AMBON, Siwalimanews – Terdakwa Hendra Anggrek melalui pena­sehat hukumnya, Phili­pus Harapenta Sitepu Nico Poltak Sihombing dari Kantor Hukum Hot­ma Sitompoel dan Associates menyebut, dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Aru kabur.

Pasalnya, proyek pus­kesmas Ngaibor ada­lah masalah perdata dan bukan pidana, na­mun dipaksakan JPU ke pidana.

Hal ini disampaikan PH terdakwa dalam sidang eksep­si yang berlangsung di Pe­ngadilan Tipikor Ambon, terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pus­kes­mas Ngaibor pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru Tahun Anggaran 2018.

Dalam dakwaan lanjut Philipus, JPU menyebutkan bahwa sebagai penyedia dalam proyek itu terdakwa tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam kontrak.

Padahal, dalam hal ini, terdakwa adalah penerima kuasa dari PT. Erlo untuk melaksanakan proyek terse­but. Sementara bicara terkait kontrak, hal itu dilakukan antara  perusahaan dengan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru. Untuk itu, ini merupakan pertanggungjawaban perseroan dan bukan persorangan.

Baca Juga: Enam Tersangka Penyelundupan Senpi Masuk Jaksa

“Untuk itu kami menilai bahwa jaksa tidak cermat dalam melihat peran terdakwa.  kemudian terdakwa disebutkan membuat perjanjian dengan PPK dan Kepala Dinas, padahal, yang membuat perjanjian adalah perusahaan. Artinya, hubu­ng­annya apa dengan Keperdataan. Bicara Perdata, berarti didalamnya ada hak dan kewajiban yang tidak terlaksana oleh salah satu pihak, sehingga disebut wanprestasi, nah, wanprestasi inilah yang dinilai JPU sebagai perbuatan pidana, padahal wanprestasi itu adalah perdata, tapi mau digiring JPU untuk pidana, ini dua hal yang berbeda,” ujar PH terdakwa.

Menurutnya, jika JPU berang­gapan ada mufakat jahat antar perusahaan, PPK dan kepala dinas, sehingga perkara ini hendak digiring ke pidana,  maka JPU harus membuktikan benarkah ada mufakat jahat itu. Benar tidaknya Kadis atau PPK mendapatkan sesuatu dari pengusaha/perusahaan.

“Itupun  dalam dakwannya tidak disebutkan sama sekali. Dengan demikian, maka perkara ini murni perdata. Namun dipaksakan oleh JPU untuk pidana.

Terkait anggapan JPU bahwa terdakwa ditetapkan tersangka karena proses pekerjannya yang tidak selesai dan sebagainya, PH  mengungkapkan, JPU harusnya memahami dan mengerti mana Perseroan.

Bahwa yang menandatangani kontrak adalah perusahaan. Untuk itu, jika JPU beranggapan ada pekerjaan yang tidak sesuai, maka JPU sudah harus tahu bahwa yang bertanggung jawab adalah perusa­haan.

“Apabila seseorang yang wan­prestasi, siapa yang bertang jawab, orang yang tercantum dalam kontrak, dalam hal ini siapa, peru­sahaan bukan terdakwa. Terdakwa hanya sebagai penerima kuasa dari Direktur perusahaan tersebut, itu harus dipahami apa pertanggjawab­an sebagai penerima kuasa dan pemberi kuasa,” ujarnya.

Untuk itu dalam eksepsi itu, pihaknya meminta agar majelis hakim membatalkan dakwaan JPU, karena dianggap bertentangan dengan KUHAP, lantaran JPU terkesan memaksakan terdakwa Hendra Anggrek, hadir dan menja­lani persidangan perdana tanpa didampingi atau sepengetahuan kuasa hukum Terdakwa, yang mana sidang itu berlangsung pada 20 Desember 2022 lalu.

Padahal, menurut KUHAP pem­beritahuan sidang, mestinya dila­kukan sebanyak tiga kali, sehingga disebut patut dan sah secara hukum. Dan itu tidak dilakukan JPU dalam sidang perdana itu.

“Yang terjadi justru pemberita­huan sidang dilakukan pada hari akan dilaksanakannya persidangan itu. Ironisnya, yang bersangkutan tetap memaksakan sidang itu tetap dilaksanakan, padahal Terdakwa, Hendra Anggrek, tidak didampingi penasehat hukum. Sementara KUHAP menjamin itu sebagai hak-hak terdakwa yang ancaman pidananya lima Tahun keatas. Ini kan pelanggaran,”cetusnya.

Dia menilai, JPU tidak memahami surat dakwaan dibacakan, dimana terdakwa tidak didampingi  penase­hat hukum, maka itu adalah pe­langgaran hukum. Apalagi terdakwa saat itu telah menyampaikan keberatan. Bahkan itu juga telah dituangkan dalam surat resmi.

“Selain itu turunan berkas lerkara juga tidak diberikan padahal kami sudah bermohon. termasuk dakwaan yang tidak jelas dan tidak lengkap, karena JPU mencampuradukan peran perusahaan dengan perseorangan, JPU tidak bisa membedakan siapa yang melakukan kontrak dan siapa yang mengerjakan, dia gagal membedakan itu. Dia tidak mampu membedakan itu,”cetusnya.

Selain itu, dakam JPU juga menyebutkan bahwa, bayaran atas proyek tersebut, diterima oleh terdakwa dan itu salah. Kemudian, JPU menyebutkan, bahwa persoalan ini timbul karena pekerjaannya tidak sesuai perjanjian, kalau tidak sesuai sementara saat itu, JPU telah me­minta pendapat ahli dari Politeknik Ambon, setelah disampaikan bahwa pekerjaan sudah sesuai, JPU kembali memakai ahli tehnik dari Politeknik Manado, kemudian disampaikan tidak sesuai dan diteruskan berdasarkan itu. Logi­kanya,  jika ada 10 ahli yang berbeda pendapat, mana yang akan diikuti. Dilain sisi, itu artinya, JPU mera­gukan kopetensi ahli dari Ambon itu.

“Selain itu, JPU menentukan kerugian negara dalam proyek itu berdasarkan hasil audit Inspektorat, padahal yang berkewenangan itu BPK bukan Inspektorat,” tuturnya.

Ditambahkan, setelah penyam­paiian eksepsi ini, maka agenda selanjutnya Selasa (10/1) adalah tanggapan JPU terhadap eksepsi tersebut.

“Kami hanya mau sampaikan, inti dari eksepsi kami itu, agar hak-hak dari terdakwa itu jangan sampai diabaikan, karena pembunuh sekalipun harus tetap diberikan hak untuk membela diri,”ujarnya.

Dalam perkara ini, pihaknya  mengapresiasi Ketua Majelis Hakim, Wilson Shriver yang didampingi dua hakim anggota, Agustina Lama­belawa dan Antonius Sampe Sam­mine, yang telah menerima permo­honan mereka untuk mengajukan eksepsi tersebut.(S-25)