Isu pelestarian bahasa daerah kini sedang ramai dibicarakan karena kondisi makin banyaknya bahasa daerah terancam punah bahkan kritis. Isu pelestarian bahasa daerah menjadi isu penting yang harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah maupun masyarakat. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah meluncurkan Merdeka Belajar episode ke-17 bertajuk Revitalisasi Bahasa Daerah sebagai langkah awal untuk merespons kondisi yang terjadi. Lalu, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab dengan kepunahan bahasa daerah? Pemerintah yang terlambat tanggap atau memang masyarakat sendiri yang abai terhadap bahasanya?

Ketika kita berbicara tentang bahasa daerah, muncul istilah bahasa ibu. Menurut KBBI, bahasa ibu adalah ‘bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya’. Oleh karena itu, bahasa daerah seharusnya bisa menjadi bahasa pertama yang didengar, diucapkan, dan dikuasai oleh seseorang. Namun, hal yang terjadi malah sebaliknya, banyak keluarga yang mengenalkan bahasa pertama atau bahasa ibu kepada anaknya tidak dengan menggunakan bahasa daerah karena banyak yang menganggap bahwa bahasa daerah sudah ketinggalan zaman atau tidak keren. Kemajuan teknologi menjadi salah satu alasannya. Pesatnya arus teknologi menjadikan banyak perubahan pada gaya hidup seseorang, termasuk dalam penggunaan bahasa. Contoh yang mudah kita jumpai di sekitar kita adalah banyak orang tua yang lebih memilih mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak mereka, bahkan menggunakannya sebagai media komunikasi sehari-hari dengan alasan supaya anaknya tidak ketinggalan zaman. Hal ini bukanlah sesuatu yang mutlak salah, tetapi sebaiknya tetap mengikuti zaman dengan tidak meninggalkan bahasa daerah. Apabila masyarakat saja sudah malu menggunakan bahasa daerah, ditambah lemahnya regulasi penggunaan bahasa daerah, lalu bagaimana bahasa daerah tersebut bisa bertahan di tengah-tengah arus kemajuan teknologi yang begitu pesat? Apabila situasi ini tidak mendapat perhatian khusus oleh masyarakat dan pemerintah, cepat atau lambat akan makin menambah daftar bahasa daerah yang punah. Dengan keadaan tersebut, apakah Merdeka Belajar episode ke-17 tentang Revitalisasi Bahasa Daerah bisa menjadi program atau cara yang efektif untuk menghidupkan kembali penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat?

Gaung Revitalisasi Bahasa Daerah kembali hidup sejak diluncurkannya Merdeka Belajar episode ke-17 pada 22 Februari 2022. Pada Tahun 2022, terdapat 39 bahasa daerah yang direvitalisasi. Di Maluku sendiri, terdapat tiga bahasa yang direvitalisasi pada tahun tersebut, yakni bahasa Buru, bahasa Kei, dan bahasa Yamdena. Selanjutnya, pada tahun 2023 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa kembali merevitalisasi 59 bahasa daerah. Di Maluku, terdapat lima bahasa daerah yang direvitalisasi. Bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa Tarangan Barat di Kabupaten Kepulauan Aru, bahasa Seram/Seran di Kabupaten Seram Bagian Timur, dan tiga bahasa yang telah direvitalisasi pada tahun 2022. Mengapa tiga bahasa yang telah direvitalisasi pada tahun 2022 kembali direvitalisasi pada tahun 2023? Hal ini dilakukan karena Revitalisasi Bahasa Daerah merupakan kegiatan berkelanjutan selama 3 tahun. Hal ini diharapkan menjadi stimulus dan praktik baik yang dapat dilihat oleh pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah juga ikut peka terhadap bahasa-bahasa daerah mereka yang mulai menurun jumlah penuturnya. Setelah 3 tahun, diharapkan pemerintah daerah dapat secara mandiri melanjutkan Revitalisasi Bahasa Daerah lainnya di daerah mereka masing-masing.

PP Nomor 57 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pemerintah daerahlah yang melaksanakan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah. Selain itu, pemerintah daerah melaksanakan pemberian dukungan terhadap upaya pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah. Namun, pada kenyataannya, bahasa daerah masih menjadi hal yang diabaikan oleh pemerintah daerah karena tidak ada regulasi jelas dan tegas yang dibuat oleh pemerintah daerah. Hal ini makin memperburuk daya hidup sebuah bahasa daerah.

Selain melakukan Revitalisasi Bahasa Daerah, Kantor Bahasa Provinsi Maluku juga mencoba untuk mendorong pemerintah daerah menerbitkan regulasi tentang bahasa daerah yang dapat melindungi daya hidup bahasa daerah di daerah-daerah tersebut. Stimulus-stimulus yang dilakukan sejak tahun 2022 ini telah disambut baik oleh beberapa daerah yang bahasanya direvitalisasi. Salah satunya adalah Kabupaten Maluku Tenggara. Kabupaten Maluku Tenggara telah menerbitkan sebuah Peraturan Bupati Nomor 70 Tahun 2022 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa Kei. Hal ini menjadi sebuah gambaran dari stimulus yang mendapatkan respons baik. Dalam hal ini, stimulus yang dimaksud adalah kegiatan Revitalisasi Bahasa Daerah. Contoh praktik  baik tersebut menjadi salah satu bukti nyata bahwa Revitalisasi Bahasa Daerah merupakan program yang efektif untuk memberikan stimulus positif kepada pemerintah daerah mengenai keadaan bahasa dearah mereka.Oleh: Tenti Septiana, S.Hum. Staf Kantor Bahasa Provinsi Maluku.(*)

Baca Juga: Penilaian, Proses Penalaran dari Bukti