HAMPIR bisa dipastikan tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa setiap tanggal 14 September diperingati sebagai Hari Kunjung Perpustakaan dan September sebagai Bulan Gemar Membaca. Peringa­tan Hari Kunjung Perpustakaan ini diselenggarakan setiap tahun agar menjadi momen untuk meningkatkan literasi dan perilaku gemar membaca masyarakat. Namun, pertanyaannya kemudian ialah masyarakat yang saat ini sudah berada dalam era digital dan terbiasa mencari informasi di dunia maya melalui gadget, masihkah membutuhkan perpustakaan untuk mencari informasi?

Di tengah perkembangan era masyarakat digital yang makin masif, harus diakui banyak perpustakaan kini menghadapi dilema. Ketika masyarakat makin melek digital dan terbiasa mengandalkan teknologi informasi untuk mencari informasi yang dibutuhkan, peran perpustakaan mau tidak mau harus direvitalisasi.

Tanpa harus berkunjung ke perpustakaan, masyarakat kini bisa membaca koran online serta buku (e-book) dan artikel jurnal secara gratis. Bahkan, menemukan informasi secara cepat dari mesin pencari cukup melalui gadget yang ada di tangannya. Di stasiun kereta api, di mal, bandara udara, sekolah, warung kopi, dan lain-lain, masyarakat dengan mudah berselancar mencari informasi yang dibutuhkan. Pada titik ini, lantas apa yang perlu dilakukan dalam peringatan Hari Kunjung Perpustakaan 2023?

Citra Perpustakaan

Dalam lima tahun terakhir, kita bisa melihat bahwa keberadaan perpustakaan tidak lagi satu-satunya sebagai lembaga penyedia informasi yang dilengkapi dengan ruangan untuk aktivitas membaca atau belajar. Di masyarakat urban, kini dengan mudah bisa ditemui berbagai ruang publik seperti co-working space, library cafe, kafe, bandara, dan ruang publik lain telah menyediakan fasilitas internet atau wi-fi yang memungkinkan pengunjung untuk mencari informasi di dunia maya sambil bekerja dan belajar.

Baca Juga: Meredam Kenaikan Harga Beras

Ketika pilihan tempat untuk aktivitas membaca, belajar, dan bekerja tersedia makin banyak, terbuka kemungkinan bagi masyarakat untuk menentukan pilihan yang dirasakan nyaman dan terbuka bagi mereka. Ada indikasi masyarakat makin menimbang untuk berkunjung ke perpustakaan karena pilihan ruang publik yang tersedia makin banyak. Di kampus dan sekolah, perpustakaan juga bukan lagi tempat yang favorit untuk dikunjungi. Masalahnya di sini tidak sekadar soal keterbatasan koleksi bacaan yang tersedia, tetapi juga karena peran perpustakaan yang kalah pamor dengan ruang publik lain.

Alih-alih berkunjung ke perpustakaan, masyarakat pun bisa dipahami jika lebih memilih bekerja, belajar, dan membaca di kafe dengan label library cafe sambil mencari informasi di internet dengan fasilitas wi-fi yang tersedia. Selain berselancar di dunia maya lebih membuka peluang untuk mencari informasi yang tanpa batas, suasana perpustakaan dinilai kurang menyenangkan, kurang nyaman, dan kurang terbuka.

Bagi generasi Google, perpustakaan sering kali menjadi pilihan terakhir yang dikunjungi di saat mereka ingin mengisi waktu luang atau belajar. Bahkan, daripada berkunjung ke perpustakaan, kebanyakan anak muda lebih memilih belajar di rumah, kafe, atau ruang publik lain.

Di era perkembangan masyarakat digital, daya tarik perpustakaan terasa kurang gereget–apalagi ketika perpustakaan harus berhadapan dengan kekayaan informasi yang ditawarkan Google, Yahoo, dan sumber informasi serta social networking lain­nya di era digital. Tanpa harus berkunjung ke perpustakaan, generasi Google dan generasi Z bisa mencari sendiri informasi yang dibutuhkan melalui gadget dan fasilitas internet yang bisa diakses.

Di Indonesia, kondisi perpus­ta­kaan bisa digambarkan seperti pepa­tah: mati segan, hidup pun tak mau. Ini berbeda dengan kondisi perpustakaan di negara maju yang setiap hari selalu ramai dikunjungi orang. Di kampus-kampus terkenal di luar negeri, perpustakaan setiap hari selalu ramai dikunjungi ratusan mahasiswa dan para akademisi. Demi mendapatkan tempat belajar di perpustakaan, mereka rela datang lebih awal sebelum jam buka perpustakaan, bahkan berebut tempat.

