Sejarah peradaban kepemimpinan di Maluku tidak dapat dipisahkan dari wilayah kepulauan Lease; pulau Saparua, Haruku dan Nusa Laut. Wilayah ini mengalami pertumbuhan peradaban yang pesat karena bersentuhan dengan suku bangsa lain sebelum tibanya kolonial.

Kemajuan peradaban suatu wilayah ikut melahirkan generasi yang memiliki kecakapan dan kepekaan terhadap berbagai kejadian dan perkembangan di sekeliling kehidupannya. Ia selalu berpikir kritis dan memiliki etos kerja tinggi dan semangat juang untuk meraih cita-cita hidupnya. Peradaban wilayah Lease ikut melahirkan sejumlah pemimpin antara lain; Thomas Matulessy, Martha Cristina Tiahahu, AM Sangadji, GA Siwabessy, Johanes Latuharhary, GJ Latumahina, Muhammad Padang hingga gubernur ke X, M Akib Latuconsina (1993-1998) dan sejumlah tokoh anak bangsa lain yang tidak disebutkan satu persatu.

 

Kepemimpinan yang bersumber dari kepulauan Lease tidak dapat dipungkiri oleh siapapun karena kepulauan ini memiliki sejarah panjang lahirnya sumber pemimpin bangsa hingga tersebar ke mancanegara adalah tutur sejarah yang berlangsung dari era kolonial, orde lama, orde baru, reformasi hingga otonomi daerah. Apabila kepulauan Lease disederhanakan dalam zona yang lebih kecil atau jazirah/Uli maka di Kecamatan Pulau Haruku dijumpai dua Uli yang mendiami pulau tersebut yaitu Uli Hatuhaha di pesisir Utara dan Uli Buang Besi di pesisir Selatan.

Uli Hatuhaha tumbuh dan berkembang sebagai peradaban besar. Disebut peradaban besar karena Uli Hatuhaha membentuk kerajaan Islam pada kisaran tahun 1410-1412, seiring berjalannya waktu rakyat Uli Hatuhaha mengalami perang melawan kolonial Portugis dan Belanda yang dikenal dengan sebutan perang Alaka I dan perang Alaka II merupakan akumulasi kolektif kemarahan rakyat Uli Hatuhaha kepada kolonial akibat sikap penjajah dengan sistim politik belah bambu merupakan cikal bakal lahirnya kepemimpinan Hatuhaha, baik sebagai pimpinan kerajaan, pimpinan perang maupun pimpinan adat dan agama.

Peradaban Hatuhaha yang tumbuh dan berkembang sejak lima ratus tahun yang lampau memiliki sejumlah adat-istiadat yang disebut dengan kebudayaan Hatuhaha, dirawat dan dipelihara sebagai kearifan lokal atau kekayaan budaya nusantara. Dengan demikian peradaban Hatuhaha memiliki karakter dan ciri khas yang disebut dengan tiga sumber kekuatan utama yaitu; Hatuhaha sebagai sumber kekuatan spiritual, Hatuhaha sebagai sumber kekuatan perang dan Hatuhaha sebagai sumber kekuatan memimpin atau leadership.

Oleh sebab itu, Hatuhaha hadir sebagai pemimpin dari masa ke masa bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul melainkan talenta atau Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) yang terus terpatrit sebagai darah/genetik bagi anak cucu generasi Hatuhaha adalah keniscayaan.

Kepemimpinan Uli Hatuhaha

Merefleksikan sumber kepemimpinan Uli Hatuhaha untuk kebutuhan pemimpin di Maluku dapat kita lihat dari era kolonial dan orde lama. Pada era ini hadir sejumlah pemimpin yang bersumber dari anak-anak raja yang mengenyam pendidikan pada masa jajahan Belanda mulai dari pendidikan guru, MULO hingga OSVIA, melalui pendidikan yang mereka tempuh ikut menghantarkan mereka bekerja pada pemerintahan kolonial hingga purna bakti masa orde lama di kantor gubernur dan kelembagaan lainnya, kita jumpai : Muhammad Taif Sangadji, Abdul Basir Latuconsina, Usman Latuconsina, Abdul Asiz Latuconsina, AB Sangadji hingga Ali Sangadji.

