SEBUAH laporan yang dipublikasikan Asian Development Bank (ADB) dan the International Research Institute (IFPRI) yang didukung oleh Bappenas yang berjudul Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture During 2020-2045, menemukan ada 22 juta rakyat Indonesia mengalami kelaparan kronis antara 2016 dan 2018. Pada laporan yang dipublikasikan Oktober 2019 ini menyatakan adanya pertumbuhan signifikan pada sektor agrikultur di beberapa tahun terakhir.  Namun, laporan itu juga menyatakan meskipun ada pertumbuhan pada sektor tersebut, masyarakat Indonesia masih menjalankan pola agrikultur tradisional, sehingga terjebak pada kegiatan yang berupah rendah. Hal ini berdampak pada kelaparan dan meningkatnya risiko stunting pada anak-anak.

“Banyak orang tidak mendapatkan cukup makanan dan anak-anak mereka rentan terhadap stunting yang membuat mereka berada dalam lingkaran penderitaan itu dari generasi ke generasi. Sejak 2016 sampai 2018 sekitar 22 juta rakyat Indonesia menderita kelaparan,” bunyi laporan tersebut. Lebih jauh, laporan tersebut memberi catatan mengenai tidak meratanya akses masyarakat Indonesia terhadap makanan dan kerawanan pangan yang tidak mendapat peme­cahan masalah, meskipun adanya tren peningkatan produksi makanan dan ketersediaannya. Indonesia berada di ranking 65 dari 113 negara pada Global Food Security Index (GFSI) yang dipublikasikan Economist Intelligence Unit, di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura di ranking pertama, Malaysia (40), Thailand (54) dan Vietnam (62). Sementara itu, menurut Global Hunger Index (GHI) yang dilansir oleh Global Hunger Organisation (GHO) pada 2019, posisi Indonesia ada di ranking 70 dari 117 negara dunia. GHI Indonesia ada pada skor 20,1 yang berarti berada pada masalah serius terhadap ketahanan pangan. Di penghujung 2021 dan awal 2022, pemerintah memberi kejutan untuk keluarga Indonesia terutama para ibu, dengan harga bahan pangan yang melonjak. Kenaikan harga bahan pangan hingga yang tajam, mempengaruhi daya beli masyarakat yang artinya juga mempengaruhi konsumsi masyarakat.

Sebagai contoh, minyak goreng yang merupakan kebutuhan sangat lekat di kehidupan dapur masyarakat, melonjak harganya hingga dua kali lipat.  Kemudian telur sebagai asupan protein murah yang bisa dijangkau masyarakat, harga per kilogram menembus Rp30 ribu yang sebelumnya ada di kisaran maksimal Rp25 ribu. Pada saat yang sama, masyarakat pun diberi kejutan dengan kenaikan harga elpiji non subsidi hingga puluhan ribu, yang akan cukup memberatkan masyarakat pelaku usaha mikro. Kenaikan harga ini mengingatkan penulis kepada laporan yang dirilis oleh ADB dan IFPRI di atas, di mana krisis bahan pangan akan semakin menjadi masalah bagi masyarakat terutama masyarakat miskin dan jumlah penduduk kelaparan bisa jadi akan semakin bertambah. Pandemi covid-19 baru saja mereda, di mana pada masa itu ketahanan pangan menjadi sangat rentan. Terlebih ketika adanya penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mengurangi penyebaran covid-19, memperlambat aktivitas bisnis dan ekonomi di berbagai sektor, menurunkan daya beli masyarakat, dan menganggu sisi permintaan. Penurunan daya beli masyarakat tersebut disebabkan oleh penurunan pendapatan masyarakat akibat PHK maupun pemotongan upah kerja.

Seperti yang telah dilansir oleh Food and Agriculture Organization (FAO), International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan United Nations (UN), bahwa pandemi covid-19 dapat menyebabkan krisis pangan baru yang akan berdampak terhadap ketahanan pangan suatu negara, terutama negara miskin dan berkembang (Warta Ekonomi 2020). Pandemi menyebabkan gangguan sistem logistik global yang berpengaruh terhadap akses pangan.  Bagi Indonesia, permasalahan akses pangan yang muncul umumnya disebabkan oleh penghasilan masyarakat yang rendah. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi turut menyebabkan terjadinya penurunan ketahanan pangan. Pandemi juga berpengaruh pada kebutuhan pangan kelompok rumah tangga berpendapatan rendah, yaitu adanya pergeseran pola permintaan pangan di mana lebih banyak pada pemenuhan pangan sumber karbohidrat akibat adanya penurunan pendapatan, sehingga kebutuhan asupan protein tidak bisa terpenuhi. Ketidaksiapan dan ketidakpekaan pemerintah terhadap harga dan ketersediaan bahan pangan berpotensi menambah jumlah masyarakat berpendapatan rendah tidak mampu mengakses makanan, yang artinya menambah jumlah orang kelaparan. Bisa diasumsikan jumlah 22 juta orang kelaparan yang dirilis oleh ADB dan IFPRI sebelum masa pandemi akan bertambah lebih banyak lagi.

Sementara itu, UU no 18 tahun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu, dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Mengacu pada undang-undang tersebut, merupakan kewajiban pemerintah mengontrol kestabilan harga dan tidak menyerahkan sepenuhnya harga kebutuhan pangan pada mekanisme pasar.  Operasi pasar di saat harga pangan melonjak hanya kebijakan sesaat untuk menstabilkan harga. Namun di sisi lain, pemerintah seharusnya membuat meka­nisme dengan mematuhi perundang-undangan agar harga bahan pangan tidak dipermainkan oleh segelintir pebisnis yang ingin meraup keuntungan. Sebagai contoh tidak selarasnya informasi dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan terkait melonjaknya harga pangan, menunjukkan tidak adanya mekanisme kerja yang terkoordinir.  Masyarakat yang baru merasakan kelegaan paska tekanan di masa pandemi, seharusnya diberi ruang untuk menata kehidupan lebih layak. Dampak pandemi di semua sektor membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, agar selepas dari penderitaan karena tekanan wabah penyakit bukan malah menjadi menderita karena kemiskinan dan kelaparan. Apalagi ketika membahas kelaparan, maka yang paling terdampak adalah perempuan dan anak. Kenaikan harga pangan, elpiji dan bahkan rencana kenaikan tarif dasar listrik menunjukan pemerintah belum serius menyikapi dampak pandemi untuk pemulihan ekonomi masyarakat.

Baca Juga: Omikron, Fenomena Blessing in Disguise?

Pemerintah tidak membangun empati terhadap kondisi masyarakat, ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Seharusnya kebijakan pengendalian harga bahan pangan termasuk yang menjadi prioritas setelah masa pandemi berangsur menuju kondisi normal. Fraksi PKS di DPR RI berulangkali menyoroti kerja pemerintah dalam hal pengen­dalian harga bahan pangan agar segera ada penanganan serius dan komprehensif.  Selain itu harga barang kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harusnya dipertimbangkan untuk tidak mengalami kenaikan, seperti TDL dan rencana penghapusan BBM premium dan pertalite.

Karena hal itu secara tidak langsung berdampak pada usaha mikro yang mempengaruhi pendapatan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan juga mempengaruhi daya beli masyarakat. Sehingga menyikapi kondisi ini, penulis mempertanyakan keseriusan dan kepedulian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat. Ketika pemerintah mampu merencanakan ibu kota negara baru, apakah tak mampu merencanakan regulasi komprehensif untuk kesejahteraan pangan masyarakat? oleh: Kurniasih Mufidayati Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga