AMBON, Siwalimanews – Kapolresta Ambon, Kombes Leo Surya Nugraha Simatupang dan Kasat Reskrim, AKP Mido J. Manik bungkam soal dua kasus yang diduga melibatkan Walikota, Richard Louhenapessy.

Dua kasus yang menyita perhatian publik itu, adalah kasus non job pulu­han ASN dan SPPD fiktif tahun 2011.

Kapolres yang hen­dak dikonfirmasi di kan­tornya, Rabu (21/10) tak bisa diganggu, dengan alasan si­buk. “Bapak lagi ada tamu, dan lagi si­buk, nanti ke pak Kasat Reskrim saja,” kata salah satu staf Kapolres, kepada Siwalima.

Namun Kasat Reskrim yang akan ditemui, tak berada di tempat. “Pak kasat lagi keluar,” ujar salah satu anggota.

Dihubungi melalui Whats­App, baik Kapolres maupun Kasat Reskrim tak merespons.  Sikap yang sama juga ditunjukan saat dihu­bungi, Selasa (20/10).

Baca Juga: Pemilik Satu Paket Sabu Minta Keringanan Hukuman

Sementara walikota yang dicegat di Balai Kota soal dugaan adanya intervensi, sehingga kasus non job puluhan ASN dan SPPD fiktif tahun 2011 mandek di Polresta Ambon, balik bertanya, siapa yang melaku­kan korupsi. “Siapa-siapa ASN Pem­kot itu siapa? Siapa yang korupsi?,” tandasnya.

Walikota lalu buru-buru mening­gal­kan halaman kantor, sambil mene­gaskan dirinya tidak tahu soal ada­nya intervensi itu. “Saya nggak ta­hu, saya nggak tahu siapa yang ada indikasi korupsi tu,” tandasnya lagi.

Komitmen Polisi Disoroti

Kredibilitas dan komitmen Pol­resta Ambon dan Pulau-pulau Lease dipertanyakan.

Akademisi Hukum Universitas Pattimura, Reymond Supusepa me­ngatakan, kalau sudah lebih dari dua tahun kasus SPPD fikfif dan non job ASN Pemkot Ambon tanpa keje­lasan, itu adalah kesalahan institusi.

“Kesalahan institusi itu adalah tentang kompetensi dari seorang penyidik yang menangani perkara. Kredibilitas penyidik perlu dipertanyakan, sebab pengusutan kasus tersebut tak kunjung selesai,” tandas Supusepa, kepada Siwalima, melalui telepon selulernya, Rabu (21/10).

Menurutnya, lambatnya pena­-nganan kedua kasus, berarti ada masalah dalam proses penyidikan. Apabila sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan, maka jangka waktu harus diperhatikan oleh penyidik. Kecuali, memang kasus itu masih dalam tahap penyelidikan.

“Karena memang hukum acara pidana itu dikenai asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan untuk proses pidana,” ujar Supusepa.

Menurutnya, pimpinan Polresta Ambon harusnya memberikan kejelasan perkembangan perkara. Sehingga ada kejelasan. Kalau kasusnya tidak ditindaklanjuti lagi, maka penyidik wajib dilaporkan ke Kapolda, Irwasda dan Propam. Hal itu untuk menilai apakah penyidik itu layak atau tidak dalam penanganan perkara itu.

“Supaya bisa diganti orang lain apa itu bisa dipindahkan ke Polda, misalnya karena polres tidak mampu untuk menyelesaikan perkara,” katanya.

Dia mengakui, dalam pena­nga­-nan perkara tidak mudah. Apalagi untuk mendapatkan dua alat bukti kasus korupsi. Namun, kasusnya tetap harus dilanjutkan, apabila sudah di tahap penyidikan. “Per­-kara harus selesai. Tidak bisa diti­-nggalkan seperti itu,” tandas Supusepa.

Praktisi hukum Fileo Pistos Noija mengatakan, kinerja polisi yang menangani dua perkara ini perlu dipertanyakan. Apabila penyidik telah mengantongi hasil audit, mestinya segera menetapkan ter­-sangka. Sebab, proses penanga­nan kasus tersebut juga menyang­kut kepastian hukum seseorang.

“Polisi dalam mengungkapkan kasus itu kan pertama mencari tahu dulu siapa tersangkanya, lalu bagaimana kepastian hukumnya,” kata Noija.

Menurut Noija, polisi harus menjelaskan bagaimana kelanjutan kedua kasus tersebut. “Kalau bukan tindak pidana, maka seharusnya polisi mengumumkan. Sebab masyarakat sudah terlanjur tahu. Anehnya sudah ada kerugiannya, tapi juga belum menetapkan tersangka,” katanya, sembari meminta polisi bekerja secara profesional, prosedural dan transparan.

Praktisi Hukum Nelson Sianressy mempertanyakan kredibilitas penyidik dipertanyakan, sebab penanganan kasus tak kunjung selesai.

“Kalau sudah ada kerugian negara, sudah di tahap penyidikan dan belum diproses, ini patut dipertanyakan kredibilitas penyidiknya,” ujarnya.

Mengendap

Seperti diberitakan, dua kasus yang diduga melibatkan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy mengendap di Polresta Ambon. Dua tahun lebih diusut, tak kunjung tuntas.

Kedua kasus itu, adalah kasus non job puluhan ASN dan SPPD fiktif tahun 2011.

Anggaran sebesar dua miliar dialokasikan untuk perjalanan dinas di lingkup Pemkot Ambon. Dalam pertanggungjawaban, anggaran tersebut habis dipakai. Namun, tim penyidik menemukan 100 tiket yang diduga fiktif senilai 742 juta lebih.

Dalam penyelidikan dan penyidikan, sejumlah pejabat telah diperiksa, termasuk Walikota Ambon, Richard Louhenapessy dan Sekot AG Latuheru. Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) juga sudah dikirim penyidik  ke Kejari Ambon sejak Agustus 2018 lalu.

Hasil audit kerugian negara dari BPK pun sudah dikantongi. Namun anehnya, belum ada satupun yang ditetapkan sebagai tersangka. Pihak Polresta Ambon selalu beralasan, masih menunggu pemeriksaan BPK untuk mengkonfirmasikan hasil audit itu.

Begitupun dengan kasus non job ASN Pemkot Ambon yang dilakukan walikota. Diusut sejak awal Juli 2018, dan sudah naik ke tahap penyidikan, namun didiamkan. Ternyata diduga ada kongkalikong, sehingga berkas dan bukti-bukti kasus ini dihilangkan.

Diduga Aipda Mohamad Akipai Lessy yang saat itu menjabat Kepala Unit Tipikor Satreskrim Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease terlibat dalam penghilangan barang bukti itu.

Kalangan akademisi hukum, praktisi hukum dan pegiat anti korupsi meminta Polresta Ambon bekerja profesional. Jangan hanya mengusut kasus, kemudian didiamkan. Mereka menduga, kedua kasus itu didiamkan karena ada intervensi dari pejabat Pemkot Ambon. (Cr-1)