KEBERADAAN atas pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) pada dunia pendidikan sesungguhnya tidak hanya yang menjadi guru, tetapi juga dialami pada dosen. Problematika tersebut hingga kini masih menyisakan banyak persoalan yang tidak kunjung berakhir. Problematika itu muncul mulai perekrutan hingga peningkatan karier yang dianggap masih merugikan banyak rekan-rekan P3K, baik guru maupun dosen. Penulis mencermati bagaimana kontrak kerja rekan-rekan P3K di Perguruan Tinggi Negeri Baru (PTNB) misalnya, hingga saat ini nasib mereka masih tidak menentu. Status kepegawaian para dosen dan tenaga kependidikan (tendik), banyak juga yang belum jelas.

Pemerintah lagi-lagi dianggap lalai, dan tidak serius terhadap dosen P3K yang awalnya berasal dari perguruan tinggi swasta (PTS) dan berubah bentuk menjadi perguruan tinggi negeri baru (PTNB).   Dampak berkelanjutan ADVERTISEMENT ADVERTISEMENT Saat kampus swasta berubah menjadi negeri, semua aset dan fasilitas infrastruktur sudah diambil alih pemerintah. Namun, yang ironisnya, justru tenaga dosen tidak ikut berubah menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Selayaknya, mengubah status PTS menjadi PTN, semestinya juga harus diikuti dengan memperhatikan hak dan kewajiban para dosen dan tendik yang berada di dalam lingkungan kampus tersebut. Realitas yang terjadi justru sebaliknya, para dosen dan tendik dibiarkan menjadi cukup sebagai tenaga kontrak P3K saja. Pemerintah, seolah seperti sengaja hanya mau mengambil aset yang memiliki nilai material, tetapi sepertinya enggan memperhatikan nasib para dosen dan tendik yang sudah berjuang sejak awal mula kampus swasta itu berdiri. Wajar bila para dosen menuntut keadilan akan nasib statusnya yang masih kabur hingga saat ini.

Berkaca dari pengabdiannya yang sudah puluhan tahun, bahkan ada dosen yang menempuh magister, doktor hingga profesor pun, seolah tidak ada artinya sama sekali atas perjuangan yang sudah mereka tempuh. Nasib dosen dan tendik justru semakin terpuruk, dan bahkan masa kerjanya selama mengabdi di PTS tidak diakui sama sekali alias kembali ke masa kerja nol. Bahkan, ada juga yang tidak diakuinya yang sudah S-3 atau doktor dalam sistem penggajian pegawai. Bukan hanya itu, mereka juga mengalami nasib miris lantaran tidak jelas untuk melakukan penyesuaian, atau penyetaraan jabatan fungsional selama masa kontrak. Bila ingin melakukan perpanjangan masa kontrak pun, pemerintah juga tidak gamblang dengan memberikan aturannya. Sedihnya lagi, para dosen juga tidak bisa mengembangkan potensinya, lantaran ada pembatasan untuk melanjutkan studi bagi dosen dan tendik. Bila masa kontrak mereka berakhir, pemerintah berhak juga untuk tidak memperpanjang kontrak. Artinya, kebijakan ini betul-betul menyakitkan para dosen yang sudah mengabdi cukup lama saat menjadi PTS yang berubah menjadi kampus negeri. Akhirnya, semua berupaya memperjuangkan penyesuaian jabatan fungsional, khawatir tidak bisa berhasil karena keburu kontrak mereka sudah berakhir dan pengajuan jabatan fungsionalnya menjadi sia-sia. Rasanya, status P3K yang kini melilit rekan-rekan dosen PTNB ini sangat lambat direspons pemerintah.

Begitu banyak karier dosen yang menjadi macet karena tidak diizinkan melanjutkan studi selama masa kontrak masih berlangsung. Fakta itu bisa menimbulkan tidak bergairahnya dosen dan bisa memperburuk institusi pendidikan tingginya. Dosen menjadi tidak bergairah dan frustrasi karena masa kerja yang dianggap nol dan tahap yang berlarut-larut saat mengurus jabatan fungsional, dan berakibat pada standar gaji yang diterima para dosen tidak bertambah. Begitu pula dengan dampak keberlanjutan terhadap institusi Pendidikan. Lembaga Pendidikan tinggi, justru akan mengalami kesulitan mendapatkan akreditasi institusi dengan baik. Hal itu juga akan berpengaruh pada program studi yang langsung drop atau turun peringkat. Padahal, karier dosen dan tenaga kependidikan menjadi salah satu syarat administrasi akreditasi perguruan tinggi.   Semangat bersama Dalam dunia pendidikan, kasus P3K tak hanya terjadi pada dosen perguruan tinggi, tetapi juga pada guru-guru di Tanah Air. Kasus P3K ternyata rumit juga terjadi pada guru-guru di penjuru tanah air. Pada tahun 2021 lalu, terjadi kekisruhan tes seleksi P3K formasi guru. Informasi yang tidak optimal dan kurang lengkap dianggap sebagai penyebab keresahan para guru yang akan mengikuti tes seleksi tersebut. Salah satu hambatan teknisnya di beberapa daerah, yaitu mengenai jadwal tes yang mundur dan lokasi tes yang sempat tidak muncul.

Sementara itu, data calon peserta P3K yang tidak sesuai, yakni pernah ditemukan kasus terdapat data guru nonaktif yang muncul sebagai peserta seleksi. Sementara itu, kebutuhan formasi yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya terjadi di lapangan. Bahkan, banyak guru P3K yang di tempatkan pada sekolah swasta juga ada yang ditarik kembali ke sekolah negeri. Berbagai dalih disampaikan untuk bagaimana kembali menarik guru ke lembaga pendidikan negeri. Sesungguhnya, tidak ada yang salah apabila guru negeri ditempatkan pada sekolah swasta.

Baca Juga: Tantangan Berat Ekonomi Beras 2024

Guru negeri yang di tempatkan pada sekolah swasta merupakan kebijakan terdahulu, dan semestinya mereka tetap saja dan dibiarkan mengajar sekolah swasta. Penempatan guru negeri di sekolah swasta justru menjadi kebijakan dan dukungan pemerintah terhadap institusi pendidikan swasta memajukan di dunia pendidikan sehingga pihak sekolah swasta bisa lebih bersemangat bersama sekolah negeri untuk berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, kebijakan dosen dan guru P3K selayaknya diperlakukan secara adil dan proporsional. Pemerintah harus berpikir bahwa dalam pengelolaan dunia pendidikan harus melibatkan berbagai pihak, baik negeri maupun swasta. Kiprah dan kontribusi swasta selayaknya tidak boleh dimatikan, tetapi harus didukung dan diarahkan sebagai wujud membangun kebersamaan membangun dunia pendidikan di Tanah Air. Oleh: Bramastia Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Magister Pendidikan Sains Pascasarjana FKIP UNS Surakarta. (*)