Corona,Oh Corona. Nama virus yang begitu indah. Sayangnya, Corona sudah  membuat dunia ini tidak lagi menjadi indah. Dalam abad digital ini ketika dunia  bergerak dengan begitu cepat, tiba tiba harus berhenti seketika. Semua kegiatan sehari hari manusia tersentak tak bergerak dan tak dinamis lagi. Dari pergi bekerja & berkarya, bersekolah, berbelanja, semuanya. Segenap aktivitas manusia di luar rumah harus berhenti tanpa terkecuali. Mulai dari orang berada sampai masyarakat awam. Virus ini menyerang orang tanpa pamrih.Tanpa memandang kelas,ras, suku, agama dan latar belakang sosial. Dari pejabat penting bahkan Presiden sampai rakyat jelata. Semua terinfeksi  dengan virus Corona, bahkan pada kasus kasus tertentu sampai merenggut nyawa.

Dunia yang begitu semarak dengan segala aktivitas manusia di dalamnya. Mendadak menjadi sunyi senyap, sepi membisu. Bahkan pada beberapa negara, terdapat beberapa kota yang nampak seperti kota mati tak berpenghuni. Ketika masa Lock Down diberlakukan, kehidupan ekonomi jadi ambruk, dimensi sosial seakan akan terbang tak berbekas. Secara keseluruhan, kehidupan manusia langsung terhempas hampir kandas.

Tentunya, diantara kita tak ada yang mem­bayangkan ketika menutup tahun 2019, akan terjadi musibah dahsyat menimpa kita semua hingga terhempas di tahun yang baru 2020. Bahkan terjadinya virus ini boleh dikata, masih di awal tahun, tepatnya sekitar akhir Februari 2020. Ketika pertama kali virus Corona terjadi di Cina, banyak negara langsung mengantisipasinya. Tetapi virus yang “tidak bersayap dan berkaki ini” dapat segera menyebar pada hampir seantero negara di muka bumi ini. Dari negara yang sangat maju sampai pada negara yang masih berkembang bahkan terbelakang.

Pada mulanya, diprediksikan bahwa benua Afrika tidak akan terjangkiti dengan virus Corona, karena suhu udara di sana yang sangat panas, hampir menyentuh 40’ Celcius. Ternyata, fakta berkata lain, Corona menembus 5 benua, hampir 210 negara. Hanya daerah / pulau terasing, terisolir, pedalaman, yang tidak terinfeksi dengan virus dahsyat ini. Tak ada kekuasaan pemerintah atau apapun yang dapat mencegah menyebarnya virus Corona.

Ketika virus ini merebak, secara langsung semua sendi sendi kehidupan manusia terhenti dengan sendirinya. Tidak tersedia persiapan & antisipasi, tidak ada kesepakatan, bahkan be­berapa pemerintahan negara sepertinya “limbung” untuk mengatasi kondisi darurat ini. Bahkan beberapa negara sedang berkembang mau tidak mau mengatasi semua kondisi darurat ini dengan apa adanya karena kurang berkoordinasi, terkesan sedikit semrawut. Akhirnya, dengan terseok seok menjalaninya,  masa pandemi Corona ini sudah berjalan selama setahun. Setahun tentunya bukan waktu yang singkat.

Baca Juga: Digitalisasi Pendidikan

Sebagian masyarakat Indonesia merasa jenuh sekali karena hampir setahun seperti orang dalam “tahanan kota”. Tidak dapat bepergian ke luar kota, luar pulau, apalagi ke luar negri. Tetapi syu­kurlah, kondisi ini berangsur angsur semakin membaik, sebagian masyarakat mulai dapat beraktivitas seperti dulu. Semua pihak bernafas lega dengan perkembangan ini.

Bahkan perkembangan ini di dukung dengan langkah pemerintah Indonesia yang menjalankan program vaksinasi terhitung awal Februari dalam tahun ini. Dimulai dari Presiden kita, beserta seluruh menteri. Setiap  tenaga kesehatan yang diprioritaskan terlebih dahulu, lanjut bagi TNI –POLRI. Kemudian bergeser kepada segenap pelayan dan pengabdi masyarakat, seperti guru—dosen, PNS dari semua departemen. Dari depar­temen Perekonomian sampai Pendidikan, semua pihak merasakan perlunya vaksinasi untuk me­ngantisipasi dampak dari meraja lelanya virus ini.

