Ibarat seorang pendekar yang galau melihat kekacauan di rimba persilatan, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono berencana turun gunung karena mencium aroma Pemilu 2024 bakal berjalan tidak adil.

Apa yang diungkapkan Presiden Keenam Republik Indonesia tersebut tentulah bukan rumor, bukan isu, apalagi gosip.

Sebagai orang yang paham betul peta perpolitikan indonesia, terlebih dua periode menjadi presiden, tentu SBY tak akan bicara kosong.

Perasaan SBY yang bisa dibilang sebagai begawan di Partai Demokrat, tentulah amat prihatin. Seperti yang tergambar dalam pidatonya yang disampaikan dalam agenda tertutup Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat di Jakarta, Kamis 15 September 2022.

SBY dengan lugas mengungkapkan dirinya terpaksa turun gunung menghadapi Pemilu 2024 yang sudah di ambang mata. Nuraninya terusik karena ia mengaku mengetahui ada tanda-tanda Pemilu 2024 bisa berlangsung tidak jujur dan tidak adil.

Baca Juga: Cita, Cinta dan Tekad yang Menembus Batas

Konon akan diatur dalam pemilihan presiden nanti yang hanya diinginkan oleh mereka dua pasangan capres dan cawapres saja yang dikehendaki oleh mereka. Informasinya Partai Demokrat sebagai oposisi jangan harap bisa mengajukan capres-cawapresnya sendiri, bersama koalisi tentunya. Jahat bukan? Menginjak-injak hak rakyat bukan? Begitu kata SBY.

Kecurangan seperti apa sih yang sebetulnya dirasakan Pak SBY? Apakah hanya karena Demokrat tak bisa mengajukan capres atau cawapres lantas kemudian dikatakan ada kecurangan?

Sebagai mantan presiden, SBY pastinya paham mengenai regulasi. Apalagi, di masa menjabat periode pertama, pemerintahannya bersama DPR mengubah ambang batas syarat pengajuan capres dan cawapres .

Presidential threshold

Bila berdasarkan Undang-Undang nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wapres, ambang batas pengajuan presiden adalah parpol atau gabungan parpol dengan minimal 15% kursi DPR atau 20% suara sah. Dan pada Undang-Undang nomor 42 tahun 2008, ambang batas menjadi 25% kursi DPR atau 20% suara sah nasional.

Kini, mengacu Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, ambang batas itu menjadi 20% kursi DPR atau 25% suara sah pemilu sebelumnya.

Memang, Partai Demokrat di DPR bersama Gerindra, PAN, dan PKS adalah fraksi yang walk out saat pengesahan RUU Pemilu pada 2017. Akan tetapi, undang-undang ketika disahkan berarti berlaku bagi seluruh warga negara tanpa mempersoalkan apakah walk out atau tidak.

Kita yakin, Pak SBY paham. Apalagi, Pak SBY kan doktor honoris causa bidang politik selain belasan gelar doktor honoris causa lainnya. Jadi, pak SBY pasti tahu kalau Partai Demokrat hendak memastikan diri bisa mengajukan calon presiden di 2024 ya harusnya meraih suara lebih dari 20% kursi DPR atau 25% suara sah di Pemilu 2019. Kalau tidak bisa, ya harus menyatukan kekuatan dengan partai lain untuk mencapai ambang batas itu. Entah itu dengan istilah koalisi, kerja sama, kolaborasi, atau apapun istilahnya. Dan untuk bisa menjalin kekuatan, di situlah mungkin berlaku prinsip yang dikatakan ilmuwan politik Harold Lasswell, siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.

Kembali ke soal kecurangan, apakah SBY mengacu kecurangan seperti yang kerap dimunculkan seusai pemungutan suara di hadapan hakim Mahkamah Konstitusi dengan istilah terstruktur, sistimatis, dan masif. Dan tidak seluruh tudingan itu yang terbukti kan?

Pertanyaan yang kerap muncul di benak masyarakat adalah, apa iya ada pemilihan umum yang jujur 100%? Semua berjalan di atas relnya. Sederhananya begini, kalau memang tak ada kecurangan, Mahkamah Konstitusi tentu akan nganggur karena tak ada gugatan yang dilayangkan. Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu tentu tak perlu cawe-cawe, atau bahkan tak perlu ada Bawaslu.

SBY dan kecurangan

Publik tentu masih ingat bagaimana Pak SBY ketika masih berkuasa kerap menegaskan pemilu yang ber­langsung pada 2009 dan 2014 tidak curang.

Seperti, pada April 2009, SBY meminta bukti kecurangan pemilu yang disebut-sebut menyeret pemerintah selaku incumbent. “Kita mendengar ada isu-isu tentang jangan-jangan pemilu curang. Bahkan, yang dianggap curang adalah yang sedang memerintah. Mari kita buktikan.”

