Fenomena-fenomena perubahan iklim dan degradasi lingkungan yang lebih sering terjadi akhir-akhir ini menandakan bahwa bumi yang kita huni ini tidak sedang baik-baik saja.

Beberapa waktu belakangan, cuaca panas ekstrem terjadi di sejumlah wilayah dunia, seperti Indonesia, China, Thailand, Bangladesh, Myanmar, Laos, dan India. Bahkan, Bangladesh sempat menembus suhu di atas 50 derajat celsius.

Suhu tinggi tidak hanya terjadi pada atmosfer, tetapi juga lautan secara global. Organisasi Meteorologi Dunia PBB memperkirakan rekor panas akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, 60% pada akhir Juli dan 80% pada akhir September.

Belum lagi masalah pencemaran tanah, air, dan udara yang meningkat terus setiap tahunnya. Pen­cemaran perairan di Indonesia diperkirakan menda­tangkan kerugian hingga Rp 45 triliun per tahun, meliputi kerugian sektor kesehatan masyara­kat, pariwisata, pertanian, dan kerusakan ekosistem.

Pencemaran merkuri termasuk salah satu masalah serius secara global. Menurut United Nations Environment Program (UNEP), lebih dari 70 ton merkuri sudah mencemari lingkungan, sedangkan WHO memperkirakan sekitar 10.000 ton merkuri per tahun mencemari lingkungan. Indonesia negara terbesar ketiga yang mengalami pencemaran merkuri setelah Cina dan Filipina.

Baca Juga: Gerak Langkah Abad Kedua NU & Urgensi Aspek Ilmu Pengetahuan

Pencemaran dari tempat pembuangan sampah (TPA) juga tidak kunjung teratasi. Menurut data World Bank, lebih dari 4,5 triliun ton sampah per tahun dan diperkirakan menjadi 8 triliun ton per tahun di 2050 yang menyumbangkan 15% gas metan ke atmosfer disamping pencemaran air dan tanah.

Data terbaru dari Global Footprint Network men­sinyalir bahwa “biokapasitas” bumi yang didefi­nisi­kan sebagai “kapasitas ekosistem untuk mengha­silkan bahan biologis yang digunakan manusia dan untuk menyerap limbah yang dihasilkan manusia” terus tumbuh melampaui daya dukung bumi. Secara global disinyalir manusia membutuhkan 1,7 planet dengan gaya hidup seperti sekarang.

Tentu sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mengatasi kerusakan lingkungan baik yang bersifat preventif maupun kuratif, mulai dari penerapan regulasi-regulasi hingga penerapan teknologi maju seperti teknologi memanen CO2 dari atmosfer, teknologi recycling, teknologi pengolahan limbah skala industrial dan masih banyak lagi lainnya.

Akan tetapi cara ini tidak mudah diterapkan di semua kondisi karena kendala biaya dan teknologi. Di samping itu sesuai prinsip sustainability yang tertuang pada Sustainable Development Goals (SDGs), teknologi yang cost-effective (murah), sustainable (berkelanjutan), dan ramah lingkungan tetap diharapkan menjadi solusi alternatif ke depannya.

Sejatinya alam sudah dikaruniai kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri atau Self Healing (SH) dari gangguan-gangguan. Hanya saja gangguan yang terjadi terlampau besar sehingga menjadi tidak seimbang dengan daya dukung.

Pada kondisi ini, maka campur-tangan manusia diperlukan untuk membantu memaksimalkan SH. Salah satu teknologi yang dapat memaksimalkan SH ialah “Fitoremediasi”, seperangkat teknologi yang bertumpu pada pemanfaatan tanaman hyperaccu­mulator, yakni tanaman yang dapat mengekstraksi polutan hingga 100 kali lebih besar dari normal serta agen mikroba remediator.

Fitoremediasi termasuk teknologi yang berbiaya rendah (cost-effective) dengan perbandingan US$ 100 hingga US$ 3.000 per kubik tanah per tahun untuk cara konvensional dan US$ 0.02-2.0 per kubik tanah per tahun untuk cara fitoremediasi/bioremediasi, tergantung intensitas kerusakan.

Ramah lingkungan (environmental friendly), karena low carbon, memperbaiki bioekofisik, menghadirkan estetika lansekap serta tidak menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Berkelanjutan (sustainable) karena berbasis agen biologis yang tersedia di alam sekitar dan mudah ditumbuhkan.

Di negara yang kaya biodiversitas seperti Indonesia, seharusnya perkembangannya lebih pesat. Di Indonesia penemuan agen remediator mikroba dan tanaman unggul sudah mulai banyak diungkap, di antaranya hiperakumulator untuk pencemar merkuri di lingkungan penambangan emas rakyat, Salvina molesta (Kiamang) dengan potensi ekstraksi 190.31 mg Hg per tahun, Commelina nudiflora (Gewor) 114.05 mg Hg per tahun, Paspalum conjugatum (Rumput pahit) 107.11 mg Hg per tahun.

Akumulator timbal (Pb) di antaranya Monocharia vaginalis (eceng leutik) dengan kapasitas ekstraksi mencapai 196 mgkg-1 Pb dan Eichhornia crassipes (Eceng gondok) 180 mgkg-1 Pb. Akumulator cadmium (Cd) Limnocharis flava (4,3 mgkg-1), Ipomoea fistulosa (4,5 mgkg-1), Grangea maderaspatana (5,0 mgkg-1), Eichhornia crassipes (6,0 mgkg-1) dan Ludwigia octovalvis (5,0 mgkg-1 Cd).

Fitoremediasi dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan. Perinciannya sebagai berikut:

  1. Fitoekstraksi atau fitoakumulasi yang mengacu pada penyerapan dan translokasi kontaminan di dalam tanah oleh akar tanaman ke bagian tanaman di atas permukaan tanah. Dalam hal ini tanaman ditumbuhkan selama siklus hidup tertentu, dipanen biomasanya dan diabukan serta di-handling sebagai limbah B3. Prosedur ini diulang hingga polutan mencapai batas aman;
  2. Rizofiltrasi yakni adsorpsi atau pengendapan kontaminan yang berada dalam larutan di sekitar zona akar;
  3. Fitostabilisasi, menahan kontaminan secara in situ sehingga tidak menyebar ke lingkungan sekitarnya, melalui modifikasi kondisi kimia, biologi, dan fisik oleh perakaran. Pendekatan ini biasanya untuk lokasi yang secara teknis sulit dijangkau;
  4. Fitodegradasi atau fitotransformasi, adalah pe­nguraian kontaminan melalui proses metabolisme di dalam tanaman, atau penguraian kontaminan di luar tanaman melalui efek senyawa (seperti enzim) yang dihasilkan oleh tanaman melalui akar.

Kunci keberhasilan semua pen­dekatan dan stra­tegi di atas ialah pemilihan tanaman dikombinasi­kan dengan mikroba yang tepat. Peran riset dibutuhkan untuk men­dapatkan tanaman hiperakumula­tor dan mikroba remediator unggul serta metoda untuk memaksi­malkan kapasitas ekstraksi yang diintegrasikan dalam model fitoremediasi yang tepat sesuai lingkungan dan targetnya.

Untuk memaksimalkan efektivi­tas remediasi dan meminimalkan resiko kegagalan diperlukan tana­man dengan karakter sebagai berikut:

  1. Hyperaccumulator, mengeks­trak kontaminan dan penyerap karbondioksida (CO2) sangat tinggi;
  2. Tumbuh cepat;
  3. Produksi biomassa tinggi;
  4. Adaptif terhadap lingkungan;
  5. Toleran;
  6. Mudah diperbanyak dan ditum­buhkan;
  7. Ketersediaan melimpah (native/indigenous);
  8. Menghadirkan fungsi estetik.

Berdasarkan fakta bahwa tum­buhan terbukti dapat memberikan sumbangan yang signifikan terha­dap penurunan GRK di atmosfer. Setiap tahunnya lebih dari 60 gigaton (GT) karbon (C) diserap oleh ekosistem daratan maka fu­ngsi fitoremediasi disamping me­ngatasi polutan dapat sekaligus untuk mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK).

Dengan pemilihan biodiversitas tumbuhan hiperakumulator sekali­gus penyerap CO2 tinggi dalam pendekatan fitostabilisasi, fitode­gradasi atau fitofolatilisasi, di mana tumbuhan tidak dipanen dalam jangka pendek, metode ini dapat berfungsi ganda sebagai peng­endali polutan sekaligus penyerap CO2 dan sink karbon.

