AMBON, Siwalimanews – Universitas Kristen Indonesia Maluku melalui program kreativitas mahasiswa atau PKM menggelar sosialisasi gerakan anti kekerasan dalam pacaran bagi Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku Cabang Damai Jemaat GPM Waai, Jumat (30/6) kemarin.

Kepala Lembaga Pengabdian Masyarakat UKIM Joseph Used Noya selaku penanggung jawab kegiatan dalam rilisnya yang diterima redaksi Siwalimanews, Senin (3/7) menjelaskan, PKM ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan kepada AMGPM Cabang Damai tentang kekerasan dalam pacaran, dan bagaimana mencegahnya dan menolong orang yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran.

“Kegiatan PKM ini menghasilkan perubahan pola pikir potensi AMGPM Cabang Damai dan juga hand book,” tulis Joseph dalam riisnya.

Dalam rilis tersebut juga disebutkan, kegiatan PKM ini diikuti oleh 30 peserta, yang terdiri dari 3 orang perwakilan dari setiap ranting, dimana ada 8 ranting dan 6 pengurus cabang.

‘Kegiatan ini diawali dengan memberikan angket kuesioner pre test yang bertujuan untuk mengetahui pemahaman para peserta tentang kekerasan dalam pacaran dan juga bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran,” ujanya.

Baca Juga: Dokter Umum Boleh Lakukan Tindakan Bedah, Ini Caranya

Alasan dilakukannya sosialisasi ini bagi AMGPM Cabang Damai di Jemaat GPM Waai kata Joseph, karena melihat  realitas konteks Jemaat GPM Waai, secara khusus AMGPM Cabang Damai, dan analisa situasi dari mitra, terindikasi sejak tahun 2018 adanya 8 kasus tindakan kekerasan dalam pacaran di kalangan pemuda.

“Korban tindakan kekarasan ini adalah perempuan. Kasus kekerasan ini cenderung tersembunyi karena terkondisikan dalam budaya malu. Tindakan ini sebagai hal yang lumrah karena dianggap sebagai bentuk ekspresi cinta dan kesetiaan kepada pasangannya. Dalam konteks sekarang, kasus ini masih ada, tetapi tidak ada distribusi pemahaman tentang bentuk dan cara penanganan kasus kekerasan dalam pacaran yang dapat dilakukan oleh gereja sebagai bentuk pendampingan kepada orang-orang muda,” jelasnya.

Menurutnya, faktor penyebab mayor adalah, terbatasnya pengetahuan terhadap bentuk-bentuk kekerasan dan minimnya pengetahuan tentang peran pendampingan yang dapat dilakukan kepada korban kekerasan dalam pacaran oleh orang-orang muda.

Akibatnya, kekerasan yang terjadi dalam pacaran terus menjadi sebuah lingkaran setan dikalangan AMGPM Cabang Damai, karena baik secara personal maupun komunal, mereka tidak punya pengetahuan mengenai bagaimana memutuskan rantai kekerasan tersebut.

“Kegiatan ini penting untuk dilakukan agar dapat membimbing dan mengarahkan orang-orang muda yang ada di AMGPM Cabang Damai untuk membangun relasi pacaran yang sehat dan menekankan kesetaraan sebagai perempuan dan laki-laki. Mengingat setiap orang muda yang ada di dalam relasi pacaran memiliki arah dan tujuan untuk melanjutkan pada jenjang pernikahan,” tuturnya.

Kegiatan ini kata Noya, sekaligus menjadi langkah pastoral gereja dalam mempromosikan tapi juga langkah preventif terhadap kekerasan dalam rumah tangga.

Sementara itu, Pendeta J A Tuasela yang membawakan materi tentang kekerasan dalam pacaran dari perspektif teologi, menyampaikan kepada para peserta tentang bentuk-bentuk kekerasan yang dapat muncul dalam proses pacaran.

“Hal ini semakin dipertegas dengan memunculkan kisah-kisah yang ada di dalam Alkitab, khususnya mengenai kekerasan seksual. Kisah itu kemudian juga dilihat dalam perspektif psikologi untuk memahami penyebab terjadinya kekerasan. Kekerasan dalam pacaran sangat rentan terjadi dan dialami oleh perempuan, dan oleh karenanya, melalui sosialisasi ini para peserta diajak untuk membangun kepekaan dan mulai membekali semua pihak tentang perspektif adil gender yang tidak menjadikan perempuan menjadi korban berlapis dalam segala bentuk relasi sosial,” bebernya.

Sementara itu Aleta Ruimassa yang membawakan meteri tentang kekerasan dalam pacaran dari perspektif psiko pastoral mengajak para peserta untuk melihat realitas fakta dan data tentang angka kekerasan dalam pacaran.

Berdasarkan data, ditemukan bahwa tingkat kerentanan terjadinya kekerasan dalam pacaran umumnya terjadi pada usia dewasa, yakni 18-40 tahun, dan hal itu hampir sama dengan rentang usia potensi AMGPM yakni 17-45 tahun. Untuk itu ia menjaka para peserta untuk melihat dari perspektif psikologi mengenai kebutuhan orang muda ada dalam tahap pacaran.

“Meski demikian, pacaran juga dapat dilihat punya potensi yang besar untuk terjadinya konflik bahkan kekerasan,” ujarnya.

Dalam kegiatan itu, para peserta juga diberikan pemahaman tentang bentuk-bentuk kekerasan serta dampak yang dimunculkan ketika seseorang menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Selain itu, peserta juga diajak untuk melihat kasus kekerasan dalam pacaran yang mesti juga mendapat pendampingan pastoral.

Langkah pencegahan dan juga perbaikan kemudian diberikan sebagai bentuk pendampingan pastoral kepada AMGPM Cabang Damai, agar mereka bisa menjadi orang-orang muda yang peka dan membangun support system yang baik bagi sesama potensi, yang mungkin saja terjebak dalam toxic relationship.

Kegiatan ini juga mendapatkan sambutan dan apresiasi dari Ketua Cabang AMGPM Damai Mey Manuputty, bahwa kegiatan ini sangat baik untuk membawa generasi muda yang tergabung dalam AMGPM memiliki kepekaan agar dapat memutuskan rantai kekerasan sejak dari masa pacaran.(S-08)