ISU kohesivitas koalisi partai politik (parpol) di Indonesia sepekan belakangan ini kian dinamis. Namun, satu hal tetap similar. Pola koalisi hanyalah replikasi atau refabrikasi tapak kepentingan elitis. Bagaimana dinamika koalisi dimengerti menyusul Partai NasDem bergabung dengan Partai Kebang­kitan Bangsa (PKB)?

Rantai sejarah koalisi berkembang terutama ketika penentuan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) kian mendidih sejak pecahnya reformasi Mei 1998. Hingga kini, berbagai lembaga survei mematok tiga calon presiden: Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Tiga kandidat tersebut mesti cermat menemukan cawapres yang pantas, terutama prospek basis politik elektorasinya dan moderasi politik yang menga­komodasi varian pembilahan sosial.

Namun, basis politik elektoral massa terkesan ter­gusur ke tepian permainan ketika kelompok oligarki partai menyusun agenda politik mereka sendiri. Fenomena itu membuktikan politik di Tanah Air eksklusif dan sentralistis, sementara pengelolaan negara berbasis ide politik desentralistis. Aktor-aktor partai-partai politik ‘terjebak’ dalam sekat siapa tidak menjadi wakil dari siapa demi mendapatkan apa dan untuk berapa banyak.

Pada konteks itulah, Partai Demokrat terkesan terjebak lalu terpental ke tepian koalisi. NasDem dan Anis Baswedan dituding kurang setia. Partai Demokrat mungkin agak lupa bahwa sejarah koalisi di Indonesia kerap dinodai kepentingan elite politik (oligarki). Demokrat terbimbing oleh opsi agar Agus Harimurti Yudoyono (AHY) harus menjadi cawapres.

Seturut dengan perspektif A Lupia dan K Strom (1995), barangkali Demokrat akan memungut beberapa prinsip politik yang dianut berbeda. Perbedaan perspektif, juga konteks yang dihayati, justru mendorong penghentian koalisi bukan sekadar negosiasi opsional ideologis yang gagal, melainkan kegagalan koalisi sebagai konsekuensi dari guncangan eksogen yang variatif.

Baca Juga: STEAM dalam Cerita Anak

Meski koalisi merujuk pada kerja sama lintas parpol berbeda untuk mencapai tujuan bersama, koalisi juga membuahkan pembelokan sejarah yang mengandung cacat bawaan lantaran dinamika guntingan dalam lipatan kepentingan saling terkait. Bahkan koalisi politik hanyalah refrabrikasi dinamis yang terus-menerus. Koalisi dibangun dari perkembangan politik yang berkelanjutan dan bergantung pada faktor historis, budaya, dan politik yang kompleks. Jika becermin pada perspektif Arend Lijphart (1999), tampaknya Indonesia mengambil model koalisi mayoritas sesuai dengan konteks kekuatan massa pendukung yang terbelah.

Model koalisi nasional dipraktikkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dua periode karena dia sedang dalam jebakan krisis nasional. Tujuannya menciptakan stabilitas politik di tengah tantangan berat pada awal kepemimpinannya. Jokowi memilih Wakil Presiden Ma’ruf Amin dari unsur NU. Dia juga menggabungkan parpol yang berspektrum ideologis berbeda. Sementara itu, koalisi proporsional terjadi pada Demokrat dan PKS 2014-2024.

Lincah

NasDem amat ‘lincah’ karena menjadi salah satu pemain kunci pembentukan kabinet Jokowi. Namun, di pengujung kepemimpinan Jokowi (2023), NasDem mengembuskan era perubahan yang mendorong Anies Rasyid Baswedan calon presiden demi merepresentasi perubahan tersebut. Tujuh bulan setelahnya NasDem digertak para buzzer. Tujuh bulan berlalu postur koalisi bergeser cepat menjelang deadline pendaftaran Pemilihan Presiden 2024. NasDem hanya membutuhkan momentum dateline untuk mengubah arah koalisi, ketika Demokrat teguh berharap AHY diusung sebagai cawapres.

Penggabungan parpol berbeda ideologi (Kaare Strom dalam C Moury (2013) agak rumit membangun solidaritas politik justru karena jarak ideologinya berjauhan. Karena itu, beberapa kemungkinan skenario bakal dilakukan; pertama, kompromi demi stabilitas. Jika kompromi bisa dicapai, koalisi memberikan stabilitas politik karena inklusivitas politik. NasDem menghendaki moderasi politik supaya mengurangi tensi faksionalitas politik identitas, sementara Demokrat berintensi kuat agar AHY cawapres. Kompromi tidak bersua hasrat, stabilitas terganggu.

Kedua, polarisasi. Koalisi mengakibatkan polarisasi dan konflik internal. Perbedaan pandangan menyebabkan ketidaksepakatan yang merusak kolaborasi efektif. Ketiga, reformasi kebijakan. Koalisi membuka peluang untuk merumuskan kebijakan yang lebih seimbang dan menyeluruh.