Lalu, pada 10 Agustus 2009, SBY dalam suatu kesempatan menyatakan, “Dalam kapasitas sebagai capres dan incumben saya harus menahan diri dan kesabaran berbulan-bulan karena dianggap curang, sesungguhnya ini termasuk pencemaran nama baik, sebaiknya berhati-hati menuduh curang, apalagi tidak bisa membuktikan.”

Dan pada 6 April 2014, SBY mengatakan di era reformasi yang terbuka dan demokratis di Indonesia saat ini, tidak ada ruang dan sulit bagi siapapun untuk melakukan kecurangan dalam pemilu karena banyak pihak yang mengawasi.

Sebuah video lawas wawancara dengan SBY juga kembali beredar. Dalam video itu, SBY mengungkapkan bahwa mereka yang berteriak-teriak pemilu curang, orangnya ya itu-itu saja. Bahkan masih ditambahkan jangan-jangan orang yang sering menuduh pemilu curang, dulunya sering curang.

Sejatinya masalah kecurangan dalam pemilu bukanlah sesuatu yang baru. Simak saja penegasan Menko Polhukam Mahfud MD yang terang-terangan menyebut kecurangan dalam proses pemilu pasti terjadi.

Dalam penegasan Mahfud, ada atau tidak tudingan SBY dan pihak lain terkait kecurangan pemilu, pemilu pasti diwarnai kecurangan. Begitu kata Mahfud, Kamis 22 September 2022.

Ia mendasari pernyataannya itu ketika menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, kerap menangani berbagai gugatan kecurangan dalam pemilu. Bahkan ketika zaman SBY berkuasa, kecurangan juga terjadi.

Hanya saja Mahfud menegaskan, kecurangan itu bukan dilakukan pemerintah terhadap partai politik, tapi melibatkan kontestan pemilu. Berbeda dengan masa Orde Baru ketika kecurangan justru dilakukan penguasa.

Bila menengok sejenak ke belakang, di masa Orde Baru bisa dikatakan sudah ada posisi pemenang kendati pemilu baru mau dilakukan. Posisi yang terjadi adalah Golkar sebagai jawara, disusul Partai Persatuan Pembangunan, dan kemudian Partai Demokrasi Indonesia.

Pada masa Orba, pemilu sudah berlangsung enam kali yaitu pada 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Ketika 1971 diikuti 10 partai politik dan Golkar meraih suara terbanyak. Kemudian sejak 1977 hingga 1997 pemilu hanya diikuti tiga kontestan, dan selama itu pula Golkar menjadi pemenang. Ketika itu dikenal istilah jalur ABG, yaitu ABRI, birokrasi, dan golkar. Sehingga mustahil PPP dan PDI menyodok posisi Golkar.

Kredibilitas pemilu

Pernyataan SBY tersebut tak pelak disayangkan sejumlah pihak. Hal itu dinilai dapat menurunkan kredibilitas pemilu. Apalagi, pernyataan itu tak disertai data.Yang saya sayangkan satu, statement dari seorang mantan presiden ketika mengeluarkan sebuah pernyataan yang berpotensi mengguncang stabilitas politik, atau menurunkan kredibilitas dari pemilu 2024 itu, harusnya disertai data. Itu kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam sebuah berita media kompas.com, Rabu 21 September.

Yunarto menuturkan, dibandingkan masa Orde Baru, saat ini potensi melakukan kecurangan pemilu secara terstruktur, masif, dan sistematis, justru lebih minim. Pasalnya, semua elemen masyarakat bisa ikut terlibat mengawasi seluruh proses pemilu, mulai dari kampanye hingga perhitungan suara. Bahkan kalau dirasa ada kecurangan, bisa lapor ke pihak berwenang. Hal-hal yang tak mungkin dilakukan saat rezim orde baru.

Terlepas dari konstelasi calon presiden saat ini, parpol-parpol yang berhak mengajukan jagoan untuk bertarung di pemilu 2024 memang sedang gencar menjalin komunikasi. Mereka mencari kecocokan satu dengan yang lain.

Persoalan apakah SBY sedang menggadang-gadang Ketua Umum Partai Demokrat yang tidak lain adalah putranya sendiri, Agus Harimurti Yudhoyono untuk menjadi salah satu kandidat capres atau cawapres, itu masalah lain.

Kita percaya SBY tidak hendak mengganggu kredibilitas pemilu demi langgam politik sang putra. Karena, kalau sudah seperti itu, jahat bukan?

Setidaknya yang harus diperhatikan adalah tingkat keterpilihan masing-masing kandidat. Jangan pernah melupakan suara rakyat, karena merekalah pemegang mandat yang akan menentukan kepada siara suara dititipkan. Oleh: Eko Suprihatno Editor Media Indonesia (*)