AMBON, Siwalimanews – Harga rapid test di sejumlah rumah sakit swasta dan laboratorium klinik di Kota Ambon masih tinggi. Meskipun Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan  ketentuan tarif rapid test dengan batas atas Rp 150 ribu mulai berlaku 6 Juli 2020, namun hal itu belum dilaksanakan rumah-rumah sakit tersebut.

Sejumlah rumah sakit swasta maupun laborato­rium klinik di Ambon masih mematok harga rapid test dengan tarif berkisar Rp 450 ribu hingga 700 ribu per satu kali rapid. Ditemui Siwalima Kamis (9/7), beberapa ru­mah sakit swasta dan labo­ra­torium klinik itu beralasan, aturan baru Kemenkes RI mengenai pembatasan tarif tertinggi layanan  rapid test belum diberlakukan, lanta­ran Dinas Kesehatan sam­pai sekarang belum melaku­kan sosialisasi dan koor­dinasi.

Sosialisasi dan koordinasi dari dinkes perlu, lantaran tarif  rapid test yang diguna­kan  rumah-rumah sakit swas­­ta dan laboratoium kli­nik selama ini atas kebija­kan Dinkes Kota Ambon. Disisi lain rumah sakit swas­ta beralasan alat rapid dibeli sendiri dan bukan bantuan pemerintah.

Kabag Pelayanan Medic Rumah Sakit Hative atau yang lebih dikenal dengan RS Otto Kuyk, dr Yongki Stevanus me­ngatakan, pihaknya sudah me­nge­tahui Surat Edaran (SE) Kemen­kes, namun belum mengikutinya. Hal itu disebabkan belum ada sosialisasi dan koordinasi dari Dinkes Kota Ambon maupun provinsi sehingga tarif lama masih tetap berlaku.

“SE Kemenkes memang kami su­dah terima, tetapi surat itu ditujukan untuk gubernur, walikota, dinkes kabupaten/kota dan provinisi. Un­tuk itu kita masih tunggu koordinasi dari Pemkot Ambon maupun provinsi soal SE Kemenkes itu. Sampai seka­rang belum ada surat edaran resmi dari Dinkes Kota Ambon ke kita,” kata Yongky.

Baca Juga: Komisi III Akui Minimnya Sosialisasi Covid-19 di SBB

Yongky mengaku RS Otto Kuyk masih mematok biaya rapid kepada pelaku perjalanan sebesar Rp 560 ribu sampai Rp 620 ribu. “Jadi kita masih gunakan harga standar untuk sekali rapid tarifnya Rp 560 ribu jika dilakukan saat masih jam kerja. Namun jika sudah di luar jam kerja itu tarifnya Rp 620 ribu,” ungkap­nya.

Menurutnya, RS Otto Kuyk wajar mematok harga rapid dikarenakan rumah sakit swasta. Selama ini RS Otto Kuyk terus berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dalam hal ini dinkes, tapi dinkes provinsi hanya mengurusi instansi atau rumah sakit pemerintah yang tidak boleh menarik biaya rapid.

Kendati demikian, secara prinsip, RS Otto Kuyk tetap akan mengikuti aturan, jika Dinas Kesehatan telah mengeluarkan surat edaran lanjutan dari SE Kemenkes tersebut. “Kita semua ada dibawah naungan dinkes. Jadi jika surat edaran dari dinkes sudah sampai ke kita, tetap kita akan ikuti aturan itu,” tegasnya.

Direktur Rumah Sakit Sumber Hi­dup (GPM), Heni Tipka juga menga­takan hal yang sama.Tipka mengaku penentuan harga rapid test oleh pihaknya disesuaikan dengan harga yang ditetapkan pemerintah dalam hal ini Dinkes Kota Ambon.

“Pemerintah dalam hal ini Dinkes Kota Ambon menentukan batasan harga rapid test antara Rp 450 ribu sampai Rp 650 ribu. Nah, kita di RS Sumber Hidup mengambil harga terendah yakni Rp 450 ribu sekali rapid bagi pelaku perjalanan,” kata Tipka.

Ia menegaskan, SE Kemenkes yang menentukan tarif rapid test bagi pelaku perjalanan sebesar Rp 150 ribu terlalu murah. Olehnya RS Sumber Hidup akan mempertimbang­kan penyediaan pelayanan rapid test.