Tampaknya, NasDem melihat peluang untuk merelativisasi mengerasnya sentimen politik identitas sebagaimana kerap dialamatkan kepada Anies Baswedan, tetapi tidak mengambil AHY sebagai calon wakil karena memilih AHY akan dengan sangat mudah opini terbentuk bahwa pasangan itu hanyalah replikasi dan refabrikasi pengalaman Pilkada Jakarta yang mengglorifikasi isu politik identitas.

Keempat, janji ikatan berbagi kekuasaan yang menjadi contoh inklusivitas politik. Janji itu dapat mewakili keragaman pandangan dalam masyarakat dan mencerminkan berbagai aspek pemilih yang multikultural. NasDem mendorong publik ke arah itu seperti terkonfirmasi melalui berbagai pidato Surya Paloh di berbagai kesempatan dan tempat.

Moderasi politik

NasDem memainkan peran dinamisator dan katalisator. Sayangnya, reaksi Partai Demokrat terhadap pencalonan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin (PKB) terkesan tergesa-gesa. Lalu, terbimbing oleh deadline and dateline politik, Cak Imin menyambut ajakan untuk mendampingi Anies Baswedan. Pasangan itu, tak hanya memenuhi moderasi politik, tetapi sekaligus merelatifkan politik identitas.

Perspektif Strom (2013), koalisi dapat berhasil baik meski menghadapi kesulitan signifikan. Misalnya, Jerman (2005-2009), koalisi Partai Sosial Demokrat (SPD) dan Partai Demokrat Bebas (FDP) dikenal sebagai koalisi Hitam-Kuning. Belanda (2012-2017), koalisi Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) serta Partai Buruh (PvdA) membentuk pemerintahan koalisi yang mereformasi kebijakan sosial. Italia (2011-2013), pemerintahan teknokrat di bawah Mario Monti, koalisi berhasil mengatasi krisis ekonomi dan keuangan melalui reformasi ekonomi dan kebijakan fiskal.

Namun, contoh gagal di Israel (2020-2021), koalisi Likud dan Biru dan Putih, yang dipimpin Benjamin Netanyahu dan Benny Gantz, mengalami konflik internal. Belgia (2010-2011), mengalami periode tanpa pemerintahan stabil 541 hari karena disfungsional koalisi, akibat perbedaan politik di antara partai-partai di wilayah Flandria dan Wallonia. Yunani (2011-2012), koalisi di antara partai-partai yang mendukung kebijakan pengetatan fiskal dan reformasi ekonomi untuk mengatasi krisis utang Yunani terbentuk, tetapi terjadi kerusuhan sosial akibat tindakan penghematan yang diambil.

Koalisi politik gagal yang dialami Israel dan Belgia tersebab oleh perbedaan ideologis dan kepentingan pribadi. Intinya, ketidaksepakatan tentang pasangan aktor politik dapat menghambat koalisi. Kegagalan koalisi tidak hanya disebabkan konflik internal atau perbedaan ideologis, tetapi juga oleh tekanan eksternal atau peristiwa tak terduga.

Sementara itu, PDIP cenderung menggunakan pola aliansi. PDIP sebagai center of gravity. Hal itu mudah dimengerti karena PDIP memenuhi syarat presidential threshold 20% suara pencalonan presiden, tanpa harus bergabung dengan parpol lain. Alhasil, PDIP bersikap agak ‘toleran’ terhadap datang dan perginya partai lain yang bergabung atau tidak bergabung dengannya. Sebagai pusat gravitasi politik PDIP, memang, agak cenderung mendikte.

Namun, aliansi bukan tanpa bahaya. Dinamika bargaining politik kian kencang (bandingkan: Michael Laver, 1996), karena terkait cara partai-partai politik merundingkan dan membuat kesepakatan mengha­dapi kompleksitas politik. Cara bargaining mesti disesuaikan dengan strategi dan taktik agar kontekstual dengan budaya politik para pemilih.

Jangan-jangan sebutan ‘petugas partai’ berlaku untuk semua partai yang beraliansi dengan PDIP tatkala preferensi politik masing-masing justru agak berbeda. Karena itu, sensitivitas terhadap opini rakyat sangatlah diperlukan karena pemilihan tidak lagi ditentukan aliansi partai politik, tetapi oleh rakyat pemilih. Kata Laver, partai mungkin harus memper­timbangkan bagaimana bargaining memengaruhi dukungan pemilih.

Dinamika format koalisi tidak selalu berjalan linear karena Indonesia menganut sistem multipartai. Dengan begitu, kohesivitas koalisi dan aliansi sering kali mengalami sirkuit kemelut sebagai bagian integral dari proses politik untuk mencapai kekuatan mayoritas pemilih. Sekian. Oleh: Pius Rengka Mahasiswa Doktoral Studi  Pembangunan UKSW Salatiga (*)