HAN (Hari Anak Nasional) peringatannya yang jatuh  pada tanggal 23  Juli 202l merupakan perayaan yang ke 54 tahun. Kali ini dirayakan dengan keseder- hanaan tetapi tetap meriah dengan segala keceriaan anak anak kita. Tahun ini tema perayaan adalah “Anak terlindungi, Indonesia Maju”. Bahkan Menteri PPPA (Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Ibu I Gusti Bintang Ayu Puspayoga menyampaikan sebuah pernyataan, hendaknya semua anak memanfaatkan waktu di rumah dengan kreatif selama masa pandemi ini.

Selanjutnya, penulis ingin menelaah lebih mendalam tentang kehidupan anak anak kita. Anak tetaplah anak, ceria di segala tempat, tak mengenal waktu dan ruang, kondisi dan situasi apapun. Anak anak kita adalah anak anak kita. Mereka tidak merasakan stresnya orang tua dalam mencari nafkah, menghidupi keluarga.Tetapi mereka tetap menjalani kehidupan yang berat saat ini dengan segala kepolosan, kelincahan dan  keceriaan yang ada dalam diri mereka. Karena mereka adalah seorang anak. Itulah adalah alam pikir anak anak.

Definisi Anak yang sederhana bukanlah seorang manusia dewasa yang bertubuh lebih kecil. Tetapi anak adalah salah satu tahapan periode pertumbuhan seorang manusia dari bayi, batita, balita, menuju/sebelum menjadi remaja. Anak bukanlah “manusia kecil” dalam artian fisik mereka masih kecil. Atau bukan juga berupa definisi manusia yang belum beranjak dewasa. Sebagai ilustrasi, anak bukanlah sapu tangan tetapi juga belum menjadi taplak meja.

Jadi anak bukanlah seorang manusia dewasa yang bertumbuh lebih kecil. Sekali lagi anak tetaplah anak. Tak mungkin kita memaksa mereka cepat bertumbuh beranjak dewasa. Tidak boleh juga kita meminta mereka “mundur” atau “mengecil” kembali menjadi janin. Hal itu sangatlah tidak mungkin.

Anak memiliki alam pikir, kondisi emosi, kehidupannya sendiri sebagai seorang anak. Anak tidak sama dengan remaja. Dimanapun seorang anak berada, situasi kaku menjadi lebih “cair” dan luwes. Kondisi yang kurang nyaman dapat dilebur menjadi santai lewat sebuah permainan apa adanya yang tersedia dari alam sekitarnya. Anak anak ini tidak ambil pusing memikirkan PR dan tugas lainnya dari sekolah selama pandemi ini. Mereka hanya berpikir tentang bermain dan bermain, karena mereka tahu  serta menyakini bahwa orang tualah yang akan lebih andil berperan aktif untuk mengambil alih tugas tugas tersebut.

Baca Juga: Kesigapan di Tengah Wabah

Hanya pada kasus kasus tertentu dimana anak anak ini dilibatkan untuk mencari nafkah. Maka tentunya jam bermain mereka akan  berkurang atau bahkan tidak ada lagi jam untuk bermain. Karena ketika mereka selesai membantu orang tua untuk mencari nafkah, maka mereka akan menjadi lelah dan  lebih memilih untuk tidur/beristirahat.

Jadi bagi mereka yang tinggal nyaman bersama para orang tua. Mereka akan bersikap acuh tak acuh, tidak ambil pusing tentang tugas dan PR dari para guru. Sebagian dari mereka berpendapat mengapa harus melewatkan waktu dan menguras energi  untuk belajar? Karena fakta menunjukkan walau kami kurang belajar, toh kami akan tetap naik kelas dan lulus dari suatu jenjang ke jenjang yang lebih tinggi!

Akhirnya, mereka lebih menikmati suasana kehidupan sehari hari dengan mengobrol, main handphone, bermain dan bermain. Bahkan mungkin tidak terlintas sebersit dalam pikiran mereka, untuk menggali ilmu demi persiapan masa depan mereka. Situasi dan kondisi ini semakin diperparah dengan sikap sebagian orang tua, dan keluarga yang membiarkan anak anak mereka  terus bermain tanpa mengenal batasan waktu. Dari pagi hari bangun, setelah sarapan dan sekolah on line mereka lanjut bermain. Ketika siang hari tiba, mereka sudah duduk di depan salah satu rumah, berkumpul untuk mengobrol dan bermain. Sore hari menjelang, mereka beralih orientasi yaitu bermain lompat karet, bermain petak umpet, bersepeda, sepak bola, dsb.

