DEKLARASI Anies Rasyid Baswedan (ABW) sebagai calon presiden Partai NasDem menyisakan banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat awam dan elite politik negeri. Sebagai partai dengan garis ideologi nasionalis-demokrat, tentu saja ada banyak kritik terhadap Partai NasDem yang seolah melupakan stigmatisasi sebagai partai penista agama, seiring dengan terpilihnya ABW sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2017. Namun, garis politik Partai NasDem yang teguh dalam memahami lanskap kebangsaan yang sangat beragam, menjadi alasan mengapa pencalonan ABW menjadi penting untuk meneguhkan paham dan politik kebangsaan yang diyakini Partai NasDem.

Beberapa masalah ke depan yang perlu diantisi­pasi Partai NasDem sebagai partai politik (parpol) pengusung ABW, ialah melakukan analisis terhadap sinkronisasi masalah sosial politik yang timbul akibat polarisasi politik identitas yang dikecam semua pihak. Artinya dibutuhkan analisis yang komprehensif terha­dap bangunan sistem politik dan demokrasi yang kini berlangsung di Indonesia, serta mencari masalah substansial yang menjadi akar penyebab terben­tuknya polarisasi di tengah masyarakat. Kebutuhan ini bukan hanya berlaku untuk tujuan strategis masa kampanye nanti, melainkan juga untuk kebutuhan melakukan restorasi di bidang kebijakan publik yang lebih baik jika ABW terpilih sebagai Presiden RI.

Hubungan agama dan partai

Berkaca pada pengalaman Mesir tentang bagai­mana politik dan agama bersinggungan sekaligus bersitegang seakan tiada henti hingga saat ini, sistem multipartai yang bersinggungan erat dengan ideologi keagamaan di Indonesia jelas harus menjadi per­hatian Partai NasDem dan ABW. Para tokoh pemikir muslim sejauh ini selalu berusaha menginfus politik multipartai yang terus berubah dengan keyakinan dan ajaran tertentu dari khazanah agama.

Hal itu dapat dipandang sebagai solusi terhadap dua tantangan utama dalam agenda pemikiran Islam modern. Yang pertama ialah kemungkinan aga­ma hanya menyibukkan diri pada soal-soal keyakinan dan kehidupan pribadi pengikutnya. Yang kedua kemungkinan kehidupan sosial-politik yang menye­diakan peran sempit bagi agama.

Baca Juga: Penggunaan Kekerasan dan Gas Air Mata di Kanjuruhan

Akan tetapi, persoalan yang sangat musykil ialah menelusuri beberapa implikasi solusi di atas bagi kehidupan politik masyarakat. Adagium bahwa ‘Islam tidak memisahkan agama dan politik’, tidak ada tem­bok yang memisahkan kawasan agama dan kawa­san politik tampaknya harus ditafsir ulang mengingat polarisasi ideologis tetap berlangsung di tengah masyarakat. Persoalannya kemudian ialah bagai­mana melindungi kawasan agama dari penyusupan-penyusupan yang tidak diinginkan.

Sebagai contoh, bagaimana agama melindungi diri dari keputusan kelompok mayoritas di parlemen, pengurus partai, dan pejabat-pejabat pemerintahan? Apa saja biaya yang harus dibayar pejabat-pejabat publik karena harus berbicara dan menangani isu-isu politik kepartaian yang telah menjadi sarat dengan komitmen atau solidaritas dan emosi keagamaan? Di sinilah terletak paradoks yang perlu diantisipasi, yakni agama yang ingin selalu relevan dalam politik kepartaian dan komunitas politik akan kesulitan melindungi otonominya.

Masalah lainnya ialah bagaimana mengurangi beban kawasan publik dari masalah-masalah yang sangat sulit, dan kadang-kadang tidak mungkin, dirundingkan atau dikompromikan. Kawasan politik, antara lain, ialah kawasan perundingan dan kom­promi. Masalah-masalah yang sarat dengan keyaki­nan keagamaan sering kali sulit atau tidak dapat dirundingkan. Selain itu, masalah-masalah agama bisa menjadi sangat divisive ketika pindah dari ruang masyarakat sipil ke tingkat lembaga-lembaga antara atau lembaga-lembaga kenegaraan.

