AMBON, Siwalimanews – Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek, Restu Gunawan memberikan tantangan generasi muda Maluku, agar mampu memanfaatkan setiap potensi di Maluku untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dia mengungkapkan potensi rempah, kerajinan etnik dan kuliner Maluku yang sangat layak untuk dikembangkan lebih baik.

Dia secara khusus menggaris bawahi, tantangan generasi muda masa kini dan mendatang bukan lagi kepada praktek kolonialisme seperti yang dihadapi zaman lalu, tapi kini yang paling nyata adalah kolonialisme baru berupa algoritma.

Untuk itu, dia memandang perlu untuk memanfaatkan teknologi, tetapi juga bijak untuk menghindari dampak negatifnya.

Hal ini dingkapkan Restu dalam kegiatan webinar nasional  tentang refleksi perjuangan Thomas Matulessy dan kawan-kawan yang diprakarsai Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), Archipelago Solidarity Foundation dan Sinar Harapan.Net, pekan kemarin.

Baca Juga: Rakyat Kecewa, LIRA: Moral Rendah

Webinar yang diawali Rektor UKIM, Hengky Herson Hetharia ini menghadirkan, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid sebagai pembicara utama, serta sejumlah narasumber yaitu, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina (Archipelago Solidarity), Jeff Malaiholo (Founder Bahasa Basudara); Johanes Titaley (Dosen Prodi S3 Agama dan Kebangsaan UKIM dan UKSW); Restu Gunawan (Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek); Johan Pattiasina, (Dosen Sejarah Universitas Pattimura); dan Johan Robert Saimima, (Dosen Sejarah UKIM).

Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina dalam webinar tersebut mengungkapkan, catatan para pelaku sejarah yang ikut dalam pertempuran di Saparua. Yang sangat mengejutkan, Thomas Matulessy dinobatkan sebagai Kapitan Poelo (Pulau) dan justru tidak atau belum menemukan adanya penobatan sebagai Kapitan Pattimura seperti yang dikenal saat ini

Ia mengharapkan, perlunya kajian lebih mendalam dari para sejarawan, sehingga menghasilkan penulisan yang semakin lengkap, objektif dan bertanggung jawab.

Sedangkan, Jeff Malaiholo mengungkapkan secara detail bagaimana peran British Ambon Corps dalam perjuangan Thomas Matulessy dan kawan-kawan. Sebab, Thomas Matulessy dan kawan-kawan yang memotori perlawanan kolonialisme di Maluku merupakan didikan British Ambon Corps, karena Inggris menduduki Maluku sebelum adanya peralihan kepada Belanda pada 1817.

Sementara, John Titaley, menyoroti perjuangan Thomas Matulessy dari kacamata ideologi. Perjuangan tahun 1817 disebabkan terusiknya rasa keadilan oleh penguasa yang sewenang. Hal ini merupakan ideologi keadilan.

Dia memberikan tantangan bagaimana generasi masa kini dan mendatang menempatkan ideologi perjuangan tahun 1817, apakah sebagai ideologi setara atau eksklusif.

Webinar yang dipandu wartawan senior, Web Warouw ini diikuti sekitar 900 peserta online dan 200 peserta offline yang mengikuti webinar dengan cara menggunakan layar lebar di UKIM Ambon itu menghasilkan empat rekomendasi.

Rekomendasi pertama, perlu adanya tim pengkajian sejarah Thomas Matulessy, sehingga menghasilkan penulisan sejarah yang semakin lengkap berdasarkan berbagai sumber sejarah yang ada. Kedua, perlu diupayakan revitalisasi situs sejarah di Maluku, seperti benteng sehingga menjadi destinasi wisata budaya, wisata sejarah dan tempat penyelenggaraan berbagai event. Ketiga, perlu dilakukan festival budaya Maluku sebagai upaya untuk menggali dan mengembangkan kekayaan potensi budaya di Maluku. Keempat, mengupayakan berbagai kegiatan untuk mendorong pengembangan pemanfaatan produk Budaya Maluku, seperti rempah, kuliner, kerajinan etnik dan sebagainya untuk mengangkat kesejahteraan rakyat di Maluku.

Pada kesempatan itu, Rektor UKIM Hengky Hetharia juga memberikan respon melalui upaya untuk segera merealisasikan program studi pariwisata di UKIM. Hal ini, sebagai upaya untuk menghasilakn sumber daya manusia yang berkualitas di bidang pariwisata. Sebab, Maluku memiliki potensi wisata yang sangat luar biasa. (S-19)