AMBON, Siwalimanews – Petrus Fatlolon mengaku sejumlah anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Ta­nimbar, meminta uang pe­licin saat proses pem­ba­hasan APBD Tahun 2020.

Mantan Bupati KKT itu akhirnya dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi SPPD fiktif BPKAD Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun anggaran 2020.

Selain Fatlolon, Mantan Ketua DPRD, Jaflaun Batlayeri, Wakil Ketua DPRD Jidon Kelmanutu dan Ricky Jauwerissa, Ketua Komisi B DPRD KKT Apolonia Laratmase, serta Anggota DPRD Piet Kait Taborat juga ikut dihadirkan sebagai saksi.

Menariknya dalam persidangan tersebut, Fatlolon mengaku para anggota DPRD saat pembahasan LPJ  melalui Wakil Ketua II DPRD, Ricky Jauwerissa meminta uang sebesar Rp50 juta untuk masing-masing anggota.

Fakta itu dibeberkan PF, sapaan akrab Fatlolon dalam sidang yang diketuai Harris Tewa, didampingi dua hakim anggota Wilson Shriver dan Anthonius Sampe Samine yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Ambon, Jumat (15/12).

Baca Juga: Polda Diminta Tetapkan Tersangka Dugaan Pemalsuan Dokumen

“Sebenarnya penyebab terjadi deadlock di Tahun 2020 pak hakim, karena permasalahan deposito 4 bank oleh pemerintah daerah. Ada juga kepentingan Wakil Ketua DPRD KKT, Ricky Jauwerissa agar hutang pihak ketiga di bayar,” ujar PF.

Lanjut PF, penyebab pembahasan LPJ saat itu deadlock karena Ricky Jauwerissa menyurati BPK soal dana Pemda KKT yang ditempatkan di bank dalam bentuk deposito.

“Ketika itu lalu BPK melakukan audit, setelah itu BPK membalas surat Jauwerissa dan tembusan surat ditujukan kepada saya, bahwa dana yang disimpan di bank dalam bentuk deposito telah sesuai mekanisme dan justru bunganya masuk kas daerah sehingga meng­untungkan daerah,”  tutur PF saat dicecar hakim.

Dikatakan, Wakil Ketua II DPRD KKT Pernah bertemu dan meminta uang sebagai pengaman LPJ yang terjadi deadlock.

“Ricky Jauwerissa ke ruangan saya dan meminta 50 juta untuk masing-masing anggota DPRD saat deadlock, ada bukti cctv-nya”, ujar PF.

Sontak mendengar jawaban Pe­trus, Ricky Jauwerissa mengatakan dirinya pergi bertemu dengan Petrus Fatlolon di tahun 2021 dan itu atas undang Petrus Fatlolon.

“Tidak benar di tahun 2020, yang saya tahu itu di tahun 2021, masih ada chat Wa di Hp saya. Itu di bulan Agustus tahun 2021. Pa PF sendiri yang wa, di tanggal 6 Agustus dan juga tanggal 8 Agustus. Kemudian saya kesana atas dasar permintaan teman-teman.  Namun saya sama sekali tidak pernah menerima uang,” tegas Jauwerissa.

Jawaban Jauwerissa kembali disanggah oleh PF, saat diminta tanggapan oleh hakim apakah DPRD sudah mendapatkan uang tersebut.

“Saya tak tahu pasti apakah uang itu sudah mereka terima atau belum, namun saya diberitahu oleh TAPD dan terdakwa Jonas bahwa untuk persoalan dengan DPRD semuanya telah aman”, tegas PF.

Tak hanya Jauwerissa, Jaflaun Batlayeri juga menyampaikan padanya kalau pembahasan deadlock.

“Pak Jaflaun katakan kepada saya bahwa kakak kita harus cari jalan keluar. Saya katakan bahwa secara teknis saya tidak ikut campur. Tapi pak Jaflaun katakan kepada saya bahwa harus dikondisikan dan perlu ada langkah-langkah. Tapi, saya tegaskan bahwa secara teknis bupati tidak ikut pembahasan,”tegas PF lagi.

Bantah

Terpisah, peran PF dalam korupsi SPPD fiktif ternyata terbantahkan dalam persidangan. Hal itu tentu membuat isu mengenai mantan bupati tersebut sama sekali tidak benar.

Fakta tersebut terungkap saat Fatlolon dicecar kuasa Hukum Anthony Hatane.

“Pa mantan bupati, ada dalam BAP ibu Kristina Sermatang bahwa ada sejumlah uang yang diberikan kepada bapak mulai dari 50 juta, 30, 20 juta, 150 juta dan 15 juta, apa ini benar?

PF menegaskan, hal itu tidaklah benar, sebab dirinya sama sekali tidak berhubungan dengan ben­dahara.

“Sama sekali tidak benar, sebab saya tidak berhubungan dengan bendahara,” ujar PF.

Jawaban PF diperkuat dengan keterangan terdakwa Jonas Batlajery menyebutkan uang tersebut dirinya sendiri yang gunakan, sehingga tidak ada aliran dana ke Mantan Bupati 2017-2022 itu.

“Tidak benar pak PF menerima dana SPPD fiktif. Saya tidak teruskan dana itu ke bupati, tapi saya gunakan dana itu untuk kepentingan pribadi dan nanti saya ganti uang uang itu.  Jadi tidak ada uang yang mengalir ke bupati,” kata tersangka, Jonas Batlajery, mantan Kepala BPKAD KKT, ketika diminta keterangan majelis hakim

Dicecar JPU

Lebih lanjut, PF saat dicecar JPU, Achmad Attamimi soal keterli­batannya dalam persetujuan ang­garan SPPD BPKAD dari Rp9 miliar menjadi Rp1,5 miliar juga di bantah PF

Meski fakta yang ditemukan penyidik bahwa ada aliran uang ke BPK RI guna memuluskan pembe­rian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dengan iming-iming bonus dana insentif daerah dengan nilai puluhan miliar.

Menurutnya BPK yang datang ke KKT, hanya menemui dirinya dengan menunjukkan surat tugas bahwa BPK akan melakukan audit penda­huluan serta audit rinci. Sedangkan menyangkut bonus DID, dirinya mengaku tidak ingat besaran nilainya.

Bahkan, tudingan bahwa oknum BPK yang melakukan nego dengan dijembatani kepala Inspektorat ke Yonas dan disampaikan ke PF.

“Temuan BPK itu disampaikan secara tertulis dan biasanya BPK akan mengirimkan hasil auditnya kepada saya. Setelah menerima hasil audit, saya disposisi ke Sekda. Secara detail tidak terkait permintaan oknum BPK. Yang disampaikan BPK ke saya hanya tentang dinas mana saja yang administrasinya lambat,” ujar PF

Jawaban PF terus dikejar JPU yang mempertanyakan nilai DID yang diterima Kabupaten Kepulauan Tanimbar. “Untuk nilainya saya sudah tak ingat,” sebut PF.

Ditanya bagaimana dengan SPPD Rp9 miliar yang digadang-gadang untuk kepentingan  Forkopimda, namun PF mengelak dengan menuding bahwa, ada politik adu domba terhadap dirinya dengan Forkopimda, mengingat dirinya akan kembali mencalonkan diri pada pilkada KKT 2024 mendatang.

Bahkan PF justru menuding balik DPRD, bahwa meminta anggarannya ditambah, Karena, masalah utama ada pada deposito pada tahun 2020 yang membuat hingga terjadi deadlock.

“Ini fitnah karena ada kepen­tingan politik. Justru akar masalah ini adalah persoalan bunga deposito yang mereka curigai itu masuk ke rekening pribadi saya, padahal hasil audit BPK me­nyampaikan tidak ada masalah dan bunga deposito itu masuk ke re­kening daerah sebagai pen­da­patan,” tandas PF lagi.

Lebih lanjut, PF akhirnya mem­bantah pernyataannya bahwa dirinya tidak dapat memastikan DPRD pernah menerima aliran uang SPPD fiktif tersebut.

“Kalau pa Jhon Kelmanutu dan Pa Jalan memang beberapa kali ke saya tetapi hanya bicara soal waktu pembahasan APBD dan LPJ. Jadi soal uang yang diminta pa Ricky tak pasti apakah mereka terima, namun saya disampaikan bahwa untuk persoalan LPJ dengan  DPRD se­muanya sudah aman,” kata PF.

Mendengar penjelasan PF, hakim ketua sebut dirinya sangat respek. dia berharap, PF ketika kembali terpilih pada Pilkada KKT September 2024 mendatang, agar melakukan pembenahan.

Sementara itu usai persidangan, Jauwerissa mengatakan perihal utang pihak ketiga yang disinggung mantan bupati PF, baginya itu wajar sebab jika dibiarkan akan semakin membengkak.

Menyinggung soal permintaan kenaikan anggaran DPRD, Jauwe­rissa sebut tidak ada.

“DPRD tidak pernah mengusulkan penambahan anggaran di setwan pada pembahasan LPJ karena menaikan dan menurunkan anggar­an itu ada pada agenda pembahasan RAPBD baik induk maupun peru­bahan,” ujarnya.

Terima Uang

Oknum anggota DPRD, anggota BPK dan oknum inspektorat Ka­bupaten Kepulauan Tanimbar, disebut ikut menikmati uang hasil korupai SPPD fiktif

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (20/11), para saksi selain mengaku ada tindakan mark up perjalanan dinas yang dibikin fiktif, tetapi juga ada oknum-oknum DPRD KKT, inspektorat hingga BPK Perwakilan Maluku yang juga menerima uang SPPD tersebut.

Sebelumnya, JPU Kejari Tanimbar, Stendo B Sitania, mengungkapkan peran enam terdakwa yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi ang­garan perjalan dinas pada BPKAD Kabupaten Kepulauan Tanimbar di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (11/10).

Enam pejabat BPKAD Kabupaten Kepulauan Tanimbar  tersebut yaitu, Yonas Batlayeri, Kepala BPKAD Tahun 2020, Maria Gorety Batlayeri, Sekretaris BPKAD tahun 2020, Yoan Oratmangun, Kabid Perbendaharaan BPKAD Tahun 2020, Liberata Malirmasele Kabid Akuntansi dan Pelaporan BPKAD tahun 2020, Letharius Erwin Layan, Kabid Aset BPKAD tahun 2020 dan Kristina Sermatang,Bendahara BPKAD tahun 2020.

Jaksa Penuntut Umum Kejari Tanimbar Stendo B Sitania dalam dakwaannya menjelaskan, tindak pidana yang dilakukan para terdakwa terjadi pada awal Januari sampai Desember 2020.

Saat itu anggaran perjalanan dinas sebesar Rp9 miliar lebih dikelola para terdakwa untuk membiayai  perjalanan dinas dalam daerah maupun di  luar daerah.

Namun, atas perintah pimpinan anggaran itu digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Akibatnya atas perbuatan 6 terdakwa itu, negara mengalami kerugian keuangan negara sebesar Rp6.682.072.402. (S-26)