PRESIDEN Joko Widodo dan jajaran pemerintahan sejak awal periode pertama kekuasaan hingga memasuki periode kedua, menaruh perhatian besar terhadap masalah korupsi. Media massa pun tak lelah mengangkat masalah tersebut melalui pemberitaan. Tujuannya, pemerintah dan semua pihak terlibat mencegah. Toh, perilaku korupsi seolah tetap setia. Korupsi dan upaya  pemberantasannya tidak pernah tanggal. Hal itu mengindikasikan bahwa korupsi seolah membudaya dan sistemis. Ironis memang. Negara yang begitu menjunjung tinggi nilainilai luhur sebagai azasnya justru menjadi lahan subur korupsi. Korupsi begitu mengakar dalam sistem dan pola kehidupan sehingga sulit diberangus. Membudayanya korupsi mengindikasikan bahwa pemberantasannya bukan perkara remeh. Eksisnya KPK seolah bukan jaminan punahnya korupsi. Masyarakat pun hanya bisa berharap, lembaga antirasuah itu tidak kekurangan daya menangkap dan mengadili koruptor demi tegaknya wibawa negara dan meningkatnya kesejah­teraan rakyat.

Mengatakan bahwa korupsi telah membudaya secara sistemis, identik dengan menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan taktis dari orang-orang yang mahir berstrategi. Dorongan egois Para koruptor merupakan pelaku dan sosok rasional sekaligus egois. Maksimalisasi keuntungan dari tindakan korupsi merupakan sasaran taktis-strategis pelaku akibat dorongan-dorongan egoistis dalam diri. Mereka mengetahui persis sanksi-sanksi hukum yang akan diterima, tetapi egoisme dominan ketika sedang berstrategi memperkaya diri melalui korupsi. Rasionalitas yang dipakai bukanlah rasionalitas untuk menangkap makna, melainkan rasionalitas instrumental. Pelaku memaksimalkan manfaat dari tindakan korupsi. Itulah dasarnya mengapa sanksi hukum terhadap pelaku tidak cukup membuat jera. Hal ini tejadi karena secara matematis hasil korupsi melampaui beratnya sanksi, apalagi ada remisi atau pengurangan hukuman. Di hadapan para petugas lembaga pemasyarakatan (LP) pun mereka akan berlaku santun hanya demi mendapatkan remisi hukuman, bukan perubahan perilaku. Penyuapan petugas LP bukan tabu bagi mereka. Sebelum ditangkap dan diadili, bahkan setelah menjalankan sanksi hukum pun mereka akan terus bertaktik untuk melakukan korupsi. Itulah dahsyatnya daya jelajah korupsi. Pertanyaan reflektif ialah mungkinkah korupsi dapat dicabut hingga akarakarnya. Kenyataan menunjukkan sanksi hukum tidak cukup berdaya membuat para koruptor jera. Namun, KPK bahkan masyarakat Indonesia tidak perlu enggan untuk bersikap optimistis.

Korupsi bisa diberantas bila akarnya dicabut. Pertanya­annya, di mana akar dan bagaimana mencabutnya? Thomas Hobbes (1588) punya konsepsi jitu mencabut akar korupsi. Kata Hobbes, corruptio atau tindakan pembusukkan itu merupakan ‘penyakit’ negara yang timbul dari dalam diri manusia. Itulah konsepsi awalnya perihal locus korupsi sebagaimana tertuang dalam De Homine (1658) dan Leviathan (1651), khususnya Bab XXVII, yang di dalamnya ia men­deskripsikan korupsi sebagai virus yang mematikan atau bubarnya negara dalam konteks politik. Pada konteks itu korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Ada tiga jenis virus yang mematikan itu, yakni korupsi yang dilakukan masyarakat, aparatus negara, dan aparatus penegak hukum. Ia menyebut ketiga jenis korupsi ini sebagai cognitive corruption yang pada dasarnya merupakan tindakan pembusukan karena memerdaya orang lain untuk kepentingan diri atau kelompok yang pada gilirannya akan merusak seluruh tanatanan masyarakat. Kenyamanan hidup bersama terganggu dan kesejahteraan umum masih terus berupa rangkaian kata dalam janji. Bagaimana tindakan pembusukan itu terjadi? Dengan gaya seorang empiris-materialistis, Hobbes mendeskripsikan hakikat dan mekanisme korupsi. Secara hakiki, manusia ialah gerakan. Gerakan di dalam diri manusia ada yang bersifat vital karena menandai kehidupan dan ada juga yang bersifat volunteer karena berfungsi untuk menjaga agar gerakan vital tetap berlangsung dalam diri manusia karenanya merupakan gerakan yang disengaja. Gerakan-gerakan itu berlangsung secara mekanis. Lebih dari bersifat mekanis gerakan volunteer selalu mengikuti dorongan hati. Dari sanalah ia mendalilkan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh dorongan yang sedang paling kuat di dalam hatinya ketika hendak melakukan sesuatu.