Ini berarti daftar masalah yang harus diselesaikan secara politik akan mengandung banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan secara politik atau secara rasional. Kerja sama sosial dan komunal men­jadi terancam. Inilah sumber paradoks lainnya, yakni politik kepartaian yang bersedia mengurusi prinsip dan tujuan hakiki akan direpotkan dengan perbedaan dan ketidakselarasan yang tidak dapat ditangani atau diselesaikan secara politik-kompromi, perundingan, dan incremental. Otonomi politik merosot ketika otonomi agama demikian pula.

Agama- yakni tokoh, pemikir, dan organisasinya– yang selalu ingin relevan secara politik seringkali merepotkan dua pihak, yakni agama itu sendiri dan politik. Lihatlah pengalamanan masyarakat muslim Timur Tengah sebagai ilustrasi. Setelah dunia Islam menjadi negara-negara merdeka, masalah-masalah konstitusional yang timbul tidak hanya menyangkut penyelenggaraan negara dan pemerintahan, tetapi juga masalah tatanan kelembagaan masyarakat ter­masuk partai politik dan organisasi kemasyarakatan.

Integrasi nasional

Integrasi nasional yang perlu diperhatikan Partai NasDem dan ABW ialah proses tata kelola partai yang seakan tanpa evaluasi sehingga check and balances berjalan tidak normal. Oposisi juga tidak maksimal me­lakukan fungsinya karena tekanan partai pengua­sa dalam penguasaan akses terhadap pengambilan keputusan. Pertanyaannya ialah apakah mungkin sistem multipartai akan merusak sistem demokrasi yang sedang berjalan saat ini?

Jika berkaca pada sejarah, sejak masa kolo­nialisme Indonesia sudah mengenal suasana multipartai, seperti tecermin dalam lembaga legistatif, yaitu Volksraad (Dewan Rakyat) pada masa kolonialisme Belanda dan Chuo Sangi In (Dewan Penasehat Pusat) pada masa Jepang. Dalam alam kemerdekaan, tidak pernah ada periode yang tidak memiliki dewan perwakilan rakyat, terlepas dari sistem politik yang berlaku pada suatu masa, baik parlementer maupun presidensial, demokrasi liberal, ataukah demokrasi terpimpin.

Walaupun lembaga perwakilan rakyat telah lahir dalam dunia politik sejak era penjajahan, beberapa pengamat menunjukkan perkembangan lembaga perwakilan rakyat, baik yang menyangkut fungsi legis­latif, pengawasan, maupun penganggaran belum menggembirakan. Penjelasan yang dikemukakan mengenai mengapa demikian juga beragam.

Pada awal dasawarsa 1960-an, Herbert Feith, penulis The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), mengaitkan lemahnya kekuasaan dewan perwakilan rakyat atau perwakilan politik pada fakta bahwa gagasan mengenai perwakilan politik memang tidak terdapat dalam pemikiran tradisional bangsa Indonesia.

Lembaga ini seperti banyak lembaga lain yang umum didapat dalam negara modern, memang muncul dalam era modern, dan nilai-nilai tradisional yang mendukungnya masih lemah atau belum ada. Selain itu, dijadikannya lembaga perwakilan sebagai arena pertarungan ideologis yang akut juga dilihat Feith sebagai kondisi yang melemahkan DPR.

Dalam pertengahan 1970-an, Donald Emmerson, penulis Indonesia’s Elites Political Culture and Cultural Politics (1976), kembali menunjukkan hal se­nada, yaitu lemahnya lembaga perwakilan politik dan legislatif di Indonesia. Namun, ia mengaitkan dengan fenomena birokrasi. Menurutnya, lembaga perwakilan politik Indonesia belum berkembang baik karena kuatnya birokrasi, bahkan sejak masa prakolonial sehingga lembaga perwakilan yang menurutnya diimpor dari Barat dalam abad XX cenderung menjadi lembaga bawahan yang tunduk kepada kekuasaan eksekutif.