Kondisi Corona ini bukan hanya menghentikan roda perekonomian, bahkan sistem Pendidikan di Indonesia, langsung terhenti dengan sendirinya. Pemerintah, dalam hal ini Mendiknas segera mengeluarkan Peraturan Menteri. Yaitu tidak dilaksanakannya Ujian Nasional semua siswa dari Sabang sampai Merauke, pada jenjang kelulusan SD —SMA. Hal ini disebabkan karena tidak berjalannya proses belajar mengajar secara wajar selama bulan Februari —April. Sehubungan dengan terjangkitnya virus ini maka diadakanlah proses belajar mengajar secara on line / virtual.

Penulis mencoba menjabarkan permasalahan PBM (proses belajar mengajar) selama satu tahun belakangan ini, secara khusus yang terjadi di kota Ambon— bahkan Propinsi Maluku pada umumnya. Selama satu tahun terjangkitnya Corona, dunia pendidikan kita mengenal  PBM (proses belajar mengajar) secara daring (on line / virtual ) dan Luring. Makna Luring yaitu guru pergi ke sekolah seminggu dua kali dan menunggu para orang tua murid datang untuk mengambil modul / bahan / materi pelajaran.

Kemudian minggu berikutnya orang tua membawa hasil yang telah dikerjakan siswa untuk diserahkan kepada guru mata pelajaran. Apakah siswa tsb mengerjakan tugas sendiri ? dibantu kakak atau tetangga dan kerabatnya ? Lebih parahnya, bisa jadi orang tua lah yang mengerjakan tugas tsb !!

Pembelajaran Luring menyingkap beberapa kelemahan seperti : siswa banyak bermain, kurang serius atau asal mengerjakan PR, asal kumpul tugas, mereka bergantung pada Google sistem maupun orang tua.  Jawaban yang benar apakah dapat mewakili feed back sebagai penguasaan materi ? Tentunya, kita dapat memperkirakan bahwa pembelajaran ini kurang efektif.

Jadi kemurnian nilai dan penyerapan materi pelajaran sangat diragukan proses pemerolehannya !! Evaluasi PBM sulit dilakukan pada tiap akhir penyampaian dalam satu bab materi pelajaran.

Pada situasi tertentu, terdapat guru yg mendatangi salah satu rumah murid pada suatu lokasi, dengan mengumpulkan 2 –5 orang murid yang rumahnya berdekatan.  Untuk melaksanakan PBM secara langsung dan bersama sama tetapi dalam jumlah siswa yang sedikit, maksimal 5 orang saja. Sayang­nya, sering kali ketika guru datang, ada murid yang tidak siap mengikuti PBM. Mereka masih asyik bermain di tempat yang jauh, ada yang sedang ke tempat lain untuk menengok kerabat, dll. Apakah PBM seperti ini dapat dikatakan mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal ?

Fakta berkata lain, tentang pelaksanaan PBM on line. Sering kali mengha- dapi beberapa kendala seperti masalah jaringan, uang pulsa, dll. Pemerintah dalam hal ini Diknas langsung bergerak cepat dengan menyediakan pulsa data berkapasitas mega bait yang besar untuk mencukupi kuota pulsa selama PBM virtual per tri wulan.

PBM virtual dibatasi oleh tersedianya waktu. Ketika pembelajaran dimulai, sering kali belum siap meng­ikutinya. Waktu tetap bergulir, akhirnya PBM hanya menggunakan maksimal 40 menit, setelah sekitar 10 menit bahkan lebih untuk menunggu siswa siap bergabung secara virtual. Pembelajaran daring diha­rapkan adanya kejujuran dari siswa dalam menger­jakan tugas, ulangan harian, maupun ulangan mid dan akhir semester. Akhirnya, dapat di simpulkan bahwa pembelajaran daring juga menunjukkan feed back / hasil belajar yang kurang maksimal.

Jadi baik pembelajaran daring maupun luring, keduanya tidak menunjukkan hasil yang optimal, PBM tidak menjangkau pencapaian pembelajaran.

