AMBON, Siwalimanews – Polisi memastikan proses hu­kum terhadap kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan Bupati Malra M Taher Hanubun, tetap berlanjut.

Tim penyidik Ditreskrimum Polda Maluku kembali memeriksa saksi terkait kasus dugaan pelecehan seksual Bupati Hanubun.

Hanubun dilaporkan ke Polda Ma­luku, karena diduga melakukan pele­cehan seksual terhadap wanita 21 tahun berinisial SA, karyawan Cafe Agnia, miliknya, yang terletak di ka­wasan Air Salobar, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.

Kabid Humas Polda Maluku, Kom­bes M Rum Ohoirat mengungkapkan, Jumat (8/9) lalu, pihaknya telah me­manggil tiga orang saksi untuk mem­berikan keterangan terkait kasus du­gaan pelecehan seksual tersebut, namun yang memenuhi panggilan hanya satu saksi.

“Hanya satu saja yang penuhi yaitu kakak kandung pelapor,” tutur Kabid kepada Siwalima, Jumat (8/9).

Baca Juga: Putusan Inkrah, Gugat Dati Sopiamaluang Keliru

Kendati hanya satu saksi yang diperiksa, lanjut Kabid, pihak pe­nyidik akan melakukan cara lain. Dan proses hukum kasus ini tetap jalan sesuai dengan Pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pi­dana Kekerasaan Seksual.

“Memang kita sesalkan, namun sudah barang tentu kasus ini tetap akan jalan karena bagaimanapun juga kasus ini sebagaimana dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Ta­hun 2022 tentang TPKS mengisya­ratkan, untuk tidak dapat disele­saikan di luar pengadilan terkecuali pelakunya adalah dibawah umur. Dengan demikian terhadap hal itu maka kasus ini akan tetap jalan,” tegas Kabid Humas.

Kabid Humas kembali menegas­kan, ketidak hadirkan saksi saksi yang diundang, penyidik punya cara lain. Namun cara seperti apa, Kabid tidak berkomentar dan me­minta biarlah penyidik yang bekerja.

“Meski dengan ketidakhadiran orang orang yang diundang ini, namun sudah pasti pihak penyidik punya cara dan trik tertentu, biarlah mereka bekerja. Memang hari ini satu yang datang yakni kakak kan­dung pelapor yang pada awal men­dampingi pelapor. Kita tadi sudah mengambil keterangannya,” ujar­nya.

Selain itu, lanjut Kabid, penyidik telah membawa pelapor melakukan pemeriksaan psikolog.

“Untuk pelapor sendiri kemarin penyelidik sudah membawanya untuk dilakukan pemeriksaan ter­hadap yang bersangkutan oleh psikolog, dan besok juga akan diantarkan untuk pemeriksaan lebih lanjut,” tuturnya.

Terkait informasi laporan tersebut akan dicabut, menurut Kabid, untuk kasus ini sesuai dengan aturan TPKS tidak bisa dicabut, sehingga proses hukum tetap berlanjut.

“Kalaupun ada pencabutan lapo­ran oleh keluarga atau pelapor sen­diri pun kasus tersebut akan terus berjalan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 UU No 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” tegasnya.

Dijelaskan, dalam UU TPKS me­nghendaki kasus kekerasan seksual tak bisa diselesaikan di luar per­adilan, sehingga kalaupun ada pencabutan laporan kasus ini akan terus berlanjut. Penyelidik akan tetap proses masalah ini. “Untuk itu kita tunggu hasil dari penyelidik,” pinta Kabid.

Janji Kapolda

Sebelumnya, Kapolda Maluku Irjen Pol Lotharia Latif telah me­merintahkan penyidik untuk mena­ngani kasus tersebut secara profe­sional. Semua proses penanganan dilakukan secara transparan dengan melibatkan instansi terkait, baik psikolog dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (TP2TPA) sehingga hasil­nya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Kapolda meminta, jangan ada pihak yang coba-coba menginter­vensi pihaknya dalam penyelidikan kasus ini.

Orang nomor satu di Polda Ma­luku ini bahkan mengingatkan siapapun yang mengancam atau menekan pelapor.

“Kami juga mengingatkan kepada siapa pun untuk jangan coba-coba mengancam atau menekan pelapor, atau coba-coba intervensi kasus yang sedang ditangani ini. Bahkan siapa pun yang akan menghambat proses ini kami tidak segan-segan untuk menindaknya,” tegas Kapolda di Ambon, Rabu (6/9).

FAMMB Siap Kawal

Forum Anak Muda Maluku Ber­suara, pastikan mengawal kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Bupati Malra ter­hadap korban TSA.

Salah satu bentuk pengawalan tersebut dengan melakukan focus group discussion dengan tema “Pe­nanganan Kasus Kekerasan Seksual Dengan Penerapan UU TPKS” di­pimpin narasumber Insany Syahbar­waty, Pemred Teras Maluku dan Lusi Peilouw, Koordinator GBPM dihadiri aktivis perempuan lainnya.

Pernyataan dukungan tersebut disampaikan perkumpulan aktivis perempuan Maluku usai melang­sungkan giat diskusi publik yang dilaksanakan di Canie Coffee, Kompleks Tanah rata, Galunggung, Kota Ambon, Sabtu (9/9).

