Secara politik jelas tidak ada implementasi demokrasi. Yang berlangsung mayoritas kalau tidak keseluruhan adalah peran-peran dalam kerajaan/patrimonial dahulu kala. Peran-peran yang meng­anggap raja sebagaimana hakikinya tidak pernah salah, dan tabu dikritik

Menurut para sejarawan, fenomena yang terjadi saat ini, termasuk yang akan datang, bagaimanapun dramatisnya adalah gejala yang sudah pernah terjadi pada era-era sebelumnya.

Bukan gejala baru yang tiba-tiba mencuat, melainkan pengulangan-pengulangan belaka dari kejadian serupa dimasa silam.

Tidak terkecuali prahara teranyar yang menimpa elit-elit politik, seperti Alex Nurdin, mantan Gubernur Sumsel dua periode (kasus penjualan gas), Puput Tantriana Sari, bupati Probolinggo (kasus jual beli jabatan, yang juga menyeret suaminya M Hasan (anggota DPR RI)kasus, M Syahrial, Wali Kota Tanjung Balai (lelang jabatan) dan khususnya Azis Syamsudin, wakil ketua DPR RI (kasus suap bupati Lampung Tengah) saat ini, adalah fenomena yang penah terjadi pada waktu-waktu yang lalu.

Dengan kata lain, ia telah terstruktur secara sistemik, atau melembaga. Dalam setiap rezim politik, perilaku penggarongan itu telah terjadi. Pada rezim Megawati, marak gratifikasi dan penggarongan BLBI, pada era Gus Dur, mencuat korupsi Bulog yang mengantarkannya lengser, pada era Habibie, masalah dana ketahanan pangan yang tak tahu ujung pangkalnya, pada era Susilo Bambang Yudhoyono yang berjargon “katakan tidak pada korupsi”, justru sebagian besar elitnya, terjerat korupsi. Pada era Soeharto tidak usah diuraikan, semua pihak masih jelas mengingatnya.

Baca Juga: Membuka Kasus Pencabulan Anak di Luwu Timur

Kasus Pertamina, Bulog, Departemen kehutanan, 9 (sembilan) yayasan Soeharto adalah beberapa contoh klasik korupsi Orde Baru. Begitu pula di era Soekarno hal yang sama juga telah terjadi, namun karena jumlahnya belum besar, tidak begitu dipermasalahkan

Dalam era kolonial tidak terkecuali. Elit-elit pribumi yang sebelumnya sudah terlibat perilaku korupsi dalam kerajaan-kerajaan dahulu dimanfaatkan Belanda dalam pemerintahan pendudukan. Selain untuk kepentingan ekonomi, elit-elit pribumi korup ini dimanfaatkan untuk menekan rakyat.

Tidak cukup di situ. Jika kita telaah seksama,konon jauh sebelumnya, seperti pada era kerajaan Singosari, perilaku garong ini sudah massif dila­kukan.

Modern, Namun Primitif

Meminjam teori kebudayaan, etos, mental atau perilaku korup ini sudah mendarah daging dalam kultur kita. Ia tidak sekedar, sebagaimana dikatakan banyak kalangan hanya urusan, persoalan atau kejahatan pribadi.

Korupsi tidak an sich seperti itu, melainkan sudah historik, sistemik dan kultural. Bagaimana dalam setiap rezim pemerintahan, dibentuk lembaga pemberantasan korupsi.

Namun penggarongan tetap langgeng, adalah fakta bahwa korupsi tidak sekedar kejahatan pribadi. atau sekedar pelanggaran hukum. Ia terkait, selain kultural adalah ekonomi dan politik sebagaimana disinyalir Theodore M Smith.

Theodore M.Smith menengarai bahwa motivasi korupsi, selain kultural, lebih khusus lagi adalah kepentingan ekonomis dan politis. Dengan kata lain terjalinnya, persekutuan segitiga (triple alliance) antara “feodalisme, harta dan kekuasaan”. Dalam era primitif dahulu motivasinya adalah, kekuasaan, harta dan wanita.

Seiring dengan perkembangan yang terus berubah, ia pun merambah ke bidang-bidang lain yang lebih spesifik yang dalam era primitif belum digapai. Namun apapun dalihnya, mentalitas itu adalah perilaku yang tidak beradab.

Supaya tidak terus menerus tidak beradab, tokoh-tokoh pembaharu pada akhir abad pertengahan mencetuskan “demokrasi” untuk mengenyahkan perilaku biadab tersebut.

Demokrasi dianggap instrumen modern utama melawan hingga menghilangkan penyakit feodalisme atau sistem politik patrimonial/kerajaan absolut. Singkatnya demokrasi adalah gaya hidup modern yang lebih bermartabat.

Termasuk Indonesia, tidak terkecuali, mengadopsi model demikian dalam politik, sosial dan kebudayaannya pasca lepas dari penjajahan Belanda. Para pendiri negara dengan tegas menyatakan bahwa demokrasi, alias kedaulatan rakyat adalah jalan baru Indonesia mencapai tujuannya diseberang jembatan emas pasca proklamasi 17 Agustus 1945.

Tetapi sebagaimana sinyalemen Prof Resink, (mantan dosen FHUI tahun 60-an), meski Indonesia telah mengadopsi bentuk, instrument dan perangkat-perangkat negara modern, namun dalam praktek, struktur masyarakatnya tetap analog dengan struktur masyarakat kerajaan dahulu kala.

Tetap saja feodal, tidak demokratis, dan asimetris. Instrumen modern, namun mentalitas, ethos alias kelakuan tetap primitif.

Menunggu Godot

Prinsip demokrasi, seperti “kebebasan, kesetaraan dan toleransi”, hampir tidak terwujud dalam praksisnya.

Praksis budaya, seperti bertindak rasional, ber­disiplin tinggi, kerja keras, praksis ekonomi, seperti hemat, berjiwa entrepreneur, gemar menabung, dan praksis politik, seperti kesamaan dalam menduduki jabatan-jabatan politik, hanya hadir dalam wacana.

Secara politik jelas tidak ada implementasi demokrasi. Yang berlangsung mayoritas kalau tidak keseluruhan adalah peran-peran dalam kerajaan/patrimonial dahulu kala. Peran-peran yang menganggap raja sebagaimana hakikinya tidak pernah salah, dan tabu dikritik. Apa yang diperintahkan tanpa syarat wajib dilakonkan, termasuk mengambil upeti dari masyarakat.

Upeti yang jumlahnya tak terbatas tersebut wajib dipenuhi atau harus disediakan melalui pembantu-pembantunya.

Pembantu yang merupakan cikal bakal birokrat dan politisi di era modern ini, selain harus memberi upeti, juga harus, menyembah sekaligus membuat sang raja tetap senang (cikal bakal ABS, Asal Bapak Senang dalam era modern).

Sebaliknya atau disisi lain para pembantu ini, demi kepentingannya akan mengambil sebagian upeti yang akan diberikan kepada sang raja atau otoritas. Mereka akan melakukan pengelabuan, baik bagi raja dan atau terutama bagi masyarakat (sahaya)

Seperti itulah hubungan, relasi dan interaksinya terus menerus, bak sistem mekanistik nan demokratis David Easton (1956).

Meminjam Marx, raja, pembantu serta otoritas demikian adalah struktur atas (upper class), yakni kelas penguasa, alias lapisan yang menikmati. Sementara struktur bawahnya (low class), yakni masyarakat hanya termangu-mangu menunggu godot.

Telah Melembaga

Masalah kemudian ada turbulensi , seperti tertangkapnya elit-elit politik oleh KPK, tidak perlu diberi tepuk tangan, atau applaus berlebihan, karena penagkapan itu, tak lebih tak kurang hanya sekedar kedok, kamuflase atau hiburan sesaat bagi masyarakat.

Masyarakat secara reflex bertepuk riuh. Namun setelah mereka terawang secara seksama, mereka akan sadar bahwa episode itu hanya satu fase untuk mengeskalasikan rezim korupsi semakin hegemonic (terstruktur, sistemik, dan massif).

Penangkapan, pemenjaraan, atau bahkan pengucilan yang digadang-gadang saat ini tidak akan pernah membuat mereka kapok. Sebaliknya mereka akan mengalami renaissance, bak kepompong yang menjadi ulat , sebab tangan-tangan tak terlihat (invisible hand) akan datang menolongnya.

Dengan tidak menndramatisi masalah, dan dengan segala hormat, penangkapan atau pemenjaraan yang dilakukan KPK tersebut, tidak lebih tidak kurang hanya semacam mutasi, rotasi atau penyegaran bagi aktor- aktor koruptor.

Pasca penahanan mereka akan muncul kembali dalam peran yang baru, yang lebih dahsyat,karena (antara lain) masyarakat sudah melupakannya. Azis Syamsudin, Alex Nurdin, Puput Tantriana Sari, M Syahrial dan koruptor lain yang akan bakal ketangkap kemudian ada dalam koridor ini. Karena itu sudah saatnya ada terobosan luar biasa. Bongkar kata Iwan Fals dalam senandungnya. Oleh : Hisar Siregar, Nedi Sidauruk, Reinhard Hutapea Penulis adalah Pokja Pusat Studi Pancasila UHN Medan.