Pada ranah itulah Hobbes yang juga pelopor psikologi modern menem patkan hasrat sebagai elemen penciri hakikat manusia sebagai makluk hasrat. Dari saat ke saat, manusia selalu berhasrat. Yang paling dihasrati setiap manusia ialah terus hidup dengan nyaman. Apakah ada orang yang ingin hidup menderita? Pasti tidak ada. Itulah sebabnya ketika berhadapan dengan sesuatu yang tampaknya menjamin keberlangsungan dan kenyamanan hidup, hasrat akan meningkat menjadi nafsu. Dalam konteks itulah korupsi ada dan terjadi. Korupsi muncul dari dorongan untuk hidup dengan nyaman. Hasrat dan nafsu untuk hidup lebih dan lebih menjadi motif terjadinya korupsi.

Ketika ada objek dan kesempatan, hasrat dalam diri makhluk taktis-strategis akan menguat menjadi nafsu untuk melakukan korupsi. Takut mati, paling kurang takut menderita berubah menjadi dorongan yang paling kuat di dalam dirinya. Saat itulah korupsi mendapatkan ruang dan kalau terjadi akan sulit untuk dihentikan. Pertanyaannya, dapatkah korupsi dihentikan? Untuk pertanyaan seperti itu Hobbes akan menjawab, tentu bisa! Bagaimana caranya? Resep manjur Secara esensial, hukum merupakan perintah negara untuk ditaati. Sebagai perintah, hukum bersifat koersif. Paksaan tersebut efektif karena disertai sanksi-sanksi yang dijalankan secara ketat, pasti, dan adil karena tujuan hukum memang untuk menjamin nilai-nilai yang paling vital untuk kehidupan bersama. Untuk itu, ketentuan-ketentuan hukum semestinya dirumuskan selain secara jelas juga harus secara tegas. Lebih dari itu, sebelum ketentuan-ketentuan hukum itu diberlakukan wajib disosialisasikan kepada masyarakat untuk mendapatkan penerimaan dan pengakuannya. Dalam alur pemikiran ini hukum bersifat zero tole rance. Ketentuanketentuannya tidak memberi sedikit pun celah untuk dilanggar oleh manusia-manusia taktis-strategis dan egois.

Baca Juga: Pengalaman Covid-19 di AS, Analisis untuk Indonesia

Ciri hukum seperti itu tidak memberikan ruang tumbuh bagi korupsi dalam masyarakat. Andai kata ada makluk taktis-strategis dan egois yang telah melakukan korupsi sebelum ketentuan-ketentuan hukum tersebut dibuat dan diberlakukan, atas nama keadilan hukum, orangorang tersebut akan dikenai sanksi secara tegas dan pasti. Fungsi edukatif hukum pun menguat. Ketegasan, kepastian, dan penerimaan masyarakat terhadap ketentuanketentuan hukum, selain menutup segala kemungkinan untuk korupsi, juga menyadarkan masyarakat untuk menata hasrat-hasrat dalam diri mereka. Itulah cara Hobbes dan kaum Hobbesian menabukan larangan sekaligus mencabut korupsi secara me-radix. Hanya dengan cara seperti itu negara, dalam hal ini pemerintah menjadi kukuh dan tak terbantahkan karena masyarakat benar-benar terlindungi, dibela, dan ditingkatkan kesejahteraan hidupnya. Gagasan Hobbes tentang korupsi dan cara mengatasinya merupakan salah satu bagian kecil dari konsepsinya tentang negara yang kukuh dan tak terbantahkan atau Leviathan.

Sebuah konsepsi yang keras sehingga belum ada negara yang secara terang-terangan mengklaim menerapkan konsepsi tersebut. Meskipun demikian, secara banyak pemimpin negara semenjak abad ke-17 menerapkan konsepsi tersebut secara diam-diam, khususnya dalam hal pelarangan dan pencabutan akar korupsi. Hasilnya, ciri-ciri soft states tidak pernah disandang negara-negara tersebut. Soft states index di pengujung 2021 bisa dijadikan rujukan untuk hal itu. Presiden Jokowi tentu lebih tahu memaksimalkan peran institusi penegak hukum, khususnya KPK ditopang komitmen seluruh elemen bekerja keras membantu mencegah dan memberantas tumbuhnya ‘penyakit’ negara itu. oleh: Joseph Laba Sinuor Dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta