang dimaksud tidak tercapai, pelaku tidak mutatis mutandis dapat dipidana. Inilah kelemahan mendasar delik materiel.

Jangkauan deliknya terbatas sebab digantungkan pada akibat yang dikehendaki pembentuk UU. Keterbatasan jangkauan jenis delik itu dapat saja menstimulasi setiap orang menjadi lebih berani melakukan delik politik uang pada setiap penyelenggaraan pemilu. Kedua, mengenai ancaman pidana. Apabila diperhatikan, berat ringannya ancaman pidana dalam pasal a quo menggunakan pola minimum umum, seperti yang digunakan dalam KUHP warisan kolonial Belanda. Untuk mengenalinya, dapat dilihat frasa ‘dipidana dengan pidana penjara paling lama atau dipidana denda paling banyak’. Melalui pola yang demikian, itu memungkinkan hakim untuk memilih ancaman pidana dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Pada bagian ini, subjektivitas hakim otomatis berfungsi sebab dihadapkan pada elastisnya norma ancaman pidana. Maka itu, potensi terjadinya disparitas pidana merupakan kenyataan yang sangat sulit dihindari. Misalnya, hakim akan menjatuhkan pidana penjara kepada pelaku delik politik uang, ia bisa memilih antara 1 hari-3 tahun. Logikanya, pidana penjara minimum dalam Pasal 12 KUHP ialah satu hari, sedangkan ancaman penjara maksimum dalam UU Pemilu tiga tahun.

Longgarnya ancaman pidana itu dikhawatirkan tidak memberi efek jera kepada pelaku delik politik uang. Padahal, keberadaan sanksi pidana kata Von Feuerbach (1775-1833) bertujuan sebagai vom psycologischen zwang, yakni menakut-nakuti masyarakat secara psikologi agar tidak melakukan delik. Masalah kedua, kata Friedman, ialah aparat penegak hukum (legal structure). Dalam hal ini, eksistensi delik di masyarakat ikut dipengaruhi integritas dan kecakapan aparat hukum itu sendiri. Jika integritasnya rendah, mutatis mutandis akan menegakkan hukum dengan cara timpang sebelah atau diskriminatif. Hukum menjadi tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Ujungnya, hukum kehilangan daya pikat dan pengaruh di masyarakat.

Dalam konteks ini, delik politik uang akan dengan mudah terjadi sebab moralitas dan netralitas penegak hukum akan berpengaruh signifikan dalam penanganan delik politik uang. Jika dilakukan secara fair dan objektif, masyarakat bisa melihat hukum itu tegak, tetapi jika dilakukan serampangan, hal itu bisa mendegradasi kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum. Masalah terakhir yang disampaikan Friedman ialah budaya hukum masyarakat (legal culture). Dalam hal ini, pengendalian delik di masyarakat bisa dipengaruhi budaya hukum masyarakat itu sendiri. Delik politik uang, misalnya, belakangan semakin marak terjadi karena sifat pragmatisme dan transaksional publik yang semakin merajalela. Kurangnya kesadaran masyarakat mengenai dampak politik uang terhadap pembangunan daerah juga menjadi salah satu penyebab. Di saat bersamaan, calon dan parpol bahkan ikut menumbuhsuburkan praktik politik uang.

Baca Juga: Pendidikan dan Pencegahan Perundungan Digital

Relasi korupsi politik Dalam literatur, politik uang acap kali disebut sebagai korupsi elektoral. Itu disebabkan pada hakikatnya politik uang merupakan perbuatan curang berupa jual-beli suara yang melibatkan sejumlah uang tertentu dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk pula kategori korupsi elektoral ialah menjanjikan jabatan atau hadiah atau bentuk lainnya kepada pemilih. Atas dasar kecurangannya, politik uang dianggap sepantaran dengan praktik korupsi. Lalu, adakah relasinya dengan korupsi politik? Perlu dicatat bahwa politik uang bisa menyebabkan pemilu menjadi high cost sebab modal yang dihabiskan calon menjadi tidak terbatas. Jika calon terpilih, hal pertama yang terbesit dalam pikirannya ialah bagaimana mengembalikan modal yang telah dihabiskan dalam jual-beli suara. Pada titik inilah, anggota DPR/DPD terpilih akan mengalami semacam kerawanan moral (moral hazard). Itu disebabkan terbuka ruang untuk melakukan korupsi politik dengan cara mendagangkan pengaruh, me­nyalahgunakan kuasa atau jabatan, menerima suap dan gratifikasi yang ujungnya ialah memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi (termasuk par­pol) secara tidak sah. Tegasnya, ada relasi kausal antara politik uang dan korupsi politik.

Upaya pencegahan Praktik politik uang bisa dikatakan juga sebagai salah satu musuh pemilu demokratis sebab ia bisa merongrong wibawa demokrasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pencegahan. Pertama, penyelenggara pemilu mesti memperkuat edukasi kepada pemilih mengenai bahaya politik uang yang bisa merusak kualitas demokrasi, melahirkan korupsi politik, menimbulkan degradasi sosial, dan potensi konflik horizontal. Kedua, mesti ada kebijakan simultan dari pemerintah mengenai upaya menyadarkan masyarakat agar tidak menoleransi praktik politik uang di satu sisi dan kerja sama yang apik antara penyelenggara pemilu, parpol, penggiat pemilu, serta pemilih dalam upaya mencegah hadirnya politik uang di sisi lainnya. Ketiga, memperkuat integritas dan kualitas person yang bertugas di sentra gakkumdu serta hakim di pengadilan sehingga produk hukumnya bisa dipercaya publik. Keempat, ancaman pidana dalam UU Pemilu sebaiknya diubah, tidak lagi menggunakan pola indefinite sentence, tetapi menjadi indeterminate sentence atau minimum khusus sebagai ciri hukum pidana modern sehingga rumusan kalimatnya menjadi pidana penjara paling singkat atau pidana denda paling sedikit. Rumusan itu akan memangkas potensi munculnya disparitas pidana pemilu oleh hakim. Kelima, perlu konsistensi.

Dari penyelenggara pemilu dan penegak hukum terhadap calon anggota DPR/DPD yang terbukti melakukan politik uang berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, wajib dibatalkan sebagai calon dan perkara politik uang yang telah dilakukannya diproses hukum agar memberi efek jera, baik kepada calon sebagai special deterrence maupun kepada masyarakat sebagai general deterrence.Oleh: Hariman Satria  Dosen FH Univ Muhammadiyah Kendari . (*)