BERDASARKAN data The Worlds Atlas of  Languages, terdapat 8.324 bahasa di dunia dengan 7.000 bahasa masih digunakan. Berdasarkan publikasi Ethnoloque, ada 7.164 bahasa masih hidup atau dituturkan di dunia. Banyak dari bahasa-bahasa ini mengalami permasalahan yang sama, yaitu bahwa para penuturnya berhenti menuturkannya atau menuturkannya, tetapi ranah penggunaannya berkurang, dan terhentinya penurunan bahasa dari generasi ke generasi sehingga tidak ada penutur baru. Artinya, tingkat daya hidup (vitalitas) bahasa-bahasa di dunia mengalami penurunan. Bahkan, tercatat bahwa ada bahasa yang punah atau tidak ada lagi penuturnya.

Menurut Michael Kraus (1992),  60—80% bahasa di dunia ada pada level bahasa hampir punah. Pada 20 tahun setelah pernyataan tersebut, Simon & Levis (2013) mengonfirmasi bahwa dengan angka data bahasa yang dimiliki SIL pada tahun 2013, yaitu 7.103 bahasa yang masih hidup/dituturkan di dunia, ada 1.360 bahasa atau sekitar 19% dari bahasa yang ada di dunia tidak lagi dipelajari oleh anak-anak. Artinya, bahasa-bahasa tersebut tidak lagi mempunyai penutur-penutur muda.

Jumlah penurunan vitalitas bahasa di dunia tersebut dapat disandingkan dengan data bahasa di Indonesia. Dalam Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) pada tahun 2019, terdapat 718 bahasa di Indonesia dan dalam data Kantor Bahasa Provinsi Maluku (KBPM), teridentifikasi ada 70 bahasa daerah di Maluku. Paling tidak, ada sekitar 19% dari bahasa-bahasa ini juga tidak lagi memiliki penutur-penutur muda. Dengan ketiadaan penutur muda secara terus-menerus, sebuah bahasa pasti akan ada pada tingkat daya hidup paling rendah dari sebuah bahasa, yaitu punah.

Dalam kajian daya hidup bahasa, ada pakar/lembaga yang membagi tingkat daya hidup itu ke dalam 9 tingkatan, 7 tingkatan, 6 tingkatan, atau 5 tingkatan dari tingkat paling atas ke tingkat terendah. Namun, semuanya menyepakati bahwa tingkat yang paling rendah adalah punah. UNESCO (2003) mencirikannya dengan tidak ada seorang pun yang dapat menuturkan atau mengingat bahasa itu (pada faktor transmisi bahasa), tidak ada satu pun penuturnya (pada faktor jumlah penutur), tidak ada orang yang menggunakan bahasa itu (pada faktor jumlah dari total jumlah penduduk), bahasa tidak dituturkan di ranah mana pun dan untuk tujuan apa pun saat itu (pada faktor tren dalam ranah penggunaan serta faktor tanggapan terhadap ranah baru dan media), tidak ada bentuk tertulis atau bahan dari bahasa tersebut yang ada di masyarakat (pada faktor bahan pembelajaran bahasa dan literasi serta faktor pendokumentasian bahasa). Lalu, jika dikaitkan dengan sikap bahasa, tidak ada seorang pun yang peduli jika bahasa itu tidak ada lagi dan masyarakat memilih untuk menggunakan bahasa yang dominan saja. Lalu, Badan Bahasa dalam konsensus pada Konsinyasi Bahasa Terancam Punah (2011) menyepakati definisi bahwa bahasa punah ialah bahasa yang memiliki indeks daya hidup bernilai 0 dan tidak ada penutur.

 

Baca Juga: Kemajuan Maluku Butuh Pemimpin Rasional

Pada tahun yang sama dengan pembaruan Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia (https://petabahasa.kemdikbud.go.id/) pada tahun 2019, Badan Bahasa menyatakan ada 11 bahasa punah di Indonesia dengan 8 bahasa punah di Provinsi Maluku, yaitu bahasa Kajeli/Kayeli, bahasa Piru, bahasa Moksela, bahasa Palumata, bahasa Hukumina, bahasa Hoti, bahasa Serua, dan bahasa Nila. Beberapa tahun sebelumnya, KBPM dalam publikasi tahun 2016 menyebutkan bahwa ada empat bahasa di Maluku dinyatakan punah, yaitu bahasa Kayeli, bahasa Moksela, bahasa Palumata, dan bahasa Hukumina. Pada publikasi tahun 2017, KBPM mendata bahwa dari 48 bahasa daerah yang ada Maluku, ada 7 bahasa daerah dinyatakan punah, yaitu bahasa Kayeli, bahasa Moksela, bahasa Palumata, bahasa Hukumina, bahasa Piru, bahasa Loon/Luon, dan bahasa Hoti. Lalu, dalam pernyataan Kepala Badan Bahasa pada tahun yang sama yang dikutip beberapa surat kabar harian di Indonesia, disebutkan bahwa ada lima bahasa di Maluku yang dinyatakan punah, yaitu bahasa Kayeli, bahasa Palumata, bahasa Moksela, bahasa Hukumina, dan bahasa Loun.

Seiring dengan kepedulian terhadap isu kepunahan bahasa, pernyataan Badan Bahasa pada tahun 2019 mengenai 11 bahasa punah di Indonesia tersebut masih sering dikutip oleh berbagai pihak hingga tahun 2024 ini. Padahal, dalam dokumen yang menjadi pedoman program Revitalisasi Bahasa Daerah (2022) berdasarkan kajian vitalitas dari tahun 2011—2021 pada 113 bahasa dari 718 bahasa, Badan Bahasa menyatakan bahwa ada lima bahasa punah. Bahasa yang punah tersebut adalah bahasa Hoti (Maluku), bahasa Kaiely (Maluku), bahasa Mawes (Papua), bahasa Piru (Maluku), dan bahasa Tandia (Papua Barat).

Jika dibandingkan dengan data bahasa punah tahun 2019, bahasa yang punah di Maluku tidak sebanyak sebelumnya (dari 8 bahasa menjadi 3 bahasa). Perubahan ini didasarkan pada verifikasi yang dilakukan terhadap data yang ada sebelumnya. Misalnya, bahasa Nila dan bahasa Serua yang dinyatakan sebagai bahasa punah pada tahun 2019 itu mempunyai penutur, khususnya di Kecamatan Teon Nila Serua di Kabupaten Maluku Tengah (dengan penutur yang dipindahkan oleh negara pada tahun 1978 dari Pulau Teon, Pulau Nila, dan Pulau Serua di tengah Laut Banda). Bahasa Hukumina dan bahasa Palumata merupakan bahasa yang sama dan masih ada penuturnya. Bahasa Moksela merupakan bahasa yang dituturkan di Kepulauan Sula, Maluku Utara. Oleh karena itu, pemutakhiran data pada tahun 2022 mengenai bahasa punah di Maluku hanya menyebutkan tiga bahasa punah, yaitu bahasa Hoti, bahasa Kaiely (Kayeli), dan bahasa Piru.

Bervariasinya informasi yang diterima oleh masyarakat mengenai data bahasa punah di Maluku menjadi pemacu harus dilakukannya kajian vitalitas bahasa lebih lanjut. Upaya pelestarian bahasa daerah juga perlu ditingkatkan untuk mengiringinya sehingga jumlah bahasa punah di Maluku tidak bertambah dan vitalitas 70 bahasa yang terdata ada di Maluku pun meningkat.Oleh: Kity Karenisa, S.S., M.A. (Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku)