MEMBACA Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) yang berpulang Jumat, 27 Mei 2022, ibarat menelaah lembaran-lembaran buku yang kisah perjalanan, pemikiran, dan perjuangannya terus mengalir serta semuanya bernilai; banyak pelajaran yang tersedia dan seharusnya dibaca, dimengerti, dan diikuti siapa pun. Di antara pelajaran penting ialah perjalanannya menembus sekat agama, budaya, dan bangsa. Sepenting apa dan bagaimana ia bisa melakukan itu?

Lahir di sebuah kecamatan kecil Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat, Buya Syafii muda menjalani pendidikan awal di kampungnya. Tidak mudah ia jalani karena tak cukup biaya. Kemudian merantau ke Yogya dan Surakarta. Karena kesulitan ekonomi, apalagi sejak ayahnya meninggal, pendi­dikannya di dua kota itu sempat terganggu karena harus bekerja di sebuah toko, dagang kecil-kecilan, menjadi guru ngaji dan guru honorer.

Satu hal yang penting untuk digarisbawahi bahwa sejak di Jawa, ia mengalami transformasi penting dari seorang ‘anak kampung’ menjadi ‘anak kota’ berseja­rah, yaitu Surakarta dan Yogya. Ia bersentuhan secara intensif dengan orang dan kelompok masyarakat yang berbeda secara kultural, agama, dan profesi. Ia juga mulai banyak mengenal tokoh-tokoh penting dan bahkan menjadi bagian dari gerakan Muhammadiyah. Buya Syafii muda tak mengurung dan menutup diri.

Era formatifnya di Jawa ini sangat penting, antara lain juga karena ia hidup dan bergerak di zaman pancaroba politik pada 1950-an. Tahun-tahun itu, ada gesekan antarkekuatan-kekuatan ideologi politik, ada Sidang Konstituante, pemilu panas 1955, ada jatuh bangunnya kabinet, ada Nasakom, menggeliatnya PKI, dan masih banyak lagi. Semua peristiwa di panggung politik nasional dan bagaimana keterkaitannya dengan gagasan dan perjuangan politik umat Islam telah menjadi perhatian Syafii muda.

Maka, Buya Syafii kemudian menulis disertasinya di universitas Chicago dengan judul Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Era Chicago, melanjutkan era sebelumnya (Sumpur Kudus dan sekitarnya, Surakarta, Yogyakarta, dan kemudian Ohio), memang sangatlah menentukan bagi Buya Syafii. Tidak saja international journey yang ia lakukan, tetapi ia mulai mengenal pemikiran men­dalam kaitan agama dengan kemanusiaan dari para ahli dan akademisi. Ia mulai membangun landasan-landasan argumentasi intelektual dan agama yang kukuh, yang meyakinkannya bahwa sekat ruang atau kamar-kamar (Al-Hujurat) kehidupan haruslah dibuka, jangan ditutup supaya udara segar, relasinya luas, pandangan, dan cakrawalanya pun menjangkau luas.

Baca Juga: Borobudur Menuju Turisme Berkualitas

Dengan membuka sekat kamar agama, budaya, dan bangsa, maka sesrawungan, respek, toleransi, dan kerja sama yang genuine di kalangan masyarakat yang berbeda untuk membangun dan memperkukuh kehidupan bersama bisa terbangun dengan baik. Eksklusifisme atas nama sosial, agama, dan atas nama apa pun haruslah diakhiri karena tidak akan memberikan manfaat apa-apa.

Era Ohio dan Chicago juga sangatlah bersejarah karena ia telah membuktikan dirinya berhasil menembus batas dan berhijrah dari kampung lokal Sumpur Kudus menuju kampung mondial Ohio dan Chicago. Ia bersama dua rekannya, yaitu Amien Rais dan Nurcholish Madjid, berguru kepada seorang intelektual dan ilmuwan dunia, yaitu Fazlur Rahman, pemikir dan penebar neomodernisme Islam yang ditolak di negerinya. Perjumpaan dengan gurunya itu sangatlah penting karena berpengaruh terhadap pemikiran atau paham-pahamnya tentang Islam dan bagaimana harus ditampakkan sebagai basis-basis penting kehidupan dan peradaban.

