Ridho Al-Hamdi Wakil Dekan Bidang Akademik Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta | Opini Versi Audio ? ? MI/Seno Ilustrasi MI   SAAT menjabat sebagai khalifah kedua, Umar bin Khattab pernah berkata menjelang wafatnya bahwa tidak akan ada dari anak keturunannya yang bakal menjadi khalifah. Bahkan ketika para sahabat menyarankan posisi khalifah diserahkan kepada putranya, Umar menjawab, “Tidak ada kaum keturunan Al Khattab hendak mengambil pangkat khalifah ini untuk mereka, Abdullah tidak akan turut memperebutkan pangkat ini.” Umar pun berkata kepada anaknya, Abdullah bin Umar, “Anakku Abdullah, sekali-kali jangan, sekali-kali jangan engkau mengingat-ingat hendak mengambil jabatan ini!”

Demikianlah tegasnya Umar menolak politik dinasti. Keteladanannya masih hidup hingga kini meski sudah berabad-abad lalu. Presiden pertama Amerika Serikat, George Washington, pernah menolak tawaran untuk kembali maju sebagai capres untuk periode yang ketiga. Padahal, jika dia maju, hampir dipastikan menang mutlak dalam pemilu. Namun, Washington menolak dengan tegas tawaran tersebut.

Bahkan Raja George III Inggris (musuh bebuyutan Washington saat perang Revolusi Amerika) mengatakan, jika benar melakukannya, dia adalah orang terbesar di dunia. Inilah teladan riil dari dunia Barat bahwa etika lebih bermartabat dari sekadar kekuasaan. ADVERTISEMENT ADVERTISEMENT Dua kisah di atas cukuplah menjadi penguat keyakinan kita bahwa etika akan abadi ratusan bahkan ribuan tahun kemudian. Etika itu di atas norma. Norma hanya kumpulan tata aturan yang bisa saja bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan yang berlaku di masyarakat. Etika dapat melahirkan sebuah peradaban besar dalam suatu bangsa, bahkan bisa bertahan lama hingga berabad-abad. Nabi Muhammad SAW pun diutus oleh Sang Pencipta di muka bumi ini untuk menyempurnakan etika manusia. Karena itulah, sekali lagi, etika di atas segalanya.

Di atas norma, di atas kebenaran, di atas kekuasaan, apalagi hanya sekadar jabatan dan harta.   Ndasmu etik Kendati demikian, kejadian di Bumi Pertiwi akhir-akhir ini seakan jauh dari keteladanan. Politisasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang dihormati sebagai penjaga muruah konstitusi negara telah merusak tatanan teori hukum tata negara hanya karena ulah segelintir hakim. Putusan MK No 90 dengan membolehkan kepala daerah maju sebagai capres-cawapres menjadi hadiah demokrasi dari paman untuk ponakan sehingga menjadikan sang putra presiden ditetapkan sebagai cawapres. KPU pun tidak bisa berbuat apa-apa. Pada saat debat capres pertama, Prabowo mengatakan bahwa putusan MK itu tidak ada yang salah setelah berkonsultasi dengan tim kuasa hukumnya. Memang betul, tidak ada yang salah karena putusan MK yang salah pun tetap jadi putusan yang mengikat dan wajib dilaksanakan. Namun itulah, etika itu di atas hukum. Lebih buruk lagi, frasa Ndasmu etik dike­luarkan di ruang publik. Para jubir pun sibuk mencari alasan dengan mengatakan bahwa hal itu hanya candaan untuk internal kader. Soal etika tidak bisa untuk bahan candaan, apalagi dilakukan oleh calon pemimpin. Ketika soal etika disindir kembali pada debat capres ketiga, jawaban semakin tidak jelas.

Blunder untuk kesekian kali. Menjadi seorang pemimpin itu memang berat. Ucapan dan perilakunya disorot oleh ratusan juta rakyat, apalagi di era media sosial saat ini. Dia harus siap dikritik, bahkan dicaci maki atas kebijakan yang diputuskan. Rakyat adalah pemilik sah atas kedaulatan Republik ini, bukan presiden ataupun segelintir konglomerat. Siapa pun berhak bersikap karena kritik itu ibarat jamu, pahit tapi menyehatkan. Seperti dikatakan Ali bin Abi Thalib di atas. Di sinilah pula pernyataan Agus Salim (politisi Sarekat Islam) masih sangat relevan bahwa Een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden (jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah men­de­rita). Memimpin bukan untuk memperkaya diri. Memimpin bukan juga untuk merebut posisi, apalagi melanggengkan kekua­saan dengan menempatkan keluarganya di banyak jabatan. Memimpin itu memang benar-benar menderita karena harus siap dihujat dan dicemooh. Inilah pilihan sistem demokrasi yang harus dipahami oleh para calon pemimpin yang bertarung pada pilpres, pileg, dan pilkada.

Baca Juga: Kejar Tayang Kinerja Semu Pengelolaan APBN 2023

Abraham Linclon, mantan Presiden Amerika Serikat, juga telah mengingatkan kita bahwa, “Hampir semua orang mampu bertahan menghadapi kesulitan. Namun, jika Anda ingin menguji karakter sejati seseorang, beri dia kekuasaan.” Citra Jokowi sebagai ‘Jokowi Adalah Kita’ yang merepresentasikan munculnya wajah ndeso, kini di akhir periodenya dia telah bermeta­morfosis menjadi priayi baru yang membangun ‘dinastik politik’.   Sematan ‘man of contradictions’ pada Jokowi Ben Bland pada 2020 menyematkan gelar ‘man of contradictions’ kepada Jokowi, sebuah gelar untuk sosok yang penuh inkonsistensi (ketidak­konsistenan). Jokowi hanya cukup sembilan tahun sudah berhasil menjadikan anaknya sebagai cawapres dan ketum parpol, serta menantunya seba­gai wali kota. Hal yang tidak sempat dilakukan oleh Soeharto selama 32 tahun atau Soekarno selama 20 tahun sebagai presiden.

Pemilu Serentak 2024 harus menjadi momentum penentu kita untuk memilih pemimpin yang tepat. Bangsa yang besar diba­ngun oleh kekuatan gagasan pemimpin dengan dilandasi oleh etika yang luhur. Pemilih muda menjadi salah satu bandul penentu keterpilihan pemimpin 2024. Data KPU menunjukkan ada 56% lebih pemilih 2024 didominasi oleh generasi milenial dan gen Z (kelahiran sejak 1981 hingga mereka yang memiliki hak suara). Debat capres-cawapres dan rekam jejak etika harus bisa menjadi acuan rakyat dalam menjatuhkan pilihan terbaik. Begitu juga dengan pilihan untuk calon anggota parlemen (DPR, DPD, dan DPRD). Pemimpin yang beretika itu wajib dimiliki oleh Bumi Pertiwi ini karena dia akan abadi. Oleh: Hamdani Akademisi Departemen Akuntansi FEB Universitas Andalas, pakar keuangan negara dan daerah (*)