AMBON, Siwalimanews – Jaksa Penuntut Umum Ke­jaksaan Negeri Maluku Barat Daya dituding keliru menuntut terdakwa, Sekda MBD, Alfon­sius Siamiloy terbukti mela­kukan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kewena­ngan.

Menurut kuasa hukum Sia­miloy, Herman Koedoeboen, pasal yang dijerat kepada kliennya yakni melanggar pasal 2 ayat (1) pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No 20 tahun 2001 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1, Jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana sangatlah keliru.

“Saya cukup kaget ketika JPU menyatakan dakwaan primair terbukti berdasarkan pasal 2 ayat 1 yang didak­wa­kan dari pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, ke­mudian menyatakan tentang pengembalian kerugian ke­uangan negara.  Kami belum mendengar argumentasi hukum­nya tapi dari amar telah kelihatan bahwa penuntut umum membe­narkan adanya penerimaan dana oleh para Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perjalanan dinas,” ujar Koedoeboen kepada Siwalima di Pengadilan Negeri Ambon, Rabu (12/4).

Kata Koedoeboen, pasal 18 UU Tipokor, Itu adalah konsekuensi dari pada siapa yang menikmati, sekalipun seseorang terbukti tetapi tidak menikmati dana itu secara langsung dan tidak langsung, maka undang-undang tidak mewajibkan pengembalian kerugian keuangan negara.

Kekeliruan JPU juga, karena menyebutkan dana perjalanan dinas dinikmati oleh PNS tetapi membebankan biaya ganti rugi kepada Alfonsius Siamiloy.

Baca Juga: Dorong KPK Bongkar Borok Pinjaman SMI Usut Keterlibatan Murad

“Disitu ada sesuatu kekeliruan, daripa penuntut umum karena selain kita belum membacakan tentang apa argumennya, tetapi menikmati itu sendiri dalam amar menjadi kontraversi. Disatu pihak menyebut yang menikmati adalah para pegawai, tetapi dipihak lain membebankan ganti rugi itu ter­hadap terdawka dengan dikurangi terhadap dana yang telah diterima oleh pihak ketiga,” tuturnya.

Koedoeboen menegaskan, pihaknya tidak tahu apa yang menjadi dasar pertimbangan jaksa sehingga menyebutkan, keliennya terbukti, karena fakta persidangan telah menunjukkan bahwa tidak ada alasan pembe­nar, dimana pemberian dana kepada pihak ketiga itu adalah atas perintah bupati dan pihak ketiga itu adalah para pejabat-pejabat tertentu.

Oleh karena itu, lanjut dia, sesungguhnya tidak ada aspek kesalahan yang dapat dibuktikan oleh penuntut. aspek kesalahan itu harus dibuktikan dengan ada­nya kesengajaan atau kelalaian.

Sebab kesengajaan itu harus dibuktikan adanya niat,dimana tidak ada niat dari pada Sekda ini mempunyai kepentingan lang­sung maupun tidak langsung untuk menyerahkan dana kepada pihak ketiga.

Kata dia, sekda hanya menja­lan­kan perintah dan hal itu tidak dipungkiri untuk tidak dapat melaksanakan sehingga sekda bukan yang bertanggungjawab penuh terhadap persoalan ini.

“Mestinya Sekda tidak harus disalahkan, sebab hanya melak­sanakan perintah oleh seorang bupati yang memiliki kepentingan langsung, di mana saudara terdakwa harus melaksanakan perintah itu untuk memberikan SPPD itu kepada para pejabat dalam rangka menunjang kegiat­an pemerintahan daerah, berarti aspek niat itu tidak ada,” ujarnya.

Kemudian kelalaian itu tidak bisa terjadi, karena dia berada dalam kondisi diperintahkan berarti berada dalam kondisi daya paksa, sekda tidak memiliki sebuah independensi kebebasan sebagai bawahan untuk menolak suatu perintah, dan itu yang tidak dijelaskan oleh penuntut umum dalam tuntutannya. Karena JPU tidak paham tentang itu.