“Kami Forum Anak Muda Maluku Bersuara” dengan ini menyampai­kan pernyataan sikap. Pertama, Kami mendukung korban kekerasan seksual untuk berani bersuara dan mendapatkan akses keadilan seluas-luasnya,” ujar mereka.

Kedua, jangan membungkam kor­ban dengan uang dan kekuasaan. Ketiga, kami mendesak aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk menuntaskan semua kasus kekerasan seksual di bumi Maluku, tanpa pandang bulu.

Sementara itu, Ketua Cabang GMKI Ambon yang baru terpilih beberapa waktu lalu, Apriansa Ata­pary juga menyatakan dukungan pribadinya usai giat diskusi tersebut.

“Kami berharap adanya keadilan bagi korban. Sebagai sesama perem­puan kami mengutuk keras tindakan yang dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” pa­parnya.

Dia berharap, pihak kepolisian dapat segera menyelesaikan perkara dimaksud dan melanjutkan ke tahap berikutnya hingga ke pengadilan, untuk memberikan keadilan kepada korban tetapi juga memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku.

Selesaikan Secara Hukum

Terpisah Direktur Executive Voxpol Network Indonesia, Adhy Fadly meminta agar kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perem­puan dan anak harus tetap dise­lesaikan secara hukum, dan aparat penegak hukum harus benar-benar konsisten dalam menyelesaikan setiap tindak kejahatan seksual yang terjadi.

Kata dia, kasus-kasus kekerasaan seksual atau pelecehan seksual tidak mengenal kata damai.

“Sudah sepatutnya aparat pene­gak hukum menyelesaikan kasus ini secara terang benderang, apalagi yang diduga melakukan pelecehan adalah seorang pejabat publik sekelas kepala daerah, wah kalau tidak diselesaikan bisa menjadi sebuah preseden buruk bagi birokrasi pemerintah khususnya di Maluku,” ujar dia dalam rilis yang diterima Siwalima, Sabtu (9/9).

Lebih lanjut Adhy Fadhly mengatakan, seiring meningkatnya kesadaran publik dalam hal berani berbicara tentang kejadian yang dialami para korban,maka ini harus diiringi juga kesadaran para aparat berwenang untuk tidak bermain-main dengan perkara pelecehan seksual, sebab ini adalah sebuah kejahatan kemanusiaan.

Dirinya menyayangkan jika kasus ini pada akhirnya akan diarahkan pada jalur Restorative Justice, namun jika ini yang terjadi maka sudah pasti akan bertentangan dengan  UU TPKS.

“Jadi harapan kami atas kasus ini, aparat kepolisian tunduk dan patuh terhadap aturan hukum tersebut, sebab UU TPKS adalah produk hukum yang menjadi pedoman bagi penegakan hukum terkait kekerasan dan pelecehan di berbagai ruang dan berbagai modus,” katanya.

Adhy Fadhly menambahkan, bahwa yang terjadi adalah sebuah dugaan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan seorang pejabat publik, maka negara harus tampil dengan produk hukumnya yang mana wajib ditaati oleh aparat berwenang dalam hal ini Kepolisian Daerah Maluku yang menangani perkara tersebut.

Dia mengingatkan bahwa kejaha­tan kekerasan maupun pelecehan sexual bukan delik aduan, atau delik biasa atau delik murni.

“Jadi, meskipun kasus ini berakhir damai, seperti informasi yang sudah kami dengar, tetap saja proses hukumnya harus tetap dilakukan atau berjalan. Parahnya jika kasus­nya sampai dihentikan akibat ada­nya kesepakatan damai, bisa saja sipelapor yang dalam kasus ini ada­lah korban bisa dijadikan tersangka dengan dugaan pembuatan laporan palsu yang mana dapat dijerat dengan hukuman 1 tahun 4 bulan berdasarkan pasal 220 KUHP,” tandasnya.

Ditambahkan, pihak kepolisian harus extra, sebab yang dikha­watirkan biasanya para saksi yang akan dipanggil tidak mau hadir, mungkin disebabkan oleh adanya tekanan atau alasan lainnya.

“Ini yang harus dikawal dan diberi perlindungan terhadap saksi dan korban,” tambahnya.

Jika merujuk pada amanat konstitusi yang tertuang pada UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, khususnya Pasal 23 yang menegaskan; tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.

Sedangkan pada Pasal 76D UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, jo Pasal 6 Ayat (1) jo Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan tegas menyatakan, bahwa persetubuhan terhadap anak atau pelecehan seksual secara fisik terhadap anak, bukanlah delik aduan, tetapi delik biasa.

“Jadi, jika laporan itu dicabut pun, aparat kepolisian wajib melakukan proses penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut. Prinsipnya kasus ini harus diproses tuntas,” tegasnya.

Sejak kasus ini bergulir hingga saat ini Hanubun belum bisa dikonfirmasi. Siwalima sudah berulang kali coba menghubunginya melalui pesan tertulis WhatsApp dan sambungan telepon, namun belum memperoleh balasan hingga berita ini naik cetak. (S-26/S-28)