Mengikuti jejak para ulama, Buya Syafii di kemudian hari menjadi seorang intelektual, penggerak, dan pejuang yang sangat berpengaruh menembus batas. Karena itulah, Gus Dur, beberapa tahun silam, menyebut Buya Syafii dan dua sahabat kentalnya sebagai ‘tiga pendekar dari Chicago’ murid Fazlur Rahman.

Selain secara langsung mendapatkan pengaruh dari Fazlur, Buya Syafii sebetulnya juga pengagum pemikir seperti Hassan al-Banna (tokoh penting ikhwan muslimun, Mesir) dan Abul A’la Maududi, seorang tokoh penting di balik gagasan Republik Islam Pakistan. Dua-duanya mengampanyekan ideologi politik Islamisme dan bahkan Buya Syafii sempat memimpikan sebuah negara Islam di Indonesia meskipun di kemudian hari ia koreksi karena ide ini tidaklah realistis.

Buya Syafii yang terlahir sebagai ‘anak kampung’ yang taat beragama, sangat terbatas secara ekonomi, sederhana, pekerja ulet, dan tahu betul kehidupan haruslah diperjuangkan dan dilindungi, telah tertransformasi menjadi seorang muslim yang kukuh kepribadian dan teguh pendirian, atentif, dan pejuang kemanusiaan. Lalu, kritis secara intelektual, bersahabat dan rekat dengan banyak tokoh lintas golongan, budaya bangsa, dan agama. Tidak saja orang-orang lokal, tetapi juga komunitas nasional dan internasional yang ia sapa dan sahabati dengan penuh respek dan cinta. Meskipun banyak kalangan yang masih sulit menerima dan sependapat dan bahkan tak sedikit juga mengecam pandangan dan argumentasi-argumentasinya, tak bisa ditolak kenyataan bahwa Buya Syafii ialah pencinta dan pejuang kemanusiaan universal.

Karena itu, tidak berlebihan jika ada yang berpandangan bahwa dia sebetulnya ialah ‘manusia universal’ yang menginspirasi karena menyediakan begitu banyak pelajaran dan keteladanan tentang dan untuk kemanusiaan. Kehadirannya benar-benar kontekstual dan sangat dibutuhkan, terutama pada saat peradaban kita sedang dirongrong dan dicabik-cabik orang-orang yang egosentris, haus harta, hormat, dan kekuasaan yang mengakibatkan berbagai masalah fundamental: kesenjangan sosial ekonomi, pertentangan, ketidakadilan, pelanggaran terhadap kedaulatan dan hak-hak asasi manusia, genosida, apartheid, fobia, ekstremisme, dan korupsi akut.

Agama kerahmatan

Sejalan dengan jargon Islam rahmatan lil alamin, Buya Syafii sangat berkeyakinan penuh bahwa Islam diturunkan dan ditebarkan untuk menciptakan kerahmatan dan karena itu menjadi kewajiban muslim untuk mewujudkannya secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Melalui sebuah kepemimpi­nan yang amanah dan bermoral agung, cita-cita mewujudkan kerahmatan haruslah diperjuangkan. Bagi umat Islam, sebuah masyarakat yang berbasis kepada landasan moral dan etika Al-Qur’an dan dengan kepemimpinan propetis sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kerahmatan ini.

Dalam kaitan ini Buya Syafii kemudian me­nganjurkan agar Piagam Madinah–sebagaimana yang diterapkan era kepemimpinan Rasul di Madinah–patut menjadi sumber inspirasi moral bagi upaya membangun dan memperkuat demokrasi modern. Piagam Madinah memang kompatibel dengan demokrasi dan bahkan dengan Pancasila karena mengandung prinsip-prinsip atau sila-sila penting antara lain menghargai perbedaan, kebebasan beragama, toleransi, kesederajatan, persatuan dan kebersamaan, keseimbangan (ekuilibrium), saling melindungi, pembelaan terhadap kedaulatan dan keadilan, serta ketaatan kepada hukum.

Buya Syafii sangat menyadari bahwa saat ini prinsip-prinsip tersebut masih belum sepenuhnya tegak, termasuk di Indonesia. Secara ekonomi, kesenjangan masih dan bahkan semakin terasa. Tidak sedikit masyarakat yang tersingkirkan dan termiskinkan oleh struktur kekuasaan yang memang tidak memihak kepada keadilan. Dalam waktu yang bersamaan kerakusan semakin menjadi-jadi, korupsi terus berlangsung tak terkendalikan secara efektif karena lemahnya law enforcement. Kekuatan kelompok oligarki pun semakin mencengkeram dan mengendalikan kekuasaan memicu kesemrawutan dan ketidakmenentuan. Sentimen atau egosentrisme mengatasnamakan kelompok dan agama ikut memperkeruh situasi kebangsaan, menimbulkan segregasi, dan mengancam integrasi.

Ditambah lagi, berbagai penistaan dan tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama apa pun, termasuk oleh negara dan semua pelanggaran HAM telah menambah daftar problem kemanusiaan. Semua ini menyebabkan kesedihan Buya Syafii karena bangsa dan kemanusiaan telah dicabik-cabik dan dirongrong mereka yang nalar dan nuraninya sakit. Karena itu, menjadi kewajiban semua pihak yang sadar untuk secara bersama-sama bertanggung jawab memperjuangkan dengan sepenuh hati mewujudkan ‘rahmat’, bukan sebaliknya ‘laknat’ dan itulah tujuan penting Islam.

Syajarah thayyibah

Semoga tak berlebihan membahas secara reflektif tentang Buya Syafii dengan mengutip kandungan Al-Qur’an Surah Ibrahim ayat 24-25. Apa yang menjadi keprihatinan mendalam, yang dipikirkan dan kemudian diungkapkan serta diperjuangkan dalam rangka mengukuhkan nilai-nilai luhur kehidupan ialah kalimah thayyibah. Suaranya yang lantang terhadap keserakahan dan ketidakadilan, persengketaan dan segregasi, intoleransi dan ekstremisme atas nama apa pun, kepemimpinan yang tidak bermoral, dan pelanggaran HAM ialah kalimat thayyibah Buya Syafii yang dalam ayat 24 diumpamakan sebagai syajarah thayyibah atau pohon yang baik. Suara lantangnya, sekaligus juga menggambarkan keimanannya yang mengakar kuat, bercita-cita dan beridealisme tinggi dan luhur, kehadirannya dibutuhkan dan menyejukkan siapa pun, sekaligus memberikan manfaat atau kemaslahatan umum dan menciptakan keadilan.

Syajarah thayyibah itu bisa dipahami sebagai sikap beragama teo-antroposentris dan itulah keberagamaan Buya Syafii. Karena itu, pandangan dikotomik dunia-akhirat tidaklah bersesuaian dengan prinsip kehidupannya dan atas dasar ini sekularisme ia tolak. Beragama secara teosentris pun hemat saya ditolak secara tegas oleh Buya Syafii karena ini menjadi pintu masuk bagi ide dan gerakan negara agama, termasuk Islamisme.

Bagi Buya Syafii, Indonesia yang berbasis kepada Pancasila ialah model ideal ‘neither Islamic nor secular state’ dan itulah yang bersesuaian dengan ungkapan simbolis syajarah thayyibah yang mendeskripsikan kekukuhan kepribadian, orientasi vertikal ketuhanan dan idealisme tinggi tidak sumbu pendek, sekaligus orientasi horizontal untuk kemanusiaan.

Dalam konteks Indonesia, muslim sejati ialah mereka yang memiliki akar agama yang kuat, ketaatan kepada ajaran agama tak diragukan sekaligus yang mencintai dan melindungi bangsa, negara Indonesia, dan kemanusiaan universal, serta kehadirannya menyejukkan. Wallahualam! Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, murid langsung Buya Syafii saat menjadi peserta Program Pembibitan Dosen IAIN angkatan pertama tahun 1998 di Semarang