“Jadi kesimpulannya, kami tidak akan menyediakan pelayanan rapid test bagi pelaku perjalanan. Kami tak mau ambil resiko merugi. Sebab alat rapid disediakan oleh kita sendiri dan bukan oleh pemerintah, sehing­ga hal tersebut menjadi pertimba­ngan kami apakah melayani atau tidak melayani rapid bagi pelaku per­jalanan,” ungkap Tipka.

Dikatakan, penetapan harga itu merupakan hasil hitungan berapa modal untuk jasa dan lain-lain. Kalau mau dipaksa harga tertinggi rapid test Rp 150 ribu untuk Indonesia Ti­mur, dimana harga barang dibeba­ni dengan PPn juga ongkir berbeda dengan Indonesia bagian Barat.

“Kita sudah hitung-hitungan, harga di Indonesia bagian Barat tentu beda dengan kita di Timur. Pesan barang harus bayar PPn dan ongkos kirim (ongkir). Saya sudah sampaikan ke group covid di WA, bahwa RS swasta sulit untuk mene­rapkan batas tarif dari Kemenkes Rp 150 ribu itu. Terakhir kami masih me­mesan alat rapid test dengan harga satuannya Rp 87.500,” beber Tipka.

Rumah Sakit Bhayangkara juga masih berlakukan harga rapid test sebesar Rp 450 ribu bagi pelaku perjalanan. Terkecuali pasien pada rumah sakit itu yang biaya rapidnya digratiskan atau ditanggung pemda.

Kepala Rumah Sakit Bhayangkara, Kompol Agus Gede mengaku harga rapid test masih diberlakukan tarif lama, lantaran belum ada sosialisasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pihak Karantina Kesehatan Pelabu­han dan pemerintah daerah.

“Belum ada sosialisasi terkait mekanisme pemberlakuan tarif baru sesuai SE Kemenkes. Sebelum SE Kemenkes keluar, pihak rumah sakit adakan pertemuan dengan IDI dan KKP terkait estimasi tarif rapid. Da­lam pertemuan terakhir itu, IDI memberikan ketentuan estimasi har­ga antara Rp 400-650 ribu. Nah, setelah rapat baru SE Kemenkes keluar, dan sampai saat ini belum ada pemberitahuan lagi terkait kemana kita mengacu,” jelas Agus.

Menurutnya, sambil menunggu pemberitahuan lanjutan, pihaknya akan segera melakukan rapat internal sambil menghabiskan stock alat rapid lama sebelum pemberlakuan tarif baru.

“Sebelum SE Kemenkes kita su­dah pengadaan, stocknya juga ting­gal sedikit, jadi saat ini kita habiskan stock lama dulu, setelah alatnya habis kedepannya kita berlakukan sesuai edaran. Pada prinsipnya kita ikut aturan pemerintah pusat, untuk itu akan kita rapat secara internal,” pungkasnya.

Salah satu dokter yang enggan namanya dikorankan di Rumah Sakit Al-Fatah ketika dikonfirmasi Siwa­lima, mengaku untuk pelaku perja­lanan tetap dipatok biaya. “Kita beli alat rapid sendiri, jadi sekali rapid kita kenakan biaya Rp 400 ribu,” ujarnya Kamis (9/7).

Dokter tersebut mengaku pihak­nya mengetahui adanya SE Kemen­terian Kesehatan namun Al-Fatah me­rupakan rumah sakit swasta yang mengurusi diri sendiri. “Kita kan swasta, alat kita beli sendiri, kita juga tidak dapat bantuan dari pemerintah, jadi rapid harus bayar,” tegasnya.

Hal yang sama juga ketika salah satu karyawan Klinik Kimia Farma mengaku kalau harga rapid sudah dipatok dari kantor pusat.

“Kantor kami sudah patok harga sekali rapid test Rp 450 ribu, dan kami jalankan sesuai perintah dari pusat,” kata karyawan yang tidak mau namanya dikorankan itu.

Ditanya terkait dengan surat edaran dari Kementerian Kesehatan yang mewajibkan rapid test Rp150 ribu dirinya mengaku tidak tahu.

“Yang kita tahu, perintah dari kantor pusat rapid bagi pelaku per­jalanan tetap Rp 450 ribu,” tegasnya.

Sebelumnya diberitakan, Kepala Dinas Kesehatan Maluku, Meikyal Pontoh mengklaim, Surat Edaran Kemenkes Nomor: HK.02.02/1/2875/2020 tentang batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test antibodi sudah berlaku.

Biaya rapid test Rp. 150 ribu. Ka­pan mulai diberlakukan, kata Pon­toh, kewenangan ada di pemerintah kabupaten kota.

