PRAKTIK berbahasa terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Penggunaan bahasa untuk mengungkapkan ide juga makin beragam, mulai dari pengungkapan ide secara langsung dan mendetail, sampai pada pengungkapan ide secara tidak langsung dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu. Penggunaan bahasa tersebut tidak hanya dilakukan secara lisan, tetapi juga melalui berbagai media, termasuk media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan TikTok.

Instagram merupakan salah satu media sosial yang sampai saat ini masih digandrungi oleh masyarakat, terutama kaum muda. Melalui Instagram, berbagai informasi dapat menyebar dengan cepat dan masif, termasuk penggunaan bahasa. Hal ini juga berdampak pada kreativitas berbahasa dari pengguna media sosial tersebut. Salah satu bentuk penggunaan bahasa yang sering kita jumpai di media sosial adalah konten pelesetan.

Gejala pelesetan dalam penggunaan bahasa bukanlah hal baru. Terdapat beberapa penelitian yang sudah membahas mengenai pelesetan di media sosial. Dalam sebuah artikel berjudul “Penggunaan Pelesetan pada Video di Media Sosial TikTok” (dimuat dalam Journal of Health, Education, Economics, Science, and Technology [J-HEST], 2023), Chaerati Puspita Sari, dkk. menjelaskan jenis-jenis pelesetan yang ditemukan pada konten video di TikTok serta fungsinya sebagai hiburan, olok-olok, sindiran atau celaan, dan protes sosial. Sementara itu, Gres Grasia Azmin dan Kiftiawati dalam penelitiannya yang berjudul “Plesetan Berbahasa pada Stiker Media Percakapan Daring Whatsapp” (Prosiding Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Seni, 2021) juga mengungkap bentuk-bentuk pelesetan yang digunakan pada stiker Whatsapp. Manfaat pelesetan bahasa pada stiker tersebut adalah menciptakan keakraban melalui humor yang disajikan sehingga pengungkapan perasaan menjadi lebih menarik dan tidak frontal.

Pada dasarnya pelesetan merupakan cara penyampaian gagasan melalui permainan bahasa. Pelesetan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai hasil memelesetkan. Memelesetkan berarti ‘membuat sesuatu di luar yang sebenarnya’. Menurut pendapat Sibarani yang dikutip oleh Ahmad Muzaki, dkk. dalam artikel “Tipe-tipe Plesetan Bahasa pada Kemasan Minuman Aqua” (Jurnal Deiksis 2018 hlm. 3), pelesetan bahasa berarti unsur-unsur bahasa yang digelincirkan atau dibuat tidak sesuai dengan sasaran semula atau sasaran yang seharusnya dituju. Sibarani juga mengelompokkan pelesetan dalam tujuh tipe berdasarkan tingkat kebahasaan, yaitu (1) plesetan fonologis (bunyi), (2) plesetan grafis (huruf), (3) plesetan morfemis (leksikon), (4) plesetan frasal (kelompok kata), (5) plesetan kalimat (ekspresi), (6) plesetan ideologis (semantis), dan (7) plesetan diskursi (wacana).

Fungsi utama yang menonjol dari penyampaian gagasan melalui pelesetan adalah untuk menimbulkan efek lucu. Untuk menimbulkan efek lucu tersebut, jenis pelesetan yang sering digunakan adalah pelesetan fonetis. Menurut Sibarani, pelesetan fonologi (bunyi) adalah pelesetan sebuah fonem atau lebih dalam leksikon (dikutip oleh Gres Grasia Azmin dkk. dalam artikel berjudul “Plesetan Berbahasa pada Stiker Media Percakapan Daring Whatsapp”, 2021). Pada pelesetan fonologis, biasanya kata-kata yang akan dipelesetkan adalah kata-kata yang memiliki kesamaan atau kemiripan bunyi, seperti frasa katak beradik yang merupakan pelesetan dari kakak beradik. Penggunaan kata yang memiliki kesamaan bunyi vokal dengan makna yang sangat berbeda tersebut tentu saja akan menimbulkan kelucuan sehingga akan menarik perhatian dari audiens. Pada beberapa acara komedi di televisi, pelesetan masih sangat sering digunakan. Pelesetan yang disampaikan secara lisan memang sangat unik karena penyampaiannya juga dibarengi dengan gestur-gestur yang memperjelas pelesetan tersebut. Dengan demikian, selain pilihan kata yang menggelitik, perhatian audiens juga akan tertuju kepada gestur yang dipertontonkan. Jika kedua unsur itu dipadukan, audiens akan lebih cepat menebak dan memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan.

