Bukan Indonesia kalau enggak membuat kejutan-kejutan yang menyita perhatian publik. Kali ini, kita dihebohkan dengan kejutan yang kadang memilukan hati, seperti perilaku biadab anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang menganiaya seorang bocah hingga akhirnya dirawat di ruang ICU.

Bagaimana tidak disebut kejutan-kejutan. Karena Mario Dandy Satriyo, sang penganiaya, sampai bisa membuat pejabat-pejabat tinggi setingkat menteri kalang kabut. Bahkan terakhir Presiden Joko Widodo ikut mengecam gaya hedon yang diperlihatkan sejumlah pejabat dan keluarganya.

Yang terbaru adalah putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang gugatan perdata nomor 757/PDT/G/2022/PN.Jkt.Pst, kamis 3 Maret 2023, untuk menunda Pemilu 2024. Sontak saja putusan tersebut membuat banyak pihak langsung meradang. Yang mengggugat adalah Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima). Sedangkan majelis hakim diketuai T Oyong dengan anggota H Bakri dan Dominggus Silaban.

Dalam putusannya, majelis hakim memerintahkan Komisi Pemilihan Umum atau KPU selaku tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024, kemudian melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun, 4 bulan, dan 7 hari. Sungguh, otak saya butuh dua tiga menit untuk mencerna putusan tersebut.

Apa iya sih Indonesia harus kembali ke jaman jahiliah dengan putusan tersebut? Menunda tahapan pemilu sama artinya dengan menihilkan proses yang sudah berjalan, ongkos-ongkos yang sudah dike­luarkan, membuka lagi pendaftaran, dan sebagainya dan sebagainya. Rasanya mustahil majelis hakim enggak paham landasan hukum dari sebuah perkara. Masa iya sih enggak tahu mana perkara yang jadi domain mereka, dan mana yang jadi domain lembaga lain?

Baca Juga: Belajar Bahasa Indonesia Melalui Korpus, Memang Bisa?

Menurut Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 ten­tang Pemilu pasal 469 ayat (2), apabila penyelesaian sengketa proses pemilu oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN. Kurang jelas apa pasal itu bahwa yang diberi kewenangan PTUN, bukan pengadilan negeri.

Kalau ditarik ke payung hukum yang lebih tinggi lagi, putusan PN Jakarta Pusat itu juga melanggar konstitusi. Pasal 22e ayat (1) UUD 1945 menyatakan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima ta­hun sekali. Naaaah … Pemilu terakhir pada 2019, maka penyelenggaraan selanjutnya harus dilak­sanakan pada 2024.

Mosok sih para hakim itu enggak punya referensi aturan perundangan? Amat sangat mustahillah. Apa iya mereka tak menyadari betapa peliknya proses penentuan tanggal pemungutan suara di 2024 untuk pemilihan presiden, wakil presiden, anggota legislatif, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Sungguh banyak tanya di benak banyak orang. Ada apa sih dengan majelis hakim ini? Kok sampai ya pemi­kiran untuk menuda pemilu? Ujug-ujug para hakim ini memutuskan tahapan pemilu yang sudah dimulai sejak 14 juni 2022 harus diulang dari awal. Atau, jangan salahkan kalau ada pihak yang menduga mereka membawa misi khusus.

Partai Prima ketika dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi, sempat menggugat KPU ke bawaslu. Gugatan itu dikabulkan dan bersama empat partai lainnya, Prima diberi kesempatan tambahan melengkapi dokumen administrasi untuk menjalani verifikasi ulang. Hasilnya, KPU menyatakan Prima kembali tidak memenuhi syarat.

Dalam UU Pemilu, saluran yang diperbolehkan un­tuk mengajukan sengketa atas KPU adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di PTUN, Prima telah dua kali me­layangkan sengketa. Sengketa pertama dila­yangkan pada 30 November 2022.

Perjalanan gugatan

Mereka meminta majelis hakim PTUN Jakarta membatalkan atau menyatakan tidak sah berita acara KPU RI per 18 November 2022 dengan nomor 275/PL.01.1-BA/05/2022 beserta lampirannya, yang menyatakan mereka tidak lolos verifikasi.

