Berkaca pada perjalanan peristiwa perjuangan politik awal perjuangan kemerdekaan maka sewa­jarnya segenap warga-bangsa diingatkan konsep kehidupan bangsa Indonesia sama sekali tidak bisa dipisahkan dari nilai keberagamaan

Persoalan terpenting dalam memaknai pema­haman terhadap tema kehidupan berbangsa adalah membangun keseimbangan antara kebangsaan dengan berbagai pranata kehidupan antara lain kebangsaan dengan politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain sebagainya.

Dan yang paling sulit namun paling esensial adalah membangun keseimbangan antara kehi­dupan berbangsa dengan beragama.

Konsep kebangsaan adalah merupakan pengembangan dari kehidupan berkeluarga, suku, kelompok dan sebagainya yang intinya dimuati faktor pembeda yang kemudian menjadi pemisah dengan kelompok lain yang diawali faktor streotip, prasangka dan stigma.

Selain dari itu, konsep kebangsaan adalah meru­pakan perkembangan pemikiran yang melahirkan kesadaran yang terjadi akibat perjumpaan kehidupan umat manusia dengan konsep demokrasi, per­satuan, kesetaraan dan lain sebagainya.

Baca Juga: Struktur Korupsi Semakin Melembaga

Akhirnya, kebangsaan menjadi konsep penataan kehidupan yang berdasarkan rasionalitas dan pragmatis. Sehingga nilai-nilai lama yang bersumber dari adat istiadat, tradisi struktur sosial pada masa lalu dilarutkan kepada kebangsaan.

Sehingga kebangsaan adalah merupakan moder­nisasi pemikiran tetapi karena didominasi rasio­nalitas dan pragmatisme yang absolut maka konsep kebangsaan kehilangan nilai etika.

Beragama adalah merupakan pola kehidupan yang didasarkan kepada nilai-nilai universal tanpa terikat dengan perbedaan geografis dan teritorial, suku dan budaya akan tetapi semata-mata hanya berpatokan terhadap nilai berketuhanan.

Karena agama lebih sering dipahami hanya dari sisi universalitasnya, maka kegiatan beragama berakibat kehilangan perhatian terhadap lingkungan dan tujuan kehidupan bersama umat manusia.

Sementara, keberagamaan akan bermakna manakala nilai universalitasnya dipadukan dengan kepedulian terhadap kepentingan pribadi, keluarga dan lingkungan.

Maka dapat dipahami apabila dalam Alquran, kata beriman sebagai makna universal yang terlepas dari pengelompokan sosial kemudian dikaitkan dengan tuntutan berbuat amal saleh karena melalui amal saleh kehidupan seorang manusia akan membawa dampak konstruktif bagi kehidupan pada lingkup kecil, menengah maupun besar sehingga wujud persaudaraan menjadi luas yaitu saudara seagama (ukhuwah diniyah) saudara dalam ikatan teritorial (ukhuwah wathoniyah) dan saudara sesama umat manusia (ukhuwah basyariyah). Oleh karena itu, keteguhan nilai universalitas yang diwujudkan dalam kehidupan beriman kecil kemungkinan terjadinya peningkatan kualitas kehidupan umat manusia di alam semesta tanpa diimbangi dengan amal saleh.

Kebangsaan Dan Keberagamaan

Dengan melihat sisi kelebihan dan kelemahan dari persepsi kebangsaan dan keberagamaan maka melalui kebijakan pemikiran yang tinggi, maka bangsa Indonesia melalui kearifan pemimpinnya, me­ru­muskan pemikiran bahwa keduanya yaitu ke­bangsaan dan keberagamaan hendaklah dipadukan sehingga menjadi kekuatan yang saling mengisi.

Pada tanggal 28 Oktober 1928, para perancang masa depan Indonesia telah mendeklarasikan kesepakatan Sumpah Pemuda yang menyatakan Satu Bangsa, Satu Nusa dan Menjungjung tinggi Bahasa Persatuan merupakan wujud dari konsep demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang melebihi ikatan karena hubungan darah.

Cita-cita kehidupan membentuk sebuah bangsa merupakan puncak dari keinginan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Kemudian cita-cita kemanusiaan tersebut dilanjutkan dengan strategi perjuangan yang mengintegrasikan nilai-nilai keberagamaan menjadi acuan dalam perjuangan meraih kemerdekaan.

Cita-cita nasionalis yang universalis dan religius itu diwujudkan dalam perjuangan yang berangkat dari basis nilai-nilai keagamaan yang dicetuskan oleh para ulama di Jawa Timur pada tanggal 22 Oktober 1945 yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad yaitu sebuah manifesto yang menyatakan:

Hukumnya fardu ‘ain bagi warga bangsa yang berada pada radius 94 kilometer (setara ukuran dua marhalah) dari kota Surabaya untuk memper­juangkan serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sedang bagi mereka yang berada di luar jarak radius itu maka hukumnya fardu kifayah. Makna yang tersimpul dalam Resolusi Jihad ini adalah bahwa (1) perjuangan untuk meraih serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah merupakan visi dan misi cita-cita kebangsaan dan sekaligus kebe­ragamaan;

(2) sebagai bukti dari integrasi dua komponen ter­sebut, pernyataan Resolusi Jihad mengintegrasikan konteks argumen fiqhiyyah kedalam perjuangan politik yaitu menarik garis korelasi antara kegiatan musafir yang membolehkan melakukan pengga­bungan (jamak) dan penyingkatan (qashar) pelaksanaan ibadah shalat;

(3) penegasan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rumusan Pancasila merupakan pernyataan keyakinan berketuhanan karena Tuhan adalah causa finalis atau penyebab akhir dari semua kejadian yang ada.

Berkaca pada perjalanan peristiwa perjuangan politik pada masa awal perjuangan kemerdekaan maka sudah sewajarnya apabila segenap warga-bangsa selalu diingatkan bahwa konsep kehidupan bangsa Indonesia sama sekali tidak bisa dipisahkan dari nilai keberagamaan.

Demikian juga sebaliknya, nilai keberagamaan tidak bisa dipisahkan dari nilai kebangsaan. Keduanya merupakan sumber kekuatan yang saling menopang satu dengan lainnya sehingga seluruh bangsa Indonesia merupakan kekuatan yang memiliki kedudukan yang sederajat tanpa terjadi diskriminasi antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya.

Karena itu, apabila masih ada polemik yang mempersoalkan konsep kebangsaan hendaknya diakhiri karena hanya akan membuang-buang tenaga dan pikiran yang dapat merusak persatuan bangsa.

Karena itu, perlu diingat bahwa mengucapkan integrasi kebangsaan dan keberagamaan adalah mudah akan tetapi yang paling sulit adalah menguatkan keduanya dalam kesatuan pemahaman, penghayatan dan perbuatan.

Maka dengan kondisi demikian, harapan kita adalah Indonesia akan tumbuh kuat menjadi bangsa yang memiliki jati diri serta ikatan persatuan yang bukan sekedar imajinasi keinginan akan tetapi telah menjadi cetak biru (blue print) sejak awal tumbuhnya cita-cita berkebangsaan di Indonesia. Oleh : M Ridwan Lubis, Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta