SETIAP menjelang akhir tahun, manajemen stok beras kembali menjadi isu publik dan sering me­nimbulkan kontroversi terbuka. Secara umum, panen beras musim gadu berakhir pada bulan Oktober sehingga neraca beras Indonesia pada November dan Desember menjadi defisit. Pada 2022, surplus beras Indonesia diperkirakan ‘hanya’ mencapai 1,88 juta ton sehingga dua bulan defisit di atas menjadi sangat krusial dalam manajemen stok beras.

Survai cadangan beras nasional (SCBN) tahun 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sebagian besar (68%) dari stok beras di Indonesia berada di atau ‘dipegang’ oleh rumah tangga (produsen dan konsumen), 11,4% berada di Bulog, 10,7% berada di pedagang, dan sisanya di penggilingan, horeka (hotel, restoran dan katering).

Stok beras yang berada di Bulog pada November 2022 hanya di bawah 700 ribu ton, cukup jauh dari tingkat stok aman sebesar 1,2 juta ton. Walaupun telah diberikan fleksibilitas untuk melakukan pengadaan atau pembelian gabah dan beras petani di atas harga pembelian pemerintah (HPP), realisasi pengadaan Bulog pada Oktober 2022 hanya mencapai 101 ribu ton. Total pengadaan beras Bulog hingga Oktober 2022 tersebut mencapai 814 ribu ton, atau terendah dalam 5 tahun terakhir, bahkan dibandingkan ketika kemarau ekstrem pada 2019.

Dalam kosa kata manajemen risiko sosial-eko­nomi, dan antisipasi laju inflasi tinggi sehubungan dengan ancaman resesi global, kontroversi impor beras kembali mengemuka. Tantangan paling besar adalah bagaimana manajemen stok beras ini tidak mengganggu keseimbangan harga gabah di tingkat petani. Khususnya, pada musim panen raya pada bulan Maret dan April 2023. Artikel ini mencoba memberikan strategi jalan keluar yang tidak mem­berikan dampak buruk bagi ekonomi perberesan nasional dan kebijakan publik yang melingkupinya.

Estimasi surplus beras

Baca Juga: Kesetaraan Hak Berkota Kaum Difabel

Pemerintah Indonesia, secara resmi mengakui metode estimasi produksi beras yang menggunakan kerangka sampel area (KSA), karena lebih objektif jika dibandingkan dengan metode eye-estimate yang sangat tergantung pada kemampuan subjektif petugas lapangan. Senarai data produksi beras bulanan di dalam negeri untuk seluruh daerah Indonesia kini telah secara objektif tersedia dan dapat diakses di BPS sejak Januari 2018 hingga Oktober 2022.

Upaya untuk mencapai kon­sensus data beras ini, harus melalui suatu proses yang panjang sekitar tiga tahun, dan melibatkan banyak ahli dalam berbagai bidang ilmu hingga pada level tertinggi pimpinan negara. Kini, seha­rusnya tidak ada data beras yang berbeda di antara kementerian/lembaga karena menggunakan acuan yang sama sehingga kontro­versi terbuka seperti periode lalu tidak perlu terjadi lagi.

Kalaupun terdapat perbe­daan, hal itu lebih banyak me­nyangkut tafsir atau inter­pestasi dari estimasi produk­si, konsumsi dan surplus be­ras yang dihitung dari selisih produksi dan konsumsi, di­tambah impor beras. Suatu estimasi produksi yang diper­oleh dengan teknik sampling tertentu, pasti menghasilkan margin of error, yang tentu dapat menimbulkan bias pengukuran di lapangan.

Metode KSA melibatkan puluhan ribu petugas lapang yang melakukan pengamatan luas panen menggunakan telepon pintar Android secara serentak di lebih dari 22 ribu segmen sampel padi sawah di seluruh Indonesia. Petugas lapang, mengirimkan potret digital fase masa tumbuh padi dan mengirimkannya ke server data KSA, yang kemudian mengolahnya menjadi estimasi luas panen.

Petugas lapang, juga melakukan ubinan di sekitar lokasi segmen sampel padi untuk mengukur produktivitas padi. Hasil kali data luas panen dan data produktivitas padi ini menjadi estimasi produksi gabah kering panen (GKP), yang selanjutnya dikonversi menjadi gabah kering giling (GKG) dan beras menggunakan Hasil Survai Konversi Gabah ke Beras (SKGB) dan Neraca Bahan Makanan (NBM). Berdasarkan data KSA ini, produksi beras pada 2022 diestimasi mencapai 32,07 juta ton.

Estimasi konsumsi beras dihitung berdasarkan konsumsi per kapita kali jumlah penduduk tengah tahun berjalan. Konsumsi beras per kapita tahun 2018 menggunakan angka rata-rata konsumsi per kapita per provinsi hasil survei bahan pokok (Bapok) tahun 2017. Konsumsi beras per kapita untuk periode 2019-2022 menggunakan rata-rata konsumsi per kapita per provinsi Hasil Susenas 2019-2022 (rumah tangga), dan hasil survei Bapok tahun 2017 (untuk luar rumah tangga).

Jumlah penduduk tahun 2018 menggunakan proyeksi penduduk pertengahan tahun 2018 hasil SP2010, sedangkan jumlah penduduk untuk periode 2019-2020 menggunakan proyeksi penduduk pertengahan tahun 2019-2020 hasil Survei Penduduk Antar-Sensus (Supas) tahun 2015. Jumlah penduduk periode 2021-2022 menggunakan jumlah penduduk bulanan 2021-2022 hasil proyeksi SUPAS 2015. Berdasarkan metode estimasi tersebut, konsumsi beras tahun 2022 diperkirakan mencapai 30,20 juta ton sehingga selisih produksi dan konsumsi beras ialah 1,88 juta ton.

Berdasarkan data Pemberitahuan Impor Barang (PIB) Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, impor beras Indonesia pada tahun 2022 hingga Oktober telah mencapai 301.706 ton dengan nilai impor US$ 138,9 juta atau setara Rp 2,02 triliun. Beras impor yang telah masuk Indonesia selama ini adalah beras khusus atau beras premium karena Pemerintah Indonesia tidak memberikan izin impor beras medium sejak tahun 2018.

Dengan mempertimbangkan volume impor beras di atas, maka stok beras di Indonesia saat ini hanya berkisar 2,2 juta ton. Tantangannya adalah seberapa likuid stok beras tersebut mampu meredam risiko kenaikan harga beras, jika terdapat gangguan produksi dan spekulasi dari para pedagang, yang mencoba meraih keuntungan upnormal sebelum panen raya pada bulan Maret-April 2023.

Rekomendasi kebijakan

Berikut rekomendasi kebijakan manajemen stok beras dan ekonomi perberasan secara umum untuk berkontribusi pada ekonomi pangan pokok yang lebih stabil dan terjangkau. Perta­ma, Indonesia perlu mening­katkan keamanan stok atau cadangan pangan nasional, untuk mendukung pencapai­an kemandirian dan kedau­latan pangan, sebagai­mana diamanatkan dalam Un­dang-Undang 18/2022 tentang Pangan. Peran sek­tor swasta dan badan usaha milik ne­gara lain, seperti BUMN Holding Pangan (ID-Food), perlu ditingkatkan secara signfikan agar beban manajemen stok oleh Bulog dapat dikurangi.

Kedua, konsep Cadangan Beras Pemerintah (CBP) perlu diperluas, dan meli­batkan pemerintah daerah dan badan usaha lain. Ka­rena, beras sebagai pangan pokok tetap sangat dibutuh­kan untuk tindakan kedaru­ratan dan tanggap bencana. Idealnya, dukungan pangan lokal dan sumber karbohi­drat lain tentu akan ber­manfaat, jika dapat disimpan dan disediakan secara mudah dan efisien.

Ketiga, percepatan peng­anekaraman pangan berba­sis potensi dan kearifan lo­kal, akan menciptakan dam­pak berganda (multiplier effect) bagi kemajuan ekonomi pa­ngan lokal, dan mengurangi tekanan ketergantungan bagi konsumi beras.  Oleh:  Bustanul Arifin Guru Besar Unila, Ekonom Indef, Ketua Forum Masyarakat Statistik (*)