Kejaksaan Agung memastikan akan menindak para penyidik di Kejati Maluku yang melakukan penyelidikan dan penyidikan Perkara Pembangunan PLTMG 10 MW di Pulau Buru.

Pasalnya, upaya Kejaksaan Tinggi Maluku untuk memenjarakan Ferry Tanaya, terkait kasus dugaan korupsi pembangunan PLTMG Namlea kandas. Buktinya, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan lembaga tersebut.

MA dalam keputusannya menegaskan, menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi atau penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Buru, dan membebankan biaya perkara pada seluruh tingkat peradilan dan pada tingkat kasasi kepada negara.

Petikan keputusan Mahkamah Agung tersebut menegaskan, kalau Fery Tanaya tidak terbukti korupsi dana pengadaan lahan untuk pembangunan PLTMG Namlea. Fery Tanaya merupakan pemilik lahan yang karena kepentingan umum, ia rela melepaskan sebagian lahan miliknya untuk PT PLN Maluku membangun proyek mesin pembangkit PLTMG.

Namun dalam perjalanan, Kejaksaan Tinggi Maluku, kala itu dipimpin Kajati, Rorogo Zega menyeret Fery Tanaya yang notabene pemilik lahan masuk dalam pusaran korupsi dengan tuduhan lahan atau tanah  miliknya itu punya negara.

Baca Juga: Desakan KPK Usut Utang Rekanan

Padahal fakta persidangan terbukti lahan yang dibebaskan oleh pengusaha Fery Tanaya kepada PLN untuk kepentingan pembangunan proyek PLTMG 10 MW, diperoleh dengan cara membeli secara sah dihadapan PPAT sejak tahun 1985 dan telah dikuasai dengan itikad baik selama 31 tahun lamanya dengan aman.

Langkah Kejaksaan Agung untuk melakukan penindakan terhadap oknum-oknum jaksa penyidik Kejati Maluku, terkait pengusutan korupsi proyek PLTMG Namlea Kabupaten Buru patut diapresiasi.

Hal itu penting demi menciptakan rasa keadilan dan.kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Maluku.

Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Kejati Maluku dalam kasus dugaan korupsi PLTMG merupakan catatan kritis bagi lembaga kejaksaan untuk hati-hati dalam mengusut kasus korupsi, proses penyelidikan dan penyidikan perlu dilakukan jika itu didukung dengan data-data yang akurat dna cukup bukti yang kuat.

Namun jika proses penyelidikan tidak memiliki bukti yang kuat, maka lembaga kejaksaan tidak harus memaksakan diri untuk melanjutkan kasus tersebut sampai ke pengadilan. Bila perlu menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyelidikan sehingga publik mengetahui. Tetapi jika itu tetap dipaksanakan dan pada akhirnya kasus dugaan korupsi tersebut bebas di pengadilan maka itu justru akan mempermalukan lembaga kejaksaan sendiri, seperti kasus Ferry Tanaya ini.

Selain itu, bisa menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum khususnya kasus korupsi di Maluku.  karena kasus PLTMG ini menjadi catatan buruk bagi penegakan hukum di Maluku khususnya yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Maluku. Kejaksaan Tinggi Malaku kalah di praperadilan bahkan sampai di tingkat kasasi.

Langkah Kejati Maluku yang tetap ngotot proses kasus PLTMG Namlea sampai tingkat kasasi justru akan menimbulkan kekhawatiran masyarakat terhadap proses penegakan hukum yang dilakukan kejaksaan.

Karena itu sangat diharapkan, kasus PLTMG Namlea menjadi catatan kritis bagi Kejaksaan Tinggi Maluku untuk hati-hati dalam mengusut kasus-kasus korupsi, tetapi juga tidak bertindak sewenang-wenang karena kekuasaan dan kewenangan sebagai lembaga penyidik  mengiring seseorang ke ranah hukum tanpa memiliki cukup bukti yang kuat.

Kejaksaan harus belajar penanganan kasus dari Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga ketika dibidik maka kasus tersebut sampai ke pengadilan dan diputuskan hakim sehingga ada efek jera, tetapi bukan diloloskan atau dibebaskan karena lembaga kejaksaan tidak memiliki cukup bukti yang kuat. (*)