Lalu, bagaimana dengan pelesetan di media sosial, khususnya di Instagram? Apakah perbedaan media memengaruhi bentuk plesetan yang digunakan?

Tidak dapat dimungkiri, media sosial seperti Instagram juga memberikan keleluasaan terhadap munculnya berbagai kreativitas dalam penggunaan bahasa. Banyak istilah baru yang muncul dari aktivitas warganet di media sosial. Pelesetan merupakan salah satu contohnya. Sama halnya dengan pelesetan yang disampaikan secara lisan, kebanyakan pelesetan di media sosial juga menggunakan kata-kata yang memiliki kesamaan bunyi. Perbedaannya terlihat pada cara penyampaiannya. Di Instagram, biasanya orang yang mengunggah pelesetan menggunakan gambar untuk mempertegas hal yang dipelesetkan. Selain itu, audiensnya juga berbeda. Di media sosial seperti Instagram, sasarannya adalah warganet sebagai pembaca.

Sebuah unggahan dari akun @officialrinduu berbunyi, “Setelah Senin itu apa sih? Selesai yah? Besoknya ragu? Abis itu nangis?” Jika kita perhatikan, pelesetan ini masih menggunakan pelesetan fonetis, dengan menyubtitusi bagian yang seharusnya dengan kata lain yang memiliki kesamaan bunyi, tetapi berlainan makna. Pelesetan ini, tidak disertai dengan gambar, tetapi dituliskan dalam sebuah rangkaian kalimat tanya. Kata-kata yang dipelesetkan, yaitu Selasa menjadi selesai, Rabu menjadi ragu, dan Kamis menjadi nangis. Contoh lain adalah unggahan dari akun @ambon.bastory yang berbunyi, “Kopi seng pake gula rasa apa e? Pamit ka?” Kata pamit digunakan untuk memelesetkan kata pahit yang memiliki kesamaan unsur bunyi vokal di dalamnya.

Pelesetan-pelesetan yang diunggah dalam akun @officialrinduu tersebut mendapat tanggapan pada kolom komentar. Komentar-komentar yang muncul juga mengikuti pola pelesetan yang sama. Akun @algham_elqiyarash menulis komentar, “Pengobatan tradisional pakai jarum, Akumundur kan?” dan @nitaapjr menulis, Tempat yg buat ngelukis, kandas bukan sih?Kemudian, akun @srhrtni13 mengomentari dengan menulis, “Air yang ada di jalan berlubang itu apa sih namanya? Kenangan yah?”

Bentuk-bentuk pelesetan yang muncul pada akun-akun Instagram di atas merupakan bentuk pelesetan fonologi (bunyi) yang memanfaatkan bentuk permainan bunyi pada permainan bahasa. Permainan bahasa yang digunakan adalah permainan kesamaan bunyi. Bentuk pelesetan yang memanfaatkan kesamaan bunyi lebih mudah diterima dan mudah dipahami sehingga akan mempermudah munculnya ide dalam merespons bentuk pelesetan yang disajikan kepada audiens/pembaca. Munculnya respons yang beragam terhadap bentuk pelesetan tersebut menunjukkan adanya kreativitas dalam penggunaan bahasa yang begitu dinamis. Permainan bahasa seperti pelesetan ini tentu saja akan terus berkembang dan sewaktu-waktu akan terus muncul seiring dengan perkembangan zaman. Oleh: Wahyudi Pasapan, S.S.Widyabasa Ahli Pertama Kantor Bahasa Provinsi Maluku. (*)