Dari hari ke hari, hal ini menjadi suatu ritme kehidupan mereka. Bahkan ketika liburan tiba, hal ini semakin diperparah. Karena di pagi hari setelah sarapan, bahkan kadang kadang tidak sarapan sama sekali, langsung pegang handphone untuk permainan games, lanjut bermain dengan teman teman sampai senja hari. Itu semua berdampak dengan jarang beristirahat / tidur siang. Kalau boleh dikalkulasikan, waktu mereka bermain per harinya menjadi l2-l4 jam. Wouw, “luar biasa bukan”!

Mungkin sebagian kita selaku orang tua tidak menyadari akan hal ini, atau sebagian kita mengetahuinya tetapi bersikap acuh tak acuh. Atau kondisi yang lebih parah, sengaja membiarkan semuanya itu. Tanpa pernah terbersit sekalipun dalam pikiran kita, Bagaimana masa depan anak anak kita tanpa menguasai disiplin ilmu dengan sungguh sungguh dan mendalam.  Bagaimana mereka akan melanjutkan jenjang tingkat pendidikan tanpa dasar pendidikan dari kelas sebelumnya? Karena materi pendidikan saling terkait dengan erat. Proses belajar—mengajar saling berhubungan dengan proses belajar—mengajar di tingkat sebelumnya. Tidaklah mungkin satu materi pada tingkat yang di atasnya dapat berjalan lancar, tanpa dasar materi dibawah tingkatnya dikuasai dengan benar.

Anak anak kita kurang diperhatikan terutama dalam bidang pendidikan. Bahkan lebih tragisnya, sebagian kecil para orang tua mengerjakan secara langsung tugas dan PR yang diberikan oleh para Bapak/Ibu guru. Mereka mengirimkan tugas tsb atau dikumpulkan di sekolah. Dan hal ini pun diketahui secara sadar oleh para guru, bahwa sebagian tugas dan PR anak murid mereka dikerjakan oleh para orang tua terutama para ibu, atau ayah,  kakak, dan kerabat lainnya di dalam rumah.

Lalu dari mana dapat terjadi penguasaan materi atas pelajaran tersebut? Kalau yang mengerjakan tugas adalah bukan anak murid kita. Ketika tidak terjadi penguasaan materi, bagaimana kita dapat melaksanakan tes atau ulangan harian dan Penilaian Akhir Semester/PAS? Akhirnya, semua hal ini bermuara dan berhubungan langsung dengan angka angka yang akan ditulis di dalam rapot. Angka angka seperti apakah yang harus ditulis dalam sebuah rapot?

Ketika situasi pandemi sudah berlanjut sampai lebih dari satu tahun, hal ini akan semakin memperparah kondisi kualitas pendidikan kita di kota Ambon secara khusus maupun di seluruh pelosok Nusantara secara umum. Hal ini haruslah dipikirkan secara matang  dan mencari solusinya dari sekarang oleh para ahli pendidikan. Karena tiga tahun mendatang  generasi “covid” yaitu generasi muda kita yang terpaksa sekolah on line selama masa pandemi akan menjadi suatu generasi yang kurang  mampu menjawab kualitas pendidikan di jenjang yang lebih tinggi pada 5 tahun ke depan.

Hal ini akan menjadi suatu masalah/keprihatian secara global dan nasional!

Kalau sudah terjadi seperti ini. Apakah kita dapat disebut sebagai negara yang maju atau Indonesia maju ? Seperti yang sudah disampaikan oleh ibu PPAI tentang tema HAN pada tahun ini, yaitu “Anak terlindungi, Indonesia Maju”.