“Jadi sudah berlaku, namun pasti­nya Ambon misalnya ada di kepala daerah yang punya kewenangan,” ka­ta Pontoh kepada wartawan di Kan­tor Gubernur Maluku, Rabu (8/7).

Pontoh mengatakan, rapid test bagi pelaku perjalanan hanya dila­yani rumah sakit swasta dan klinik swasta. “Pokoknya semua yang swas­ta, bukan ke rumah sakit peme­rintah,” jelasnya.

Lanjutnya, rumah sakit pemerin­tah tidak diperbolehkan rapid test bagi pelaku perjalanan, kecuali pa­sien yang hendak berobat, OTG, ODP dan PDP. Screening juga digratiskan karena memiliki BPJS Kesehatan.

Surat Edaran Kemenkes

Kementerian Kesehatan menge­luarkan surat edaran penetapan ba­tas maksimal harga rapid test anti­bodi sebesar Rp. 150 ribu.

Dalam Surat Edaran Nomor HK.02. 02/1/2875/2020 tentang batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test anti­bodi tertanggal 6 Juli 2020 yang di­teken Direktur Jenderal Pelayanan Ke­sehatan Kementerian Kesehatan, Bam­bang Wibowo yang kopiannya dite­rima Siwalima, Selasa (7/7) itu dije­laskan, salah satu modalitas dalam pe­na­nganan Covid-19 di Indonesia ada­lah menggunakan rapid test dan atau rapid test antibodi pada kasus kontak dari pasien konfirmasi Covid-19.

Rapid test antigen atau rapid test antibodi dapat juga digunakan un­tuk menapis adanya infeksi Covid-19 diantara kelompok OTG, ODP, PDP pada wilayah yang tidak mem­punyai fasilitas untuk pemeriksaan PR-PCR atau tidak mempunyai media pengambilan spesimen (swab dan atau VTM).

Pemeriksaan rapid test hanya merupakan penapisan awal. Hasil pemeriksaan rapid test harus tetap dikonfirmasi dengan menggunakan RT-PCR. Sebaliknya, pemeriksaan RT-PCR tidak mengharuskan adanya pemeriksaan rapid test terlebih dahulu.

Dijelaskan lagi, rapid test antibodi banyak dilakukan di masyarakat pada saat akan melakukan aktivitas per­jalanan orang dalam negeri. Rapid test antibodi dapat dilakukan di fasi­litas pelayanan kesehatan atau di lu­ar fasilitas pelayanan kesehatan, se­lama dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Harga yang bervariasi untuk mela­kukan pemeriksaan rapid test menim­bulkan kebingungan di masyarakat. Untuk itu diperlukan peran serta pemerintah dalam masalah, tarif pemeriksaan rapid test antibodi agar masyarakat, tidak merasa diman­faatkan untuk mencari keuntungan.

Surat edaraan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan pemberi layanan pemeriksaan rapid test antibodi agar tarif yang ada, dapat memberikan ja­minan bagi masyarakat agar mudah untuk mendapatkan pelayanan pe­meriksaan rapid test antibodi.

Sehubungan dengan hal tersebut, pihak terkait agar menginstruksikan kepada fasilitas pelayanan keseha­tan dalam memberikan pelayanan pemeriksaan rapid test antibodi untuk mengikuti batasan tarif mak­simal dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut;

Satu, Batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan rapid test antibodi, adalah Rp. 150.000 (seratus lima pu­luh ribu rupiah). Dua, Besaran tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) berlaku untuk mas­yarakat yang melakukan peme­riksaan rapid test antibodi atas permintaan sendiri.

Tiga, pemeriksaan rapid test anti­bodi, dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompe­tensi dan berasal dari fasilitas pela­yanan kesehatan. Empat, agar fasi­litas pelayanan kesehatan atau pihak yang memberikan pelayanan peme­riksaan rapid test antibodi dapat mengikuti batasan tarif tertinggi yang ditetapkan.

Surat edaran ini ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan provinsi, Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota, Kepala/Direktur Utama/Direk­tur rumah sakit, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Ketua Sosiasasi Klinik Indonesia (ASKLIN), Ketua Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Ke­sehatan Primer Indonesia (PKFI), Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan seluruh Indonesia dan Ketua Ikatan Laboratorium Klinik Kesehatan Indonesia (IKLI) di seluruh Indonesia.

Tembusan surat ini juga disam­paikan kepada Menteri Kesehatan, Sekjen Kemenkes dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (S-45//Mg-5/Mg-6)