Pada era yang sama sejumlah pemimpin yang bersumber dari saudagar yang menempati jalan-jalan protokol di kota Ambon hingga politisi di era Pemilu 1955, kita jumpai; Mahyudin Marasabessy, Abusehe Tuanany, Rakib Latu­consina, Abdul Latif Latuconsina, Djusman Nurlete, A Rahman Ohorella, A Hamid Marasabessy, Ali Tuanaya, Abdullah Marasabessy dan sejumlah nama lain kesemuanya berkolaborasi menjadi pemimpin kala itu hingga mereka menguasai perekonomian Maluku bahkan sangat disegani etnis China dan Arab pada era tersebut.

Kepemimpinan Hatuhaha di Propinsi Maluku mencapai puncak keemasan di masa Orde Baru yang berakhir dengan kepemimpinan Ruswan Latuconsina ketua DPRD Provinsi Maluku tiga periode (1982–1997), Muhammad Akib Latuconsina Gubernur Maluku ke IX (1993-1998) dan Muhammad Saleh Latuconsina Gubernur Maluku ke X (1998-2003). Generasi ini tumbuh dari alumni perguruan tinggi ternama di pulau Jawa dan Makassar, mengikuti proses pembelajaran yang panjang, memiliki integritas dan kapabilitas yang mumpuni, dikagumi dan dikenang rakyat, pada gilirannya kepemimpinan Hatuhaha minggalkan legacy bagi masyarakat Maluku diakhir abad ke 20 bahkan menjadi brand dalam peradaban masyarakat seribu pulau dan disegani etnis Maluku lain adalah fakta sejarah pada zamannya.

Memasuki masa reformasi dan otonomi daerah kepemimpinan anak negeri Hatuhaha bergeser ke kabupaten Maluku Tengah, seiring generasi orde baru dilingkungan kantor gubernur memasuki usia purnabakti serta kegagalan Abdullah Tuasikal dan Muhammad Abdullah Latuconsina (Memet) dalam kontestasi Pilkada gubernur Maluku, sehingga pengkaderan dan ketokohan Hatuhaha berbasis di kabupaten Maluku Tengah melalui kepemimpinan Abdullah Tuasikal dan Abua Tuasikal selama empat periode atau dua puluh tahun dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya.

Krisis Kepemimpinan dan Kemiskinan di Maluku

Proses pemilihan pimpinan daerah atau Gubernur, Bupati dan Walikota masa otonomi daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat yang dikenal dengan sebutan Pilkada, kondisi ini melahirkan pemilihan pemimpin daerah secara terbuka yang direkrut melalui rekomendasi partai politik dan pada gilirannya kandidat masuk dalam ranah “dagang sapi” dan menghasilkan kualitas pimpinan daerah yang jauh dari harapan rakyat bila dibandingkan dengan kepemimpinan di masa orde baru. Berbagai kajian akademis maupun pengamat kebijakan publik berpendapat bahwa kepemimpinan yang bersumber dari Pilkada diberbagai wilayah di nusantara mengalami kemunduran “kualitas dan budi luhur” yang disebut dengan krisis kepemimpinan yang ikut melanda provinsi Maluku hingga sekarang.

Provinsi Maluku di berbagai level sedang masuk dalam zona krisis kepemimpinan adalah fakta dan kenyataan yang terjadi merupakan buah dari otonomi daerah atau dampak dari proses pemilihan langsung melalui Pilkada ke Pilkada, siapapun dapat menjadi pemimpin sepanjang memiliki uang untuk membayar rekomendasi partai politik dan KPUD. Fenomena ini perlu menjadi rujukan para  generasi muda Maluku untuk kembali melakukan refleksi atau reposisi dan reorientasi penjaringan pemimpin-pemimpin baru yang credible dan visioner atau tokoh   yang dapat memimpin dengan “hati” untuk mampu menjawab berbagai keterpurukan yang dihadapi rakyat Maluku.