Permohonan sengketa itu oleh PTUN Jakarta dinyatakan tidak dapat diterima karena objeknya bukan Keputusan KPU soal penetapan partai politik peserta Pemilu 2024.

Sengketa kedua dilayangkan ke PTUN Jakarta pada 26 Desember 2022 dengan objek Keputusan KPU soal penetapan partai politik peserta Pemilu 2024, tetapi Prima tetap kalah di meja hijau.

Hingga akhir 2022, Prima rutin menggalang propaganda. Mereka, misalnya, membentuk aliansi bernama “Gerakan Melawan Political Genocide” yang mayoritas berisi partai-partai yang tidak lolos tahap pendaftaran 15 Agustus 2022, yakni Partai Masyumi, Perkasa, Pandai, Kedaulatan, Reformasi, Pemersatu Bangsa, dan Berkarya, serta Partai Republik Satu yang tak lolos verifikasi administrasi.

Partai Prima juga beberapa kali berdemonstrasi di kantor KPU RI. Termasuk, pada Rabu (14/12/2022), jelang pengumuman dan penetapan partai politik peserta pemilu 2024 oleh KPU. Ketua DPW Prima DKI Jakarta Nuradim sempat meloncat pagar tinggi kantor KPU RI dan merangsek ke halaman, sebelum diamankan tim Jagat Saksana yang notabene tim pengamanan dalam (pamdal) KPU.

Partai Prima kemudian mengajukan gugatan ke PN Jakpus pada 8 Desember 2022 dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, Prima merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi administrasi.

Jadi, memang unik, kok bisa-bisanya gugatan itu nyasar ke PN Jakarta Pusat dan puncaknya putusan penundaan pemilu. Wajar juga bila kompetensi para hakim yang menangani perkara itu dipertanyakan.

Agenda tunda pemilu

Tidak bisa dimungkiri, putusan tersebut seirama dengan kehendak pihak-pihak yang selama ini mengingini penundaan pemilu, KPU memang telah menyatakan akan banding, tapi proses kepemiluan kini dilanda ketidakpastian sehingga sangat mudah disusupi kepentingan sepihak. Jangan biarkan para penyabot pemilu terpuaskan.

Bahkan dalam kacamata dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina A Khoirul Umam, operasi kekuasaan untuk menunda pemilu terbukti terus berjalan. Modus operandinya kian jelas.

Ketika perdebatan dan konfigurasi politik nasional tidak berpihak pada agenda kepentingan penundaan pemilu, cara paling mudah dan efektif adalah dengan memanfaatkan jalur penegakan hukum. Begitu kata Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) itu.

Menurut Khoirul, pihak di balik gugatan itu memanfaatkan independensi kekuasaan kehakiman. Coba saja lihat benang merahnya, sebelum ini ada narasi penundaan pemilu lewat ide perpanjangan masa jabatan Presiden tiga periode, kemudian ide perpanjangan masa jabatan kepala desa, dan kemudian ide sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup. Partai Prima itu cuma pion. Begitu kata Khoirul.

Bahkan ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini mendesak Komisi Yudisial agar memeriksa tiga hakim PN Jakarta Pusat tersebut. Sikap KY diperlukan untuk mencegah spekulasi berkepanjangan serta kecurigaan soal adanya anasir politik di balik putusan tersebut.

Lebih tegas lagi pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang menyebutkan putusan tersebut merupakan hal yang keliru.

Sedangkan menurut Ketua Divisi Teknis KPU Idham Holik, putusan PN Jakarta Pusat itu masuk kategori ultra vires. Artinya putusan di luar kewenangan, atau melampaui kewenangan hakim karena yang mengatur sengketa pemilu prosesnya di PTUN.

Kalau sudah begini, lagi-lagi narasi liar pun tak terhindarkan bahwa putusan tersebut seperti sebuah uji coba saja. Namanya saja uji coba, kalau bisa berjalan mulus ya alhamdulillah, kalau pun tak bisa berjalan pun tak masalah, wong namanya uji coba. Nanti cari cara lain lagi mumpung tahapan pemilu 2024 masih banyak. Oleh: Eko Suprihatno, editor Media Indonesia. Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/562956/hidden-agenda-di-balik-putusan-penundaan-pemilu-2024.