Peran riset di sini diperlukan dalam mengungkap dan menye­diakan informasi ilmiah terkait tanaman unggul yang memenuhi kriteria dan berpotensi penyerap CO2 tinggi serta mendapatkan metoda untuk meningkatkan seku­es­trasi karbon yang diintegrasikan dalam model fitoremediasi yang terbaik.

Sudah banyak diungkap tana­man berpotensi penye­rap dan penyimpan karbon tinggi. Secara umum serapan CO2 bervariasi antar species sekitar 3 – 40 mik­romol per detik (µmolm-2s-1). Serapan CO2 jenis-jenis pohon berdaun lebar sekitar 2 – 25 µmolm-2s-1 dan jenis-jenis pohon conifer 2 – 10 µmolm-2s-1.

Di antara tanaman dengan sera­pan CO2 tinggi yang pernah ter­ungkap ialah Callophylum ino­phyllum sebesar 38 µmolm-2s-1, Terminalia catappa (Ketapang) 32 µmolm-2s-1, Ochroma lagopus 27.8 µmolm-2s-1, Acacia mangium 24.2 µmolm-2s-1, Shorea bala­ngeran 21.9 µmolm-2s-1. Serapan CO2 sekitar 25 µmolm-2s-1 pada kelapa sawit dan Eucalyptus, serapan CO2, Samanea saman (Trembesi) dan Tectona grandis (jati) sekitar 20 µmolm-2s-1.

Konsep teknologi fitoremediasi yang terbangun secara holistik dan terintegrasi diyakini dapat menjadi solusi untuk mengembalikan produktivitas lingkungan yang tercemar dan terdegradasi dengan mengutamakan meminimalkan resiko kerugian dan memaksi­malkan keuntungan dan hasil yang dicapai. Hal ini diantisipasi de­ngan langkah-langkah analisis dan perhitungan yang cermat berlan­daskan data survei yang akurat, termasuk informasi lokasi target, analisa tingkat degradasi dan pencemaran, potensi sumberdaya lokal yang dapat dimanfaatkan, mitra kerja dan lainnya.

Berbasis pada keyakinan bahwa “mencegah lebih baik daripada mengobati”, yaitu menghindari atau mengurangi degradasi lahan lebih lanjut, seperti melalui praktik pengelolaan lahan berkelanjutan, akan memaksimalkan manfaat jangka panjang dan lebih hemat biaya daripada restorasi dampak degradasi yang sudah terjadi.

Indikator fitoremediasi sejalan dengan SDGs, yakni:

  1. Perbaikan bio-eko-fisik, meli­puti peningkatan tutupan dan produktivitas lahan, perbaikan ekosistem dan penambahan biodi­versitas di dalamnya, penurunan tingkat pencemaran serta terjamin­nya stok karbon;
  2. Sosial-ekonomi yang meliputi peningkatan kesejahteraan mas­ya­rakat sekitarnya, pemberdayaan masyarakat dalam program aksi, termasuk kesetaraan gender, ke­tersediaan mata pencaharian yang berkelanjutan dan transfer pengetahuan dan inovasi teknologi terkait pengelolaan lingkungan lestari;
  3. Perbaikan mikroklimat dan atmosfer yang riil dan terukur.

Prospek pasar global biore­mediasi secara umum (termasuk fitoremediasi) mencapai US$ 12,38 miliar di tahun 2021, US$ 13,56 miliar di tahun 2022, dengan laju peningkatan 9.93%. Menurut PBB secara global sedikitnya 3,2 miliar dari total 8 miliar penduduk bumi (data November 2022), ter­dampak degradasi lingkungan, sebagai konsekuensinya kebutu­han akan remediasi terus me­ningkat.

Hanya saja di Indonesia sebagai negara yang kaya akan biodiver­sitas agen bioremediasi, penera­pannya belum berkembang. Perlu adanya perhatian dan kerja sama dari berbagai fihak untuk men­dongkraknya, termasuk pemerin­tah, pengusaha dari yang skala besar hingga yang kecil, terutama penghasil limbah penyumbang pen­cemaran lingkungan, serta seluruh lapisan masyarakat.

Masih banyak diperlukan riset ko­laborasi dengan fihak swasta, utamanya penyumbang pence­maran serta pemerintah daerah setempat. Oleh: Nuril Hidayati Staf peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) (*)