SALAH satu bacapres dalam Pemilu 2024 telah menjanjikan program susu sekolah gratis. Program pemberian susu sekolah, juga akan disertai dengan makan siang gratis untuk anak sekolah termasuk yang sedang belajar di pesantren. Pembiayaannya sudah dihitung dengan matang oleh tim pakar ekonomi sang bacapres. Meski bakal menyedot banyak anggaran, program tersebut bukanlah hal yang mustahil dijalankan.

Tren peningkatan konsumsi susu di Indonesia berlangsung sangat lambat. Data Badan Pusat Statistik menyatakan tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia tahun 2020 masih berkisar 16,27 kg per kapita/tahun, dan lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Produksi susu di Indonesia saat ini hanya memenuhi 22%-23% konsumsi nasional.

Anggapan bahwa susu adalah komoditas pangan mahal dan masih banyaknya masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia menyebabkan kebiasaan minum susu belum membudaya. Pada awal 1950-an Prof Poorwo Sudarmo (Bapak Gizi Indonesia) mencetuskan Empat Sehat Lima Sempurna dengan menempatkan susu pada urutan terakhir. Karena ada kata sempurna, maka seolah-olah susu adalah penyempurna makanan kita sehari-hari. Padahal, barangkali saja susu diletakkan di urutan terakhir karena bangsa kita belum begitu mengenal susu, dan juga susu lebih merupakan minuman bangsa kolonial di era prakemerdekaan.

Lingkaran setan tak berkesudahan

Rendahnya konsumsi pangan berkualitas di kalangan masyarakat menyebabkan masalah gizi di Indonesia tetap menjadi lingkaran setan tak berkesudahan. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting anak balita di Indonesia ialah 21,6%. Angka itu turun sebesar 2,8% dari angka SSGI 2021 (24,4 %). Adapun target di 2024, prevalensi stunting menjadi 14%.

Baca Juga: Pelajaran dari Pelarangan Tiktok Shop

Pemilu 2024 harus melahirkan pemimpin yang hirau pada persoalan gizi bangsa. Sejak 2018, pemerintah dalam upaya memperbaiki gizi anak-anak Indonesia telah menugasi 17 kementerian dan lembaga dalam berbagai program gizi spesifik dan sensitif. Berdasarkan Studi Baseline Intervensi Stunting di Karawang (Khomsan dkk, 2022) diketahui bahwa program gizi sensitif pada konvergensi level rumah tangga masih lemah. Hal ini ditandai dengan rendahnya angka persentase keluarga balita stunting yang menerima program gizi sensitif di dua desa di Karawang.

Hanya sebesar 2,4% keluarga balita stunting yang menerima bantuan penyediaan air bersih, 4,7% penerima bantuan bibit pekarangan KRPL (Kawasan Rumah Pangan Lestari), 4,7% penerima program bantuan jamban sehat, 9,4% penerima PKH (Program Keluarga Harapan), dan 23,5% penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai).

Bangsa ini akan terus berkubang dengan persoalan gizi manakala konsumsi pangannya tidak membaik. Kualitas asupan gizi antara lain ditentukan oleh seberapa banyak pangan hewani (termasuk susu) yang dikonsumsinya. Semakin tinggi kontribusi pangan hewani dalam asupan gizi masyarakat, maka suatu bangsa akan dikatakan semakin sejahtera. Pangan hewani adalah komoditas elastis yang sangat peka dengan kemampuan daya beli rakyat.

Bappenas di awal 1990-an pernah mengimplementasikan Program Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMT-AS). Saat itu, PMT-AS berupa kudapan (snack) pangan lokal yang diberikan kepada siswa-siwa SD seminggu tiga kali. Namun, sejak era otonomi daerah, program gizi anak sekolah ini tidak lagi menjadi program nasional dan akhirnya hilang.

Di Amerika, School Lunch Program diselenggarakan sejak 1946 dan hingga saat ini masih eksis. Memang tidak gratis sepenuhnya. Namun, bagi siswa miskin, mereka mendapat subsidi dengan harga lebih murah. Keberadaan siswa di sekolah yang melewati waktu makan siang karena penyelenggaraan jam akademik yang panjang, dari pukul 07.00 hingga 15.00, harus dibarengi ketersediaan kantin penyedia makan siang yang memenuhi syarat gizi dan kesehatan serta harga makanan terjangkau.

Kita bisa becermin dari negara-negara maju, seperti Amerika atau Jepang yang sudah sejak lama memperhatikan pentingnya kantin sehat untuk makan siang siswa-siswanya. Sebaliknya, banyak siswa Indonesia setiap hari di sekolah hanya jajan gorengan dan mengonsumsi makanan murah pengganjal perut tanpa memperhatikan aspek gizinya.

Gizi berperan penting untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Oleh sebab itu, para pemimpin bangsa dan wakil rakyat di parlemen untuk lima tahun ke depan hendaknya juga melek terhadap persoalan-persoalan gizi yang dihadapi segenap anak bangsa.

Data United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan bahwa skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi sepanjang 2022 menempatkan Swiss (0,962) pada posisi pertama di tingkat dunia. Di ASEAN, negara dengan IPM tertinggi ialah Singapura (0,939), diikuti Brunei (0,829), Malaysia (0,803), Thailand (0,800), dan Indonesia (0,705). Posisi Indonesia masih di bawah rata-rata ASEAN yakni 0,726.

Mengatasi ketertinggalan

Sungguh tepat kiranya jika calon-calon pemimpin yang akan berlomba dalam Pemilu 2024 mengungkit fenomena problem gizi bangsa. Gizi harus menjadi isu politik dan indikator keberhasilan pembangunan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Investasi di bidang gizi adalah investasi berdurasi panjang. Oleh karena itu, dampaknya mungkin baru akan muncul setelah beberapa dekade. Kalau semua pihak sudah menyadari hal itu, dan mereka tidak hanya berpikir jangka pendek untuk kepentingan sesaat, maka bangsa kita akan mampu mengatasi ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain.

Keberhasilan perbaikan gizi bangsa tidak terlepas dari program penanggulangan kemiskinan. Pangan-pangan tertentu yang selama ini nyaris tidak terjangkau daya beli masyarakat, seperti susu dan pangan hewani lainnya, niscaya akan bisa diakses oleh rakyat manakala mereka terbebas dari kungkungan kemiskinan.

Berpuluh-puluh tahun kita mengenal Empat Sehat Lima Sempurna, tetapi ironisnya bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang sangat sedikit minum susu. Kini Empat Sehat Lima Sempurna sudah digantikan dengan Gizi Seimbang. Pesan utamanya ialah penganekaragaman konsumsi pangan mulai dari pangan pokok, sayuran, buah, hingga peningkatan konsumsi pangan hewani yang lebih merata di tingkat masyarakat.

Kita berharap pascapemilu nanti program-program gizi akan lebih mempunyai daya ungkit untuk mewujudkan anak-anak Indonesia yang sehat dan berkualitas. Oleh: Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB Wakil Ketua Klaster Kesehatan Asosiasi Profesor Indonesia.(*)