PERUBAHAN iklim dan dampaknya telah kita rasakan bersama. Perubahan musim yang tak menentu, panas bumi yang sangat tinggi hingga mencairkan es di kutub, musim kemarau atau musim hujan yang ekstrem merupakan di antara dampak perubahan iklim yang kita rasakan saat ini. World Health Organization (WHO) memperkira­kan pada 2050 jumlah sampah secara global mencapai 3,4 miliar ton sehingga dapat menye­babkan banyaknya emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Indeks Potensi Pemanasan Global, pembuangan sampah menghasilkan gas metana yang efeknya 21 kali lebih beracun daripada gas karbon dioksida. Namun, kesadaran terhadap perubahan iklim tersebut masih belum menjadi kesadaran kolektif penduduk bumi ini. Untuk menumbuhkan kesadaran kolektif itu, sekolah ialah lembaga strategis yang berperan menumbuhkan kesadaran kolektif mengenai perubahan iklim. Sekolah dapat membuat program-program untuk menanamkan pemahaman siswa tentang nilai-nilai kehidupan dan menum­buhkan perilaku peduli lingkungan. Sekolah harus lebih fokus memperkenalkan perubahan iklim dan tahapan-tahapan yang diperlukan dalam mengatasi dampak perubahan iklim yang terjadi (National Research Council, 2012).

Perubahan iklim dan perilaku manusia Mening­katnya gas-gas di atmosfer diakibatkan aktivitas manusia yang tidak memperhatikan lingkungan. Pembakaran dan penebangan hutan, pembuangan sampah, limbah industri, transportasi, peternakan, pemakaian bahan bakar minyak yang berlebihan, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pembuangan gas kendaraan bermotor mengandung banyak polusi gas kimia menjadi pemicu terjadinya peru­bahan iklim. Sektor transportasi menyumbangkan 25% gas rumah kaca. Energi listrik sebagian besar dihasilkan dengan membakar batu bara, minyak, atau gas. Pembakaran itu akan menghasilkan gas rumah kaca berbahaya yang dapat menyelimuti bumi dan mengancam kehidupan manusia. Peneliti perubahan iklim memperkirakan akan terjadi kepunahan manusia pada 2050 jika penghuni planet Bumi tidak segera mengatasi dampak perubahan iklim. Suhu yang semakin panas, kebakaran, kekeringan, banjir, udara yang tak bisa dihirup, meningkatnya risiko kesehatan, runtuhnya ekonomi, konflik akibat iklim, dan rentetan keka­cauan lain akan terjadi pada 2050 (Nationalgeo­graphic.co.id). David Wallace Welss (2019) menuliskan kengerian yang akan terjadi akibat perubahan iklim dengan menyebutkan, ‘Manusia telah merusak alam, diawali dengan ketidaktahuan dan sekarang ketidakpedulian. Cara hidup manusia saat ini meninggalkan warisan buruk bagi generasi masa depan. Jika tidak ada perubahan perilaku manusia, perubahan iklim akan sulit dikendalikan’.

Pengalaman terbaik Sukma  Sekolah Sukma Bangsa sudah melakukan beberapa langkah untuk menumbuhkan kesadaran warga sekolah akan dampak perubahan iklim. Langkah-langkah tersebut dilakukan dari berbagai level, yaitu manajemen, guru, dan siswa. Pada level manajemen, direktur sekolah dan kepala sekolah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi penggunaan makanan atau minuman kemasan plastik, seperti membawa botol air minum, melarang penggunaan sedotan dan bungkus makanan atau minuman plastik bagi penjual jajanan di kantin sekolah, serta pengelolaan bank sampah. Hal itu dilakukan sebagai upaya mengurangi sampah plastik karena menurut David Welss (2019), plastik mengandung metana dan etilena, yaitu gas berbahaya yang dapat mening­katkan produksi gas rumah kaca. Selain itu, dalam survei yang dilakukan di Atlantik barat laut dite­mukan 73% perut ikan mengandung mikro­plastik. Sekolah perlu memberikan pemahaman tentang bahaya sampah plastik bagi kesehatan dan keberlangsungan hidup ekosistem. Pada level guru, integrasi isu-isu perubahan iklim ke dalam pem­belajaran juga perlu dilakukan. Guru matematika di Sekolah Sukma Bangsa menggunakan barang bekas sebagai bahan ajar di kelas. Siswa diarahkan menggunakan barang bekas dalam membuat tugas/proyek. Penggunaan barang bekas menjadi indikator penilaian proyek siswa. Guru pendidikan agama Islam (PAI) mengajak siswa untuk mendiskusikan ajaran Al-Qur’an yang terkait dengan lingkungan.

Perubahan iklim bukan kehendak Tuhan, melainkan terjadinya kerusakan di bumi dan laut akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab dalam menjaga alam. Pada level siswa, sekolah meluncurkan program proyek sekolah hijau (green school project/GSP). Siswa dengan arahan guru melakukan gerakan pungut sampah (GPS) di mana pun sampah terlihat. Guru menilai kelas terbersih secara berkala dan kontinyu. Selain itu, beberapa kegiatan, seperti berkebun, membuat pupuk kom­pos, kampanye hemat energi dengan membiasakan mematikan lampu, kipas angin, AC, dan air setelah digunakan, segera mencabut ponsel setelah baterai penuh, serta tidak membuang sisa makanan terlalu. Selain itu, sekolah mengadakan pemilihan Duta Hijau (Green Ambassador) untuk memotivasi siswa agar selalu mencintai lingkungan secara berkelanjutan. Agar pendidikan perubahan iklim bukan hanya kegiatan tambahan sekolah, melainkan juga bisa menjadi proses belajar sehari-hari di sekolah, perlu meningkatkan pemahaman guru dan siswa terhadap literasi iklim. Literasi iklim memberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip penting sistem iklim bumi.

Dengan kemampuan memahami literasi iklim, guru dan siswa mampu menilai informasi yang kredibel secara ilmiah tentang iklim, dapat berkomunikasi tentang perubahan iklim dengan cara yang bermakna, serta mampu membuat keputusan yang informatif dan bertanggung jawab terkait dengan tindakan terhadap perubahan iklim (Eggert, 2016).   Literasi iklim  Untuk meningkatkan kapasitas guru dalam memahami literasi iklim dan mengadaptasi isu perubahan iklim agar menjadi bagian integral dari kurikulum yang diajarkan, Yayasan Sukma bekerja sama dengan Team Finland Knowledge (TFK), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan KLHK. Kerja sama yang dilakukan ialah merumuskan kurikulum perubahan iklim dan bagaimana memasukkan ke kurikulum nasional dan lokal serta cara mengajarkannya di sekolah dan universitas. Ropo (2019) menjelaskan, program itu dilakukan dengan pendekatan naratif agar guru dapat melihat perubahan iklim dengan cara berfokus pada tanggung jawab dan efikasi diri mereka dalam melakukan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. Untuk itu, guru akan dilatih mengintegrasikan ide-ide lokal ke mata pelajaran yang mereka ampu dan menjadikannya konkret dan nyata bagi siswa. Dengan menghubungkan topik-topik yang relevan dan nyata, akan meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep dasar dan nilai-nilai yang sesuai. Kolaborasi itu diharapkan memberikan kontribusi terhadap pendidikan perubahan iklim, meningkatkan pemahaman akan dampak perubahan iklim, serta mengubah perilaku dalam menjaga kelestarian alam demi kualitas hidup generasi sekarang dan masa yang akan datang. Oleh: Susan Sovia D Wakil Direktur Kerja Sama Antarlembaga Yayasan Sukma.

Baca Juga: Mendesain Kurikulum, Berbasis Teknologi Pasca Pandemi