Pemimpin Maluku era otonomi daerah belum banyak membawa perubahan dan kesejahteraan bagi bangsa Maluku, karena Maluku masuk dalam provinsi miskin nomor empat di Indonesia. Kemiskinan, kemahalan, pengangguran dan stunting serta minimnya investasi baru diberbagai sektor ikut membatasi pergerakan uang di masyarakat,  pada gilirannya berbagai wilayah di Maluku masuk dalam katagori kemiskinan ekstrim. Dampak kemiskinan menimbulkan kerawanan sosial baik di perkotaan maupun di perkampungan hingga berbagai peristiwa dan tragedi kemanusiaan silih berganti. Kondisi ini ikut merapuhkan peradaban bangsa Maluku yang disebut dengan “Pela Gandong atau Maluku Basudara”, karena keakraban dan keharmonisan warga bangsa Maluku menjadi terganggu yang jauh dari kedamaian dan hidup berdampingan.

Krisis kepemimpinan dan kemiskinan yang melilit rakyat Maluku tidak saja dilihat dari kualitas SDM dan dampak ekonomi semata, namun juga harus dilihat dari aspek peradaban bangsa Maluku, predikat provinsi miskin yang disandang sesungguhnya “tamparan hina dan nista” yang merendahkan martabat bangsa Maluku. Oleh sebab itu, kepada generasi muda Maluku harus menjadikan Pilkada 2024-2029 sebagai titik balik atau kebangkitan baru untuk memilih pimpinan daerah yang visioner, memimpin dengan hati agar mengembalikan harkat dan martabat bangsa Maluku sebagai peradaban besar di wilayah raja-raja bahkan nusantara.

Kepemimpinan tingkat eksekutif yang kuat harus dibarengi dengan kualitas anggota legislatif pada tingkat kabupaten kota, provinsi dan pusat bahkan anggota DPD agar mampu bersinergi dalam pembahasan issu-issu daerah yang mendesak, penting dan mendasar yang disebut dengan “political will” sesuai tugas dan fungsi, hal hal ini menjadi penting dan strategis bagi semua pimpinan diberbagai level. Berbagai contoh yang mencerminkan kelemahan kepemimpinan adalah gubernur dan anggota legislatif pusat Dapil Maluku belum mampu melobi pemerintah pusat yang disebut dengan “politik anggaran” agar ada keberpihakan bagi bangsa Maluku sebagai wilayah kepulauan yang luas dan pernah dilanda tragedi kemanusiaan (1999-2002).

Kader Hatuhaha dan Permasalahan­nya

Regenerasi kepemimpinan Hatuhaha di provinsi Maluku belakangan ini, menjadi perbincangan para analis kebijakan publik dan politik yang menganalogikan “brand Hatuhaha” bagaikan sebuah perusahaan go-publik di pasar modal yang sedang tidak liquid di pasar saham, kecenderungan sahamnya turun ke level bawah, dampak kegagalan Abdullah Tuasikal dan Mohammad Abdullah Latuconsina pada Pilkada Maluku. Perusahaan-peru­sahaan go-publik baru bermunculan, mendominasi pasar saham di bursa efek atau  kepemimpinan di provinsi Maluku, antara lain; Jazirah Leihitu (Karel Albert Ralahalu), Kepulauan Banda Neira (Said Habib Asegaf) dan Kota Ambon (Murad Ismail).

Selain itu, sejumlah tokoh muda dari kepulauan Seram, pulau Buru, pulau Saparua dan Nusa Laut serta Maluku Tenggara Raya yang tidak disebutkan satu per satu, kesemuanya menjadi kompetitor baru dan sumber pemimpin Maluku di masa akan datang, terbukti mereka berjuang meraih cita-cita yang lebih tinggi, memiliki SDM yang handal, membangun persaudaraan sejati dan persatuan yang kokoh melalui organisasi lokal atau paguyuban dan siap untuk menyisingkan lengan baju perubahan kepemimpinan di Maluku. Pertanyaannya ! dimanakah kini kader-kader Hatuhaha berada ?

Kader Hatuhaha terlalu lama tidur (sleeping too long) menikmati zona aman, bahkan komitmen terhadap kebudayaan Hatuhaha untuk kejujuran dan persaudaraan (honesty and brotherhood) dalam kontestasi politik nyaris terabaikan, ditandai proses demokrasi dari Pilkada ke Pilkada Maluku Tengah memperlihatkan para kader selama Hatuhaha saling bersaing, diantaranya ada yang menggunakan cara-cara tidak patut sebagai calon pimpinan patriot sejati Hatuhaha yang wajib mengede­pankan “budi adat” atau kejujuran, kesantunan dan keamanahan agar dapat menghasilkan pimpinan yang kredibel sebagai jejak peradaban. Hal ini seringkali luput dari perhatian kader.