Pengalaman Indonesia sejauh ini menunjukkan sistem multipartai dengan sistem pemilu perwakilan berimbang lebih mampu mencerminkan kekuatan-kekuatan di masyarakat pemilih. Akan tetapi, walaupun representasi yang fair merupakan aspirasi yang terpuji, hal itu jangan sampai mendorong tumbuhnya partai-artai sempalan kecil dalam jumlah yang terlalu banyak dengan kepentingan dan idealisme yang bersprektum luas sekali. Kondisi semacam ini pada umumnya dapat mengakibatkan sulitnya proses legislatif secara keseluruhan. Dalam sistem politik yang memberikan peran memerintah atau governing role bagi partai, hal di atas juga dapat menyebabkan ketidakefektifan pemerintahan.

Karenanya, mekanisme threshold, dan munculnya blok-blok kepartaian dalam DPR melalui proses yang alami dan wajar, diharapkan dapat mengantisipasi efek negatif sistem multipartai. Mekanisme ini juga dapat menjadi kualifikasi yang berarti bagi tuduhan yang sering diungkapkan, yakni bahwa sistem pemilihan perwakilan berimbang mempermudah fragmentasi partai dan kemunculan partai-partai baru.

Pada saat yang sama, keinginan untuk menciptakan pemerintahan atau eksekutif yang kuat dapat dilakukan tanpa harus mengekang munculnya DPR dengan komposisi yang benar-benar mencerminkan keanekaragaman opini dan kepentingan– suatu hal yang sangat alami– di masyarakat.

Mekanisme di atas, selain merupakan kondisi bagi terciptanya sistem perwakilan yang lebih tanggap terhadap dinamika kehidupan politik, juga bisa meredam meluasnya ‘golongan putih’. Ada banyak alternatif partai, dengan variasi yang luas di bidang isu dan prioritas, yang dapat dipilih. Selain itu, sistem perwakilan yang responsif terhadap perubahan dan dinamika sosial lebih mampu merangsang partisipasi rakyat. Berdasarkan pengalaman dan gagasan seperti di atas inilah bangsa Indonesia dapat menyambut situasi multipartai yang terjadi sekarang, sebagai bagian dari proses integrasi nasional.

Rintangan restorasi

Tidak mudah melakukan restorasi sistem politik, ekonomi, sosial, dan agama tanpa perubahan pemerintahan atau rezim. Paling tidak, inilah salah satu kesimpulan penting yang dapat diambil dari kajian-kajian tentang penghentian kebijakan dan program pemerintah. Kuncinya ada pada kata ‘restorasi’ dan ‘pemerintahan’. Inti restorasi ialah memperbarui dan memperbaiki kebijakan, program, atau kebiasaan buruk pemerintahan selama ini.

Restorasi kebijakan publik pada dasarnya menyangkut tugas-tugas menghentikan kebijakan atau praktik yang sudah usang, tidak relevan lagi, atau merugikan dilihat dari kepentingan publik. Meminjam jargon demonstran, kebijakan, atau program yang harus dihentikan ialah yang diwarnai kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Ketika ditanya wartawan beberapa waktu lalu tentang langkah taktis ABW jika terpilih menjadi Presiden, ada dua kata kunci yang saya perhatikan, yaitu change and continuity. Pemerintahan terdiri dari para pengambil keputusan dan perumus kebijakan. Keputusan dan kebijakan tersebut kemudian diterapkan dalam jangka waktu yang lama. Pertanyaannya kemudian ialah apakah kebijakan lama akan dihentikan sekaligus menawarkan program baru? Dalam skema perubahan dan keberlanjutan, restorasi harus menemukan pijakan yang kuat terhadap isu-isu publik yang rentan, bahkan sulit untuk diubah, tetapi harus dimodifikasi secara perlahan.