Sedikit bergeser, kita  mencoba mengamati secara pintas apa yang terjadi di luar kota Ambon, yaitu propinsi Maluku secara umum. Walaupun di daerah Maluku Barat Daya, Maluku Tenggara sudah mempunyai akses transportasi udara, laut yang lancar, tetapi virus ini kurang me­nyebar. Hal ini disebabkan se­dikitnya orang yang berdatangan kesana. Sedangkan, pulau pulau kecil terpencil, terbelakang, ter­luar, yang tidak mempunyai fasilitas Bandar Udara sebagai sarana datang dan perginya orang berdagang / berinteraksi dengan dunia luar, maka daerah tsb akan menjadi daerah yang lebih aman untuk terjangkitnya virus ini.

Tentunya, di daerah tersebut pastilah kurang atau bahkan tidak terjadi merebaknya virus ini. Mu­dahan, banyak tenaga pendidikan tidak menjadikan Corona sebagai alasan untuk menghentikan roda pendidikan di pulau pulau mereka. Seperti diketahui, selama ini dunia pendidikan di sana bergerak perlahan untuk meniti pada ke­ma­juan. Itulah sebabnya, Mendik­nas, Bpk Nadim Karim mengins­truk­sikan bagi penduduk di daerah zona hijau ( daerah terpecil, pulau terasing & terluar) untuk tetap menyelenggarakan pendidikan secara tatap muka  / seperti biasa.

Semua hal uraian diatas, men­jadi suatu keprihatinan yang cu­kup besar dalam dunia pendidikan selama masa pandemi Covid 19.  Keprihatinan yang sudah dijalani selama setahun, mau tidak mau berlalu tanpa solusi konkrit dari pihak pihak yang terkait. Banyak orang tua yang mengeluh, lebih baik anak anak mereka sekolah seperti biasa. Karena orang tua tidak perlu turut campur terlalu banyak dalam penyelesaiaan tugas dan ulangan.

Untuk mereka yang berada, mereka meminta kerabat atau tetangga yang berkompeten memberikan les tambahan pelajaran sebagai so­lusi praktis. Sedangkan bagi me­reka yang ekonominya pas pasan, orang tualah yang me­nger­jakan tugas dan ulangan tsb.

Keprihatinan ini diperparah dengan sikap sebagian kecil orang tua yang bersikap acuh / tak mau tahu dengan kondisi anak­nya. Anak tetaplah anak, mereka lebih memilih bermain, daripada pusing / lelah berpikir menger­jakan tugas & ulangan. Orang tua tidaklah memandang lebih jauh bahwa semua materi pelajaran di saat ini sangat berelasi dengan materi nanti ketika mereka naik kelas dan naik jenjang. Mereka beranggapan, toh tanpa pela­jaran, mereka masih dapat dinya­takan naik kelas & lulus. Pemak­luman dalam dunia pendidikan terus menerus ada. Apalagi kalau pihak Kepala Sekolah, guru mata-pelajaran masih berkerabat. Terdapat sikap malu, jang bikin mereka kecewa atau marah, dll.

Apakah kita semua juga bersi­kap acuh  melihat kondisi yang memprihatinkan ini ? Tidak ada sikap keseriusan dari pihak orang tua untuk benar benar memper­siapkan masa depan mereka lewat dunia pendidikan. Seja­lan­nya aja !!!.  Selaku ibu lebih disi­bukkan dengan tugas dan pe­kerjaan rumah tangga, sedang­kan Ayah sibuk bekerja di luar rumah. Urusan anak identik dengan urusan domestik / disebut sebagai urusan wanita.

Maka siapa yang harus mem­perhatikan waktu belajar anak anak kita. Tak  ada alias kosong. Jadi mau dibawa kemana pen­didikan anak kita ? Adakah dian­tara kita yang mampu menja­wabnya ? Tetapi mengapa kita masih terus bersikap acuh ?

Ketika kondisi ini tidak terjawab ? Apakah boleh kita bertanya pada rumput yg bergoyang !!!( Debora Harsono Loppies S.Pd. M.Pd, Dosen FAKES– UKIM)