JUMLAH kasus covid-19 masih terus bertambah, Sejak 31 Desember2019-Oktober 2020, sudah 36.941.672 kasus covid-19 Jdi dunia dan 1.068.944 kematian. Di RI, sudah lebih 330 ribu pasien covid- 19 dengan penambahan kasus sekitar 4.000 orang/hari dan lebih 11 ribu kematian. Pengendalian covid-19 perlu dilakukan dari hulu ke hilir secara menyeluruh, dari test, trace dan treat, dari peran serta masyarakat sampai ke penanganan di RS rujukan. Salah satu komponen kegiatan di RS ialah penentuan obat apa yang akan dipilih, baik yang berfungsi antivirus, terapi berbasis imunitas, maupun adjunctive therapy. Itu karena penyakit ini baru ditemukan pada Desember 2019 dan sekarang Oktober 2020, artinya penyakit ini baru ‘berumur’ 10 bulan. Maka dari itu, masih banyak hal yang belum diketahui dan masih banyak penelitian yang dilakukan, antara lain untuk menentukan mana obat yang tepat.

Dari pengalaman, hasil satu penelitian juga mungkin saja berubah dengan temuan hasil penelitian berikutnya. Di sisi lain, pasien yang ada komorbid (apalagi yang sedang dan berat), tentu perlu dapat obat. Karena itu, berbagai organisasi mengeluarkan pedoman dan petunjuknya sesuai hasil kepustakaan yang ada dan pedoman ini biasanya akan direvisi kalau ada bukti ilmiah baru. Pengetahuan tentang obat covid-19, termasuk variasinya yang dinamis, perlu dipahami masyarakat luas agar masyarakat memahami keputusan pemberian obat yang dilakukan petugas kesehatan. Antivirus Ada berbagai antivirus yang kini tersedia, seperti remdesivir yang konon digunakan Presiden Trump. Contoh lain yang juga cukup banyak digunakan di dunia ialah liponavir/ritonavir, fapiviravir, dll. Dalam dokumen pengobatan dari National Institute of Health (NIH) AS versi Oktober 2020 juga disebutkan, chloroquine/hydroxychloroquine dengan atau tanpa azythromycine dan obat ivermectin walaupun tampaknya yang NIH pilih di AS untuk antivirus saat ini ialah remdesivir untuk pasien yang di rawat di RS. WHO masih melakukan penelitian solidarity trial untuk mencari obat mana yang akan direkomendasikan. Tadinya obat antivirus yang diteliti, termasuk chloroquine/hydroxychloroquine dan juga liponavir/ritonavir. Namun, perkembangan terakhir yang tetap dilanjutkan penelitian­nya ialah remdesivir. Indonesia juga ikut solidarity trial WHO ini bersama puluhan negara lain di dunia. Favipiravir merupakan obat antivirus lain yang sudah digunakan sejak kejadian awal di Wuhan.

Beberapa negara Eropa lalu menggunakannya, selain di Jepang dan Arab. India menggunakannya untuk covid-19 yang ringan dan sedang. Ivermectin ialah obat cacing yang belakangan juga diteliti efektivitasnya untuk covid-19. Termasuk 16 penelitian yang ada di data base uji klinis yg dilaporkan ke WHO. Tampaknya, kita masih harus menunggu hasil akhirnya untuk mengetahui apakah bermanfaat atau tidak. Terapi berbasis imunitas Ada dua jenis di kelompok ini. Pertama, yang berhubungan dengan darah. Yang kedua, jenis imunomodulator. Termasuk yang pertama ialah plasma konvalesen yang banyak diberitakan belakangan ini, penelitiannya sedang berjalan. Petunjuk pengobatan covid-19 Kementerian Kesehatan Singapura (Agustus 2020) mengutip bahwa The Food and Drug Administration (FDA) AS telah mengeluarkan emergency use authorization (EUA) untuk plasma konvalesen, dengan berpendapat sejauh ini manfaat lebih besar dari risikonya, sambil menunggu hasil penelitian lebih lanjut.

Sementara itu, Chief Scientist WHO menyampaikan, sejauh ini masih sedikit uji klinis tentang plasma konvalesen. Sebagian memang menunjukkan hasil baik, tapi jumlah datanya masih terbatas dan inconclusive. Karena itu, WHO masih menyebutkan plasma konvalesen bersifat terapi eksperimental. Bukti ilmiahnya masih terbatas. Masih perlu uji klinis sebelum diputuskan direkomendasikan luas atau tidak. Jenis kedua, imunomodulator terdiri atas kortikoste­roid, interferon (alfa, beta), penghambat interleukin-1 dan interleukin-6, serta penghambat kinase. Kita sudah mendengar hasil penelitian di Inggris pada Juni 2020 tentang deksametason, jenis kortikosteroid yang bermanfaat untuk pengobatan covid-19 yang berat dan kritis.

Hasil ini diapresiasi juga oleh Direktur Jenderal WHO dan kini banyak dipakai di berbagai negara, termasuk RI. Sementara itu, dua obat jenis imunomodulator ini masuk dalam WHO solidarity trial, yaitu interferon beta 1a dan penghambat kinase. Tepatnya, kelompok Bruton’s Tyrosine Kinase Inhibitors, yang nama obatnya ialah acalabrutinib, yang bersifat menangani badai sitokin yang kerap membuat pasien covid-19 jadi parah keadaannya. Vitamin dan antitrombotik Sebenarnya kelompok ini dalam bahasa Inggris disebut adjunctive therapy, yang meliputi vitamin C, D, zinc, dan antitrombotik. Cukup banyak dokter yang menganjurkan penggunaan vitamin dan suplemen dalam pengobatan juga mungkin pencegahan. Manfaat sebenarnya masih terus dikaji dalam berbagai penelitian. Salah satu surat ke redaksi Jurnal Kedokteran Internasional BMJ Oktober 2020 menyebutkan, ada hampir 30 penelitian yang menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang optimal akan menurunkan risiko terkena covid-19. Walau memang ada juga para ahli yang masih membutuhkan bukti ilmiah lebih kuat lagi. Penelitian lain di Jurnal Nutrition menunjukkan ada peningkatan mediator interleukin-6 endothelin-1 pada pasien covid-19 yang berat. Vitamin C dosis tinggi ternyata dapat menurunkan mediator ini dan tulisan ini juga menyebutkan vitamin C dosis rendah mungkin dapat berperan sebagai pencegahan. Namun, hal ini masih perlu uji klinis lebih lanjut untuk membuktikannya secara ilmiah.

Baca Juga: UU Ciptaker, Kembalinya Muruah Hukum Sipil

Selain adjunctive therapy ini, ada juga beberapa obat lain yang sedang dalam penelitian dan sebagian mungkin sudah dicoba digunakan. Beberapa obat itu antara lain angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors dan angiotensin receptor blockers (ARBs), serta HMGCoA reductase inhibitors (statins). Bukan hanya paru Karena penyakit ini menyerang paru dan saluran napas, faktor gangguan ketersediaan oksigen bagi tubuh pasien menjadi hal penting. Inilah alasannya bahwa kadar oksigen harus terus dimonitor. Termasuk bagi mereka yang karantina mandiri di rumah atau di tempat penginapan, seperti hotel. Sebagian negara dianjurkan menggunakan alat oximetry yang dapat digunakan di jari pasien. Kalau terjadi gangguan oksigenasi, perlu dilakukan tindakan khusus, mulai kanal hidung biasa, high fl ow device, ventilasi noninvasif, ventilasi mekanik ventilator, dan mungkin sampai ke ECMO (extracorporeal membrane oxygenation) atau semacam paru-paru buatan. Walaupun covid-19 utamanya menyerang paru-paru, dengan berjalannya waktu kita melihat, ia juga menyerang alat tubuh lain. Laporan kasus meliputi covid-19 yang menimbulkan gangguan di jantung dan pembuluh darah, kulit, hematologi, hati, sistem saraf, ginjal, dan alat tubuh lain. Belum lagi, laporan kejadian tromboembolik. Hal ini menunjukkan penanganan yang diberikan dapat saja bersifat multidisiplin kedokteran walau utamanya memang di paru.

Khusus untuk anak-anak, dapat potensi terjadi yang disebut severe inflammatory syndrome in children. Walau belum terlalu jelas, apakah keadaan ini memengaruhi angka kejadian covid-19 pada anakanak. Masih banyak tantangan dalam pengobatan covid-19. Para ahli di seluruh dunia terus giat melakukan berbagai penelitian untuk mendapatkan obat yang tepat. Baik dalam bentuk obat yang benar-benar baru maupun menggunakan obat yang sudah ada untuk penyakit lain yang diharapkan juga dapat menangani covid-19. Sementara itu, semua masih berproses, kita semua diharapkan terus menerapkan protokol kesehatan dengan ketat, menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan. (Tjandra Yoga Aditama, Guru besar paru fkui, mantan direktur who searo, mantan dirjen p2p & ka balitbangkes)