DUNIA pendidikan Indonesia mengalami transformasi signifikan di bidang teknologi sejak pandemi dua tahun lalu. Ketika sebelumnya hanya dikenal sebatas teori, namun saat pembelajaran daring, teknologi pun mulai dikenal secara praktis.  Dampaknya, baik guru maupun siswa saat ini sudah tidak lagi mengalami kegagapan saat melakukan teleconference maupun video streaming. Hal itu terjadi karena mereka sudah terbiasa menjalankan saat periode online learning lalu.  Pertanyaan baru pun muncul saat ini; setelah teknologi menjadi bagian baru dalam sistem pendidikan, bagaimana mendesain kurikulum pascapandemi? Setiap lembaga memiliki tujuan pembelajarannya masing-masing yang berbeda satu sama lain sesuai dengan visi misi yang telah ditetapkan. Menggunakan platform teknologi sangat bergantung dari apakah selaras dengan tujuan pembelajaran atau tidak, dan termasuk juga dari angga­rannya. Karena jika platform yang digunakan tersebut berbiaya tinggi sementara tidak sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, akibatnya penyerapannya rendah dengan hasil pencapaian yang tidak mencapai sasaran.

Mendesain ulang kurikulum pendidikan haruslah mendorong kolaborasi antara guru dan orang tua, karena peran orang tua sa­ngat krusial dalam menerapkan teknologi pembelajaran. Di masa pandemi, siswa bisa dikategori­kan menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang bisa mengakses internet dan memiliki perangkat­nya (laptop atau smartphone). Kedua, mereka yang memiliki perangkat tapi tidak bisa mengakses internet. Sedangkan kategori ketiga adalah mereka yang tidak memiliki keduanya. Untuk kategori pertama, platform apapun bisa digunakan baik zoom, google meets, microsoft teams dan sebagainya. Untuk kelompok kedua, desain model pembelajarannya adalah dalam bentuk video. Mereka tidak perlu akses internet, yang penting mereka bisa menonton video pembelajaran yang dikirimkan dari pihak sekolah. Sedangkan kelompok ketiga, tantangan­nya lebih berat karena mereka tidak punya perang­kat dan akses. Solusinya, guru akan mengajar secara door to door sambil membawa perangkat dan akses internet. Bahkan di beberapa sekolah, ada juga guru yang menggunakan walkie talkie dan berinisiatif membuat radio mini.  Semua kategori siswa tersebut membutuhkan peran orang tua karena guru tidak bisa menyentuh langsung siswa di kelas. Mereka membutuhkan mata dan telinga orang tua untuk membantu efektivitas penerapan teknologi saat belajar di rumah agar bisa berjalan dengan maksimal. Karena pada saat itu, desain kurikulum masih bersifat sementara untuk beradaptasi terhadap kondisi pandemi yang mengharuskan masyarakat berada di rumah.

Kurikulum pascapandemi Generasi alpha yang hidup saat ini adalah generasi yang lahir di awal 2010 sehingga sejak kecil mereka sudah hidup berdampingan dengan teknologi. Pemandangan lumrah jika melihat anak berumur 4 atau 5 tahun begitu piawai memainkan gawai orang tuanya dan menyetel kanal Youtube yang mereka sukai tanpa meminta bantuan siapapun. Bahkan mereka juga terbiasa mengunduh permainan-permainan di aplikasi tanpa harus minta izin pada orang tuanya. Hal ini disebabkan karena generasi ini memang mengenal teknologi dari umur sangat dini.  Pendidik di zaman sekarang, khususnya yang menangani generasi alpha, memiliki tantangan tersendiri karena mereka (guru) harus menyiapkan kompetensi yang basisnya tidak saja pembelajaran secara nyata di ruang kelas, tapi juga terbiasa dengan teknologi. Karena itu, rumusan baru untuk kurikulum pascapandemi (mau tidak mau) harus melibatkan teknologi sebagai alat bantunya.  Berbagai platform digital seperti email, video call, chat dan lainnya sudah mulai menjadi budaya baru sebagai pengganti kertas. Bahkan sekolah pun harus bisa menyediakan teknologi antiplagiarisme sebagai pengganti penilaian manual, yang selama ini cukup menghabiskan waktu dan tenaga dengan hasil yang juga kurang optimal.

Desain kurikulum berbasis teknologi juga harus memperhatikan banyak faktor. Selain anggaran, faktor siswa yang tidak punya akses internet dan perangkat menjadi tantangan tersendiri, termasuk guru-guru yang berada di daerah nonperkotaan yang adopsi terhadap teknologinya masih cukup rendah. Selain itu, perlu juga dirumuskan sistem evaluasi dan monitoring sekolah sehingga dapat mening­katkan produktifitas di sekolah untuk bekerja lebih fleksibel, dan sesuai target tanpa harus dibebani dengan administrasi. Dengan begitu kurikulum sekolah dituntut untuk bisa mempersiapkan lulus­an siswa agar mampu memanfaatkan teknologi untuk menciptakan hal-hal yang baru dan belum pernah dipikirkan sebelumnya.

Kompetensi guru pun diharuskan dapat mengajarkan materi sesuai kurikulum sekolah dengan media teknologi/platform dalam hal penyampaian materi, kelas virtual, penilaian, komunikasi dan proyek siswa. Hal ini membuat proses belajar mengajar menjadi menyenangkan, kreatif, inovatif dan tidak terbatas untuk siswa dalam mengakses sumber belajar sebanyak-banyak. Namun di atas itu semua, teknologi hanyalah sebuah support system, dan bukan pengganti guru sebagai pemeran utama dalam sistem pendidikan kita. Biar bagaimanapun, tugas guru adalah transfer of value, dan bukan sekadar transfer of knowledge. Secanggih apapun sebuah teknologi, tidak akan mampu membentuk karakter anak menjadi lebih baik. Mereka butuh sentuhan humanis, bukan artifisial. Karakter anak didik tidak ditentukan oleh platform apa yang digunakan, tapi lebih kepada guru seperti apa yang mengajarkan. Karena itulah desain kurikulum pascapandemi, selain berbasis teknologi, yang paling utama tetap harus berbasiskan 4 kompetensi; kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi, sehingga dapat menghasilkan para pembelajar berkarakter kuat dan inovatif. Oleh: Mifta Churohman National Principal, Sampoerna Academy Grand Pakuwon Surabaya

Baca Juga: Pesantren di Persimpangan