Jumlah koleksi yang luar biasa banyak, koleksi digital yang lengkap dan bisa diakses setiap saat, serta suasana gedung yang nyaman membuat para pengunjung betah menghabiskan waktu luang, belajar dan membaca di perpustakaan. Sudah lazim terjadi pada saat menjelang ujian, perpustakaan yang kadang buka 24 jam selalu penuh sesak dikunjungi mahasiswa hingga larut malam.

Di Singapura, misalnya, perpustakaan tidak hanya menjadi tempat populer bagi siswa dan mahasiswa untuk belajar, tetapi juga menjadi tempat yang menyenangkan dikunjungi orang tua dan anak-anak. Tidak sedikit orang tua yang berkunjung ke perpustakaan untuk sekadar membaca koran, majalah, atau mengisi waktu luang membaca buku.

Terlihat pemandangan hampir setiap pagi, para orang tua (yang telah pensiun) menunggu jam buka perpustakaan hanya untuk membaca koran. Sementara itu, anak-anak pun sejak dini telah didorong agar senang berkunjung ke perpustakaan karena di sana mereka tidak hanya membaca, tetapi juga bermain dengan suasana yang riuh.

Berbeda dengan perpustakaan di Indonesia, yang sebagian besar melarang pengunjung ramai dan tidak juga diperkenankan membawa makanan, perpusta­kaan di luar negeri justru didesain sebagai tempat yang sangat menyenangkan. Di Perpustakaan Nasional Singapura, ruang perpustakaan bagi anak-anak tak ubahnya seperti wahana tempat bermain anak. Anak bisa berlari-lari dan tertawa gembira ketika berkunjung di perpustakaan. Justru pada saat mereka capek atau ingin istirahat karena lelah bermain, mereka akan duduk di pinggir dan membaca buku-buku yang disukainya.

Ruang publik

Untuk menarik minat masyarakat berkunjung ke perpustakaan, secara garis besar ada beberapa hal yang perlu dipahami. Pertama, khusus bagi anak-anak perpustakaan seyogianya menyediakan ruang yang memungkinkan anak mengembangkan aktivitas reading for pleasure. Anak-anak dapat menikmati bacaan yang disukai, tanpa harus dievaluasi untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka baca layaknya mereka belajar di sekolah.

Kedua, perpustakaan mau tidak mau harus mampu menawarkan tambahan koleksi bacaan digital yang bisa diakses para pengunjung dengan mudah dan cepat. Bagi para pelajar dan mahasiswa yang membutuhkan rujukan akademik, kelengkapan e-journal, e-book, dan koleksi digital lain umumnya yang sangat mudah diakses menjadi daya tarik yang menjanjikan.

Ketiga, bagi para orang tua, koleksi bacaan ringan, tabloid, koran, majalah, dan media massa lain, baik cetak maupun online, ialah sumber informasi yang biasanya dicari ketika mereka mengisi waktu luang berkunjung ke perpustakaan. Variasi koleksi perlu ditawarkan perpustakaan sesuai dengan kebutuhan dan minat pengunjung.

Berharap perpustakaan ramai dikunjungi dan menjadi pili­han populer yang tak kalah menarik ketimbang mal dan kafe, sesung­guh­nya yang dibutuhkan bukan sekadar ikhtiar memperbaiki kenya­ma­nan ruang baca dan me­nambah jumlah koleksi bacaan.

Untuk dapat menarik mi­nat mas­yarakat agar selalu rindu berkunjung ke per­pus­ta­kaan, menurut Benn and Gaus (1983), yang perlu dilaku­kan tak pelak ialah bagaimana mende­kon­struksi citra perpustakaan sebagai ruang publik yang memenuhi aspek-aspek publicness, yaitu yang bisa diakses semua orang (access), berman­faat dan menyenangkan (interest), serta tidak membatasi ruang gerak pengunjung (agency). Tanpa ada upaya untuk memperbaiki citra perpustakaan secara substansial, jangan harap masyarakat tertarik berkunjung ke perpustakaan.Oleh: Rahma Sugihartati Guru Besar Sains Informasi dan Dosen Perilaku Gemar Membaca Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga.(*)