KEMENTERIAN Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Indonesia telah mencairkan dana desa 2021 senilai Rp11,361 triliun dari total alokasi anggaran sebesar Rp72 triliun yang bersumber dari APBN. Dana tersebut sudah tersalurkan ke 34.053 desa dari 83.931 desa per 21 April 2021. Artinya, sudah 45% desa sudah menerima pencairan. Selain itu, setiap tahun desa mendapatkan dana dari pemerintah daerah masing-masing yang disebut alokasi dana desa (ADD). Besarannya bergantung pada kekuatan APBD masing-masing. Semuanya itu diperuntukkan pembangunan, pemberdayaan, pertumbuhan, sekaligus menggerakkan perekonomian di desa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sayangnya, tren tersebut belum seimbang dengan pemanfaatannya.

Penyelewengan dana desa oleh aparat desa menjadi tren perbincangan masyarakat dan media. Berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2015 hingga 2020, terdapat 676 terdakwa kasus korupsi dana desa. Data itu menunjukkan praktik korupsi marak dilakukan perangkat desa setelah aparatur sipil negara (ASN) dan pihak swasta. Penyelewengan dana desa oleh aparat desa merupakan virus yang diciptakan aparat desa untuk memiskinkan negara. ICW merilis kerugian negara akibat korupsi dana desa mencapai total Rp111 miliar. Angka yang menempati posisi kedua kerugian negara, setelah praktik korupsi oleh anggota legislatif dan kepala daerah senilai Rp115 miliar 2020. Tentu saja jumlah yang tidak sedikit. Kemendes PDTT mengucurkan dana senilai Rp1 miliar–Rp1,4 miliar bagi setiap desa untuk memaksimalkan pengelolaan, pengembangan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ekonomi desa menjadi harapan pemerintah pusat sehingga jika pejabat pemerintah desa melakukan korupsi yang merugikan negara, sama dengan memiskinkan bangsa Indonesia.

Media massa ramai memberitakan kasus penyelewengan dana desa di sejumlah desa di Tanah Air. Kasus tersebut nyata-nyata menjadi ajang memperkaya diri. Spirit memperkaya diri dengan menyalahgunakan dana desa menjadi fenomena klasik yang teranjur dianggap biasa-biasa saja. Saatnya KPK lebih bersinergi dengan pihak terkait untuk mengusut tuntas tindak penyelewengan tersebut. KPK segera bersinergi dengan lembaga swadaya masyarakat yang betul-betul prihatin terhadap desa mereka karena ada bisa jadi ada perdes yang merugikan masyarakat. KPK bisa mengawali langkah dengan memeriksa kekayaan kepala desa yang jumlahnya mencurigakan karena tidak jelas sumbernya. KPK perlu memeriksa kepala desa yang layak diduga telah memperkaya diri dengan munculnya perdes dan pemberlakuannya merugikan desa. Dari titik ini, akan segera ketahuan dari mana kekayaan mereka berasal.

Hukuman politik Jika virus pemiskinan negara diciptakan pejabat desa yang dipilih masyarakat secara demokrasi, masyarakat desa layak memberikan hukuman politik. Misalnya, masyarakat tidak lagi mendukung tokoh yang terbukti korup dan menghadirkannya dalam pertanggungjawaban penggunaan dana desa di tengah forum masyarakat. Jika ada oknum justru membela mati-matian kadesnya yang sudah korup, masyarakat layak menolak oknum-oknum tersebut. Hukuman politik tersebut tentu akan menimbulkan efek jera bagi oknum kades. Sayangnya, untuk konteks Indonesia, masih banyak masyarakat yang belum mampu memberikan hukuman politik kepada para koruptor karena terbentur dengan ‘hukum’ budaya. Penyebabnya masih banyak masyarakat hidup dalam kemiskinan dan kebodohan sehingga tak peduli masalah politik atau sangat mudah tergiur oleh politik uang.

Selama masyarakat masih banyak yang miskin dan bodoh, selama itu demokrasi akan berbuah busuk. Padahal, jika demokrasi berbuah busuk, bangsa dan negara bisa selalu terbelakang sehingga tidak mampu mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan. Presiden Joko Widodo pernah mengumpulkan seluruh kepala daerah di Istana Negara.

Baca Juga: Sehari Didemo, Pemkot Segera Gusur PKL

Presiden berpesan kepada para kades agar tidak boros menggunakan anggaran daerah untuk bermewah-mewahan dan jangan memperkaya diri dengan korupsi. Pesan Presiden tersebut sangat urgen hingga saat ini untuk ditindaklanjuti jajaran aparat penegak hukum, terutama KPK dalam memberantas korupsi di desa-desa. Pesan Kepala Negara mengandung makna implisit bahwa masih banyak kepala desa yang boros menggunakan dana desa untuk bermewah-mewahan atau untuk memperkaya diri. Pesan Presiden ialah warning bagi semua pihak bahwa pemborosan dana desa identik dengan korupsi merupakan virus pemiskinan negara secara sporadis yang layak dihentikan sebelum bangsa dan negara betul-betul terpuruk dalam kemiskinan yang sangat sulit untuk bangkit lagi. Lebih dari itu, perlu membangun mentalitas dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat.

Kita dapat meniru Korea Selatan yang berhasil menekan kemiskinan di desa melalui serangkaian kebijakan program pembangunan desa yang bernama Gerakan Saemaul Undong. Program tersebut berorientasi membangun dan memperbaiki sarana-prasarana dasar, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan membangun mentalitas masyarakat agar memiliki etos pekerja keras, disiplin, tekun, dan jujur. Sekarang, mentalitas seperti itu sangat dibutuhkan dalam kebijakan pemerintahan.

Pembangunan yang seyogianya dari, oleh, dan untuk masyarakat perlu disadari mereka sendiri. Artinya bahwa perubahan di desa bergantung pada kemampuan masyarakat sebagai pengawal, pelak­sana, dan pengawas dana desa secara akuntabel dan transparan.( Bernardus T Beding, Dosen PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus, Ruteng)