Apabila restorasi dipahami sebagai persoalan menghentikan kebijakan lama dan menggantinya dengan kebijakan baru, dapat dipahami mengapa pemerintah kerepotan melaksanakan restorasi. Walaupun pemerintah mengaku tidak menentang reformasi, malahan mengaku siap melancarkan reformasi, rintangan yang dihadapi jauh lebih berat dari yang mungkin disadari pemerintah.

Rintangan pertama bersifat psikologis. Sebenarnya, pemerintah secara nominal menguasai organisasi dan administrasi pemerintahan di Indonesia, mulai tingkat pusat sampai tingkat kelurahan. Presiden ialah penguasa kabinet, pemegang mandat MPR, dan pemilik setumpuk kewenangan lainnya. Begitu pula, mesin birokrasi sipil dan militer ada di tangan Kepala Negara. Pendeknya, pemerintah memiliki kekuasaan yang tampak lebih dari memadai untuk mengadakan reformasi.

Lebih lanjut, dilihat dari tuntutan dan aspirasi publik saat ini, tidak ada keputusan atau kebijakan yang lebih populer dari melaksanakan restorasi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Namun, justru di sini letak paradoksnya. Kekuasaan dan kewenangan yang besar berjalan seiring dengan ketidakberdayaan dan impotensi dalam melancarkan restorasi karena salah dalam menelaah dan menganalisis aspek kebijakan publik yang harus direstorasi dalam jangka pendek, menengah, bahkan panjang.

Para pengkritik era reformasi sejauh ini selalu mengecam kebijakan dan praktik yang dinilai korup, pilih kasih, dan berlumur kolusi. Mereka boleh saja menuntut supaya praktik dan kebijakan tersebut dihentikan. Namun, pemerintah sudah lama membanggakan keberhasilannya membangun Indonesia, dengan statistik yang mengagumkan. Pujian dan penghargaan juga berdatangan dari berbagai penjuru.

Karenanya, tidak mengherankan bila pemerintah amat lambat dan enggan mengakui kekeliruan dan kegagalan yang inheren dalam pelaksanaan reformasi. Pemerintah lebih suka menyalahkan El Nino, spekulan, pasar internasional, atau ketidakpastian dunia sebagai penyebab krisis dan kegagalan, daripada meninjau salah urus dan kekeliruan strategi yang selama ini diambil.

Rintangan kedua restorasi akan bersifat keorganisasian. Serupa kekuasaan, organisasi juga mengandung paradoks. Selain dapat menentang perubahan, organisasi juga dapat menyesuaikan diri terhadap situasi dan lingkungan baru. Demikian pula halnya dengan organisasi di dalam dunia politik dan pemerintahan. Pada umumnya, pemerintah secara sadar merancang organisasi, kebijakan, dan program yang menyangkut berbagai segi kehidupan politik dan ekonomi untuk jangka waktu yang lama. Lembaga dan kebijakan tidak dirancang untuk jangka waktu sementara.

Seandainya pejabat-pejabat pemerintah ingin mengadakan restorasi, mereka harus mempertimbangkan kepentingan organisasi dan lembaga yang ada selama ini, beserta klien dan konstituen yang dalam kasus Indonesia sering kali ialah mitra atau famili pejabat. Alhasil, politik birokratis dan keorganisasian tidak kalah penting jika dibandingkan dengan kendala-kendala psikologis yang merintangi reformasi.

Bagi rezim yang sudah lama bekerja, kedua rintangan akan bahu-membahu menentang restorasi di bidang kebijakan publik. Ini turut menjelaskan argumen yang diajukan di atas mengenai keengganan pemerintah mengadakan restorasi selama mereka masih berkuasa. Mampukah NasDem dan ABW mewujudkan perubahan ini? (*)