Sumber kepemimpinan daerah yang berasal dari Aparatur Sipil Negara dan TNI/Polri harus dibarengi dengan pertumbuhan dan perkembangan kualitas “tokoh politik yang berideo­logis” dan tokoh “enterpreneur ber­karakter” guna menghasilkan peng­usaha baru yang berorientasi pasar untuk kebutuhan regional, nasional dan dunia sebagai cikal bakal lahirnya new leaderships atau sumber kepemimpinan baru dan mengurangi usaha jasa kontraktor yang bergantung pada pemerintah daerah. Entrepreneur Hatuhaha harus tumbuh sebagai pengusaha petarung sebagaimana pendahulunya (1950-1975) dan bukan pengusaha pecundang.

Generasi muda Hatuhaha harus bangkit dari keterpurukan, meninggal­kan cara-cara lama dan mengadopsi cara-cara baru melalui proses pembe­lajaran yang panjang untuk menjawab tantangan zaman yang tumbuh cepat dan dinamis ditengah masyarakat, sehingga ketokohan anak negeri Hatuhaha menjadi teruji dan masya­rakat mengenal lebih dekat karena prestasi dan karya dari seorang tokoh. Dengan demikian ketokohan anak negeri dikenang masyarakat dan meninggalkan legacy bagi rakyat yang dipimpin.

Kebangkitan generasi Hatuhaha sangat diperlukan untuk perubahan dan perbaikan dan meninggalkan gaya hidup sombongan, pragmatis dan parsial, bersaing tidak sehat, bahkan bersikap ujub. Mari kita mewujudkan nilai-nilai peradaban Hatuhaha dengan merajut kembali persatuan dan kesatuan melalui; keakraban, kera­khiman dan persaudaraan yang dikenal dengan sebutan maningkamu. Meles­tarikan penuturan bahasa Hatuhaha sebagai media komunikasi untuk mengikat tali persaudaraan dan membangun emosional kolektif dalam menghadapi perubahan kepemimpinan di Maluku maupun ancaman lainnya.

Potensi dan sumber kader wajib dihimpun dalam wadah kelembagaan kader untuk menumbuhkan kejayaan peradaban Hatuhaha agar berpar­tisipasi menjawab tantangan bangsa yang tumbuh dinamis ditengah ma­syarakat melalui kajian dan penelitian, lebih khusus jeritan rakyat Maluku yang dilitit kemiskinan, kemahalan, pengang­guran, premanisme dan sadis­me yang berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Hasil kajian dapat direkomendasikan kepada daerah guna mendapat pemimpin yang kuat memiliki “budaya malu” untuk berprestasi se­hingga mampu mewujudkan kemandi­rian, keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa Maluku.

Tokoh Hatuhaha dan Pilkada 2024-2029

Memasuki Pilkada tahun 2024 khusus untuk pemilihan gubernur Maluku dan tampa mengurangi rasa hormat kepada kader dan tokoh Hatuhaha, namun untuk pesta demo­krasi Pilkada gubernur Maluku 2024-2029 dari sejumlah tokoh Hatuhaha belum ada yang dapat meraih “Kursi Maluku Satu”. Tokoh Hatuhaha dalam berbagai survei memiliki elektabilitas rendah bahkan dalam analisis dan rekam jejak tokoh dan kader belum dapat mewujudkan tingkat “rasa” bagi rakyat Maluku yang disebut dengan; rasa simpati, rasa kagum, rasa hormat, rasa sayang dan sejumlah rasa lain sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari prestasi mereka selama berkarya atau memimpin.

Kendatipun  elektabilitas tokoh Hatuhaha rendah pada Pilkada gubernur Maluku, namun peradaban Hatuhaha telah teruji dari masa ke masa sebagai jazirah atau Uli yang banyak meng­hasilkan tokoh-tokoh besar untuk kebutuhan pemimpin di daerah, nasional bahkan dunia. Oleh sebab itu, sumber tokoh Hatuhaha cukup tersedia untuk mengisi “wakil gubernur dan wakil walikota” pada Pilkada 2024-2029. Kondisi ini mengingatkan kita pada pengulangan sejarah proses perubahan kepemimpinan awal otonomi daerah di Maluku, sebagaimana pasangan : untuk gubernur  (Karel dan Memet 2003-2008) dan walikota Ambon (Yopi dan Olivia 2006-2011) adalah sejarah kepemimpinan yang dikenang rakyat Maluku dan warga kota Ambon.

Sebaran kader anak negeri Hatuhaha terpusat di Maluku dan pulau Jawa lebih khusus DKI Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta. Kesemuanya berpotensi untuk berkompetisi dalam meraih pergeseran kepemimpinan eksekutif di daerah Maluku. Sumber kader dan tokoh Hatuhaha yang dapat mengikuti kontestasi Pilkada dapat dikelompokan menjadi dua kelompok sumber kader yaitu katagori yunior dan katagori senior.  Dibawah ini dikelompokan tokoh Hatuhaha senior antara lain :

  1. Abua Tuasikal (Mantan Bupati Malteng)
  2. Anna Latuconsina (Anggota DPD RI)
  3. Abdullah Tuasikal (Anggota DPR RI)
  4. Hamzah Sangadji (Mantan Anggota DPR RI)
  5. Mirati Tuasikal (Anggota DPD RI)
  6. Basa Alim Tualeka (Pendidik / Pengusaha)
  7. Olivia Salampessy (Mantan Wawali Ambon)
  8. Ismail Usemahu (Kadis PUPR Maluku)
  9. MAS Latuconsina (Mantan Wawali Ambon)

Selain para kader senior diatas, kita jumpai beberapa sumber tokoh yang disimbolkan sebagai kader yunior adalah :

  1. Said Latuconsina (Kepala Lantamal IX Maluku)
  2. Djalaludin Salampessy (Pj. Bupati Buru)
  3. Rakib Sahubawa (Pj Bupati Malteng)
  4. M Marasabessy (Mantan Pj. Bupati Malteng)
  5. A Wahab Talaohu (Politisi/Aktivis 98)
  6. Faisal Latuconsina (Pengusaha di Surabaya)
  7. Rustam Latupono (Waka DPRD Kota Ambon)
  8. Ikhsan Tualeka (Pegiat Sosial Politik/HAM)

Mengakhiri dua puluh lima tahun pertama otonomi daerah, seyogyanya tokoh dan kader Hatuhaha telah masuk dalam fase regenerasi agar terjaring generasi baru yang memiliki kredibilitas dan berpikir visioner untuk membangun daerah Maluku baik sebagai wakil gubernur Maluku, Bupati Maluku Te­ngah maupun wakil walikota Ambon periode 2024-2029 dengan mengedepankan “budaya malu untuk berprestasi” dan menghasilkan karya-karya besar yang selama ini belum dapat diwujudkan oleh pemimpin Hatuhaha sebelumnya.

Khusus untuk bupati Maluku Tengah 2024-2029 dibutuhkan pemimpin yang kuat menggingat wilayah ini masih menyisihkan berbagai persoalan yang fundamental untuk segera diselesaikan antara lain : kemiskinan absolut dan pengangguran; kemiskinan ekstrim dan stunting; urbanisasi tenaga kerja produktif  ke kota; pemasaran produk pertanian dan perikanan.

Puluhan tahun bapak-bapak di Maluku Tengah belum dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan umat. Mari kita tumbuhkan budaya malu untuk berprestasi, tidak saling menjegal dan membantai yang disebut pengamat sebagai acrobatic games, namun ada kearifan dan ketulusan untuk proses regenerasi, menyambut pesta demo­krasi dengan kesatria dan kesantunan. Mempertimbangkan kondisi Maluku yang kini terpuruk dari berbagai sektor agar jeritan penderitaan bangsa Maluku cepat terurai dan keluar dari kemiskinan absolut adalah harapan semua anak bangsa Maluku umumnya dan anak negeri Hatuhaha pada khususnya. Oleh: Th Latuconsina (Penulis Buku: Kepemimpinan Hatuhaha, Tinjauan Sejarah dari Masa ke Masa)