COVID-19 varian omikron tidak bisa dipandang remeh. Ia menyumbang kenaikan kurva covid-19 harian cukup signifikan. Banyak kolega di kantor terinfeksi, termasuk saya sendiri. Saat menulis artikel ini, kondisi saya masih dalam proses pemulihan. Saya meyakini, setiap orang memiliki level ikhtiarnya masing-masing agar tidak terpapar virus ini. Namun, terlalu banyak variabel yang memungkinkan diri kita terinfeksi, di luar kuasa kita. Apalagi varian omikron memiliki sifat yang lebih menular (Kemenkes, 2022).

Tidak heran, ia hanya membutuhkan waktu tiga bulan untuk menyebar ke 157 negara. Indonesia menjadi yang tertinggi ketiga di Asia setelah India dan Jepang. Akibatnya, sudah mulai banyak kantor yang kembali menerapkan work from home (WFH). Meski cara kerja demikian direspons secara variatif oleh para pegawai, ada yang suka dan ada yang duka, namun tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas kerja di rumah tidak akan seefektif di kantor. Terutama saat harus melakukan koordinasi dan memutuskan hal-hal yang mendesak. Apalagi jika ada sebagian orang-orang kunci (key person) dalam organisasi tersebut terpapar covid-19.  Perlu diketahui, bahwa kantor tidak hanya berfungsi sebagai tempat bekerja. Secara teoritis, sejatinya kantor memiliki dua fungsi, yakni fungsi dasar dan fungsi manajemen administrasi (Chopra & Gauri, 2015).

Fungsi dasar kantor antara lain mengumpulkan, memproses, menyimpan, dan mendistribusikan informasi. Dalam hal ini, kantor berfungsi menyediakan layanan komunikasi dan pencatatan.  Adapun fungsi manajemen administrasi dari kantor antara lain memainkan peran kehumasan, melembagakan sistim dan rutinitas kantor, mengamankan aset dan yang tidak kalah penting adalah memainkan fungsi personalia. Kedua fungsi tersebut tentu akan terhambat apabila sebagian pegawainya bekerja di luar kantor (rumah).

Meski demikian, produktivitas mereka akan sangat ditentukan setidaknya oleh tiga faktor. Pertama, intensi dan komitmen individual terhadap pekerjaan, ketika produktif atau tidaknya pegawai dipengaruhi oleh dirinya sendiri. Apabila perilaku kewargaan organisasinya tinggi, di manapun ia bekerja akan tetap berupaya memberikan yang terbaik bagi tempat kerjanya. Kedua, kontrol dari sistem kerja yang sudah terlembaga. Namun, biasanya dibutuhkan sistim kerja yang sudah mapan, dari mulai deskripsi kerja hingga mekanisme pengawasannya.

Di banyak kantor yang sudah maju biasanya telah memiliki sistim manajemen proyek yang efektif, sehingga yang mengontrol kinerja adalah sistem. Ketiga, pengawasan dari atasan dalam konteks komunikasi vertikal serta dari sesama rekan kerja dalam konteks komunikasi horizontal. Faktor ini juga tidak kalah penting terutama untuk kantor yang sistemnya belum terlalu mapan (mature), sehingga mekanisme pengawasannya masih membutuhkan peran manusia yang lebih besar.

Baca Juga: Pranata Humas Tidak Boleh Gaptek

Siap dengan force majeure Di tengah serbuan omikron seperti hari ini, setiap kantor memang seyogyanya memiliki sistem yang siap dengan skenario force majeure. Pihak manajemen harus dapat mengantisipasi sejak awal apabila tiba-tiba banyak pegawai yang terpapar covid-19 sehingga terpaksa bekerja di rumah.  Mengingat pandemi ini sudah berlangsung sekitar dua tahun, sebetulnya sudah banyak kantor yang berpengalaman menyikapi hal ini. Mereka sudah siap dengan form absensi dan kolom deskripsi pekerjaan yang harus diisi oleh pegawainya.  Namun, sayangnya terkadang kantor hanya fokus pada monitoring terhadap proses pekerjaan yang bersifat prosedural tapi melupakan kontrol terhadap hasil (output dan outcome). Padahal, banyak organisasi maju kini menerapkan sistem kerja yang lebih berorientasi hasil alih-alih proses.

Situasi force majeure sebetulnya bisa terjadi kapanpun. Tidak hanya karena covid-19, atau bencana alam yang terjadi tiba-tiba, namun juga karena situasi lain yang membuat aktivitas kerja tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, misalnya hilangnya orang-orang kunci di organisasi tersebut.  Pada umumnya kantor dengan sistem yang masih tradisional tidak siap dengan situasi demikian, sehingga tidak heran apabila banyak aktivitas bisnis yang mati suri saat serangan covid-19 memuncak. Respons yang ditunjukkan dalam menyikapi situasi tersebut juga cenderung reaksioner dan sporadis.

Seharusnya serangan omikron ini dijadikan pelajaran berharga bagi setiap organisasi untuk lebih adaptif dan lincah dalam merespons krisis. Ini adalah waktunya untuk belajar bagaimana komunikasi perkantoran dijalankan secara efektif meski sebagian pegawainya bekerja di luar kantor.  Menurut saya, solusinya bukan hanya pada soal perangkat kerasnya, seperti digitalisasi perkantoran.

Digitalisasi tentu perlu untuk mendukung komunikasi perkantoran jarak jauh. Namun, lebih dari itu adalah bagaimana menciptakan sistem dan budaya kerja yang membuat setiap pegawai berkomitmen untuk memberikan yang terbaik bagi pekerjaannya, meski mereka sedang berada di luar kantor. Tujuannya mereka tetap produktif di tengah-tengah serbuan omikron ataupun bentuk force majeure lainnya di masa depan. oleh: Suwatno  Guru Besar Komunikasi Organisasi FPEB UPI, Direktur Direktorat Kemahasiswaan UPI