Apakah kita sudah “melindungi’ mereka dengan mengerjakan tugas dan PR mereka? Ataukah kita hanya mendampingi sekaligus menemani anak anak kita ketika belajar di petang hari? Terlebih kita mengajar mereka sesuai dengan kemampuan ilmu yang kita miliki di sela sela kesibukan dan  keseharian kita sebagai para wanita yang bekerja ataupun sebagai ibu rumah tangga.

Melindungi merupakan suatu kata kerja yang berarti memberikan perlindungan/shelter dengan menciptakan rasa nyaman, aman, sehingga obyek yang dilindungi merasa terlindungi dengan baik. Sehingga mereka tidak perlu mencari keamanan, kenyamanan di tempat lain tetapi tetap berada disamping subyek yang sudah memberikan perlindungan.

Mengenai hal melindungi. Terbersit beberapa pertanyaan. Apa yang dimaksud dengan melindungi. Sisi atau aspek apa sajakah yang harus terlindungi?

Apakah anak anak kita sesudah merasa terlindungi dengan baik? Apakah dengan membiarkan mereka bermain seharian itu merupakan bagian dari cara perlindungan para orang tua bagi anak anak kita dari tugas dan tanggung jawab mereka sendiri sebagai seorang pelajar? Apakah cara ini termasuk ke dalam sikap memanjakan anak anak kita ? Kemudian mulai kapankah kita beranjak menjadi guru guru praktis/bersifat men­dadak karena situasi Covid 19, untuk mendampingi sekaligus mengajar anak anak kita.

Karena sistem pendidikan tidak lagi on school center. Tetapi from home center.  From home berarti dari rumah, anak belajar di rumah, anak mengikuti jalannya proses pendidikan di rumah. Hal itu berarti peran para Bpk dan Ibu guru di­sekolah mau tidak mau haruslah digantikan oleh para ibu atau ayah serta para anggota keluarga lainnya.

Pertanyaannya adalah : Apakah kita siap menghadapi hal ini? Apa­kah kita mampu membagi waktu dengan segala kesibukkan se­bagai ibu rumah tangga sekali­gus  wanita yang bekerja?

Jawaban atas pertanyaan ini biarlah dapat dijawab oleh kebe­radaan serta kekuatan hati nurani kita masing masing. Semoga para ibu di kota ini dapat berperan ganda dengan sebaik mungkin. Karena anak anak kita harus mem­punyai  keimanan, kepri­badian, kecerdasan, se­mangat kebang­saan dan ke­segaran jas­mani agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Dengan demikian  anak anak kita benar benar akan terlindungi oleh para ibu dan ayah mereka. Terlindungi secara fisik, psikis, spiritual dan mental mereka. Semoga!

Biarlah penjabaran artikel sing­kat ini dapat menjadi perenungan bagi ktia semua dalam mempe­ringati Hari Anak Nasional yang ke 54 tahun.

Selamat Hari Anak Nasional bagi seluruh anak anak di segenap penjuru tanah Maluku. Bersuka citalah seperti anak anak lain di belahan bumi ini.

Tersenyumlah melihat indahnya pantai nan jernih, sejernih bola matamu. Raihlah layang layang yang terbang tinggi bersama sama dengan cita citamu. Jangan pernah ada air mata lagi, dalam menjalani kehidupanmu.

Pada akhir artikel ini, penulis menyisipkan sebuah peribahasa tentang anak.

Anak, bukanlah milikmu. Mereka adalah putera puteri Sang Hidup  yang rindu pada diri sendiri.

Lewat engkau mereka lahir, namun bukan dari engkau.

Mereka ada padamu, tetapi bukan hak mu.

Beri mereka kasih sayangmu, tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu.

Sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri.

Patut kau berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak untuk  jiwanya.  Sebab jiwa mereka adalah peng­huni rumah masa depan, yang tidak dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian.

Kaulah busur dan anak anakmu lah anak panah yang meluncur.

Sang Pemanah Agung yang maha tahu sasadan bidikan keabadian.

Dia membentangkanmu dengan kekuasaanNya, hingga anak panah  itu melesat, jauh serta cepat.

Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang

Pemanah. Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana  kilat, sebagaimana pula dikasihi­Nya busur yang mantap. (Debora Harsono Loppies. M.Pd, Dosen FAKES— UKIM. Alumni Univ. Negri Malang dan Univ. Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogya)