PEKAN lalu, seorang kawan yang tinggal di kawasan Pasar Minggu menelepon saya menanyakan di mana tempat mengisi tabung oksigen di Depok. Dia butuh untuk kakaknya yang sedang sakit. Menurut penuturan kawan saya, keluarganya sudah mencari kemana-mana hingga pinggiran Jakarta dan selalu habis. Terus terang, saya tidak tahu di mana tempat pengisian tabung oksigen di lingkungan tempat tinggal saya. Lantas, saya menghubungi beberapa kawan. Dari mereka, saya memperoleh daftar sejumlah penjual berikut alamat dan nomor teleponnya. Ternyata, dari daftar itu, ada yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal saya.

Mungkin tidak sampai 1 km jaraknya dari rumah. Namun, sumpah, selama ini saya tidak pernah engah (sadar) jika rumah yang sekaligus dijadikan kantor dan gudang itu ternyata menyediakan tabung oksigen. Padahal, letaknya di pinggir jalan raya yang sering saya lewati. Namun, sayang ketika tempat itu saya datangi, antreannya sudah full booked. Penjualnya yang ramah lantas meminta saya datang lagi keesokan harinya. Kondisi yang sama juga saya temui di lokasi penjual lainnya yang juga tidak jauh dari situ. Apa boleh buat. Untungnya, keluarga kawan saya yang tadi bisa memperolehnya di tempat lain sehingga kakaknya yang hari itu betul-betul butuh suplai oksigen bisa tertangani. Saya tidak ingin memaki para penimbun tabung oksigen di beberapa tempat atau wilayah lain yang diduga telah membuat barang tersebut langka. Biarlah itu jadi urusan aparat kepolisian.

Dalam kesempatan ini, saya ingin memuji para netizen, siapa pun dia, yang telah sigap membuat daftar penjual tabung oksigen tersebut. Terlepas ada data yang tidak valid, menurut hemat saya, daftar yang wara-wiri di sejumlah grup percakapan itu berguna sekali, terutama bagi mereka yang membutuhkan. Selama pandemi ini, kita melihat info-info semacam itu banyak tersebar di gawai, mulai info seputar ambulans, donor plasma, hingga lokasi vaksinasi. Kesadaran, kesigapan, dan partisipasi dari warga semacam inilah yang dibutuhkan di tengah kondisi genting saat ini. Saya jadi teringat gerakan peta hijau (green map) yang marak bermunculan pada awal dekade 2000-an lalu, bukan hanya di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia, melainkan juga dunia.

Sebuah gerakan publik untuk memetakan potensi lokal di tiap-tiap wilayah, entah itu restoran, pangkalan ojek, keberadaan situ, tempat wisata, cagar budaya, dan sebagainya. Peta ini tidak cuma berguna bagi wisatawan, tapi juga bermanfaat membantu memudahkan aktivitas warga sekaligus menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan tempat mereka tinggal. Pandemi, bagaimanapun, telah mengubah cara pandang maupun tingkah laku manusia. Semata mengandalkan aparatur pemerintah belum tentu membuat kita selamat.

Kesadaran dan partisipasi warga terhadap kotanya di tengah wabah ini pun menjadi krusial. Minimal, mereka tahu apa yang mesti dilakukan jika membutuhkan sesuatu, seandainya, salah seorang anggota keluarga atau tetangga mereka terpapar. Solidaritas juga menjadi kunci dalam sebuah komunitas di tengah musibah semacam ini. Wabah yang terjadi di hampir seluruh pelosok dunia ini juga telah membawa peluang untuk memperbaiki banyak hal. Kita, terutama pemerintah, perlu memperhitungkan kemungkinan terburuk seandainya manusia harus hidup berdampingan dengan virus korona yang enggan minggat dari muka bumi ini.

Baca Juga: Harapan bagi Pegawai KPK Nonaktif

Selain mendorong pola hidup dan lingkungan yang sehat bagi warga, hal lain yang tentunya perlu diupayakan di masa depan ialah memulihkan atau memperbaiki infrastruktur dan layanan kesehatan kota yang lebih baik. Jangan tunggu musibah atau bencana lain datang, baru semuanya gelagapan.( Adiyanto, Wartawan Media Indonesia  )