“Sangat sederhana tuntutan­nya dan bahkan berkesimpulan pasal 2 ayat 1 terbukti, Padahal mereka dakwakan terdakwa ini dalam kapasitas selaku Sekda dan pengguna anggaran, berarti dia didakwakan dalam jabatan dan oleh karena didakwakan dalam jabatan maka terjadilah penyalahgunaan wewenang

Jika demikian, lanjutnya, maka harus diterapkan pasal 3 yang diterapkan, sekalipun itu adalah spesies dari pada perbuatan mela­wan hukum di mana per­buatan hukum yang diatur dalam pasal 2 ayat 1  karena lebih fak­tual dan konkrit.

“Karena dalam kedudukan dan jabatannya maka harus diterap­kan pasal 3 kalau oleh mereka menganggap terbukti, itu pun pasal 3 masih kita perdebatkan. nah itu yang harus dilihat,” ujar­nya.

Selain itu, faktor-faktor yang memberatkan, tidak boleh jaksa berpendirian bahwa suatu per­sidangan dianggap kooperatif oleh seorang terdakwa apabila meng­akui itu adalah tidak profesional

“Jangan diharapkan bahwa mengaku suatu tuduhan supaya dianggap adalah tidak berbelit-belit dalam persidangan kalau memang fakta materinya dia tidak melakukan maka, dia tidak mengakui jangan dipandang sebagai mempersulit jalannya persidangan atau berbelit-belit. Ini kan cara logika berpikir yang keliru didalam profesionalisme penegakan hukum, sangat disa­yangkan kalau ini didekat pene­gakan hukum sulit dicapai,” paparnya.

Terhadap sebuah tujuan dari pada penegakan hukum yaitu, keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum maka orientasi dan pemahaman JPU dalam tuntutan ini masih berorientasi pada hukum yang klasik yaitu, hukum sebagai pembalasan. Padahal kita sudah menganut hukum progresif dimana keadilan sudah tidak lagi menganut pembalasan dendam.

Dituntut 7,6 Tahun

Sebelumnya, Sekretaris Dae­rah Kabupaten Maluku Barat Daya , Alfonsius Siamiloy dituntut  Jaksa Penuntut Kejaksaan Ne­geri MBD dengan 7,6 tahun pen­jara.

JPU Asmin Hamjah menyata­kan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah mela­kukan tindak pidana korupsi anggaran perjalanan dinas dalam daerah dan luar daerah Tahun Ang­garan 2017 dan 2018 pada Seker­tariat Daerah Kabupaten MBD.

Terdakwa melanggar pasal 2 ayat (1) pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberan­tasan Tindak Pidana Korupsi se­ba­gaimana diubah dan ditambah dengan UU No 20 tahun 2001 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1, Jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Tuntutan JPU tersebut diba­cakan dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (10/4) dipimpin ma­jelis hakim yang diketuai Hakim Wilson Shiriver.

Selain hukuman badan, JPU juga menuntut terdakwa mem­bayar denda senilai Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan penjara.

Selain itu, terdakwa juga dibebankan membayar uang pengganti sebesar Rp1,565. 855.600,- setelah dikurangi dengan pengembalian yang dilakukan oleh para pelaku perjalanan dinas saat proses penyidikan dan penuntutan terhadap perkara dimaksud sebesar Rp171.970.800, dengan jumlah Rp1,394.855.600,- sebagaimana tertuang dalam barang bukti perkara tersebut.

JPU menegaskan, apabila ter­dak­wa tidak membayar uang peng­ganti dalam tenggang waktu paling lama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetatp, maka harta bendanya dapat disita oleh negara. Apabila terdakwa tidak memiliki harta benda yang cukup maka diganti dengan pidana penjara selama 3,9 tahun.

JPU menyatakan, terdakwa dalam perbuatan pidana baru pertama kali melakukan dan bersikap sopan selama persida­ngan perkara ini dilangsungkan. Namun, sebaliknya terdakwa tidak mengakui perbuatannya, dan tidak memiliki etikad baik untuk mengembalikan kerugian keuangan negara selama proses perkara ini berjalan. Begitupun terdakwa tidak menudukung program permerintah dalam upaya memberantas korupsi. (S-26)