AMBON, Siwalimanews – Setelah kalah dalam ka­sus praperadilan, Ferry Tanaya, pengusaha tenar di Kabupaten Buru me­nggugat Kejaksaan Ting­gi (Kejati) Maluku secara perdata di Penga­dilan Negeri (PN) Ambon.

Kejati Maluku dituntut membayar biaya ganti rugi sebesar Rp 10 miliar dengan alasan, lembaga korps adhyaksa tersebut telah menahan Ferry Tanaya selama 25 hari.

Gugatan perdata yang saat ini se­mentara berproses di pengadilan dengan agenda mediasi akhirnya dilanjutkan hakim dengan pembacaan gugatan oleh Ferry Tanaya sebagai pihak penggugat, Kamis (1/4) depan

Menurut Kuasa hukum Ferry Tanaya, Hendri Lusikooy, proses mediasi yang dilakukan pihak pengadilan dengan Ferry Tanaya sebagai peng­gugat dan BPN Namlea sebagai tergugat pertama dan Kejati Maluku sebagai tergugat dua disebabkan karena tidak ada kata sepakat.

“Tidak ada kata sepakat antara penggugat Ferry dan tergugat I BPN Namlea, tergugat II Kejati Maluku. karenanya sidang dilanjutkan Ka­mis depan dengan agenda pembacaan gugatan oleh penggugat,” jelas Lusi­kooy kepada Siwalima, Senin (29/3).

Baca Juga: Kejari Teliti Berkas Anggota DPRD Maluku

Lusikooy menyebutkan, Lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa itu adalah milik sah Ferry Tanaya dan dibeli oleh PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara untuk pemba­ngunan PLTG 10 megawatt.

Kata dia, pihaknya meminta agar tergugat I dan tergugat II dapat membuktikan bahwa lahan tersebut adalah milik negara, namun hal itu tidak bisa dibuktikan dan karena itu sidang dilanjutkan dengan pemba­caan gugatan.

“Lahan itu sah milik Ferry Tanaya yang dibeli dari ahli waris Sadrak Wakano tahun 1985. Sehingga ini milik sah penggugat dan pelepasan hak kepada PLN itu adalah sah karena penggugat melepaskan hak miliknya,” ujarnya.

Sementara itu, Kasi Pidsus Kejati Maluku, Samy Sapulette yang di­kon­firmasi Siwalima mengaku, siap menghadapi gugatan penggugat.

“Kejaksaan siap menghadapi gu­gatan karena kami mempunyai jaksa pengacara negara (JPN) yang kapan saja apabila diperintah pimpinan pasti akan melaksanakan tugasnya.” Ujarnya.

Ketika ditanyakan terkait dengan tuntutan Ferry Tanaya kepada Kejati Maluku untuk membayar biaya ganti rugi sebesar Rp 10 miliar, Sapulette enggan berkomentar. ia hanya me­minta untuk mengikuti saja proses persidangan. “Ikut saja proses sidangnya ya,” singkatnya.

Kantor Staf Presiden Bahas

Seperti diberitakan sebelumnya, Kasus dugaan korupsi pembelian lahan untuk pembangunan Pemba­ngkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTG)  Tahun 2016 di Namlea, Ka­bupaten Buru mendapat sorotan dari Kantor Staf Presiden.

Melalui Deputi Monitoring dan Pengendalian Program Proyek-pro­yek Strategis Nasional KSP, kasus Ferry Tanaya ini dibahas lantaran proyek pembangunan PLTG Namlea termasuk salah satu proyek strategis nasional.

Kepada Siwalima, Selasa (15/3), Penasehat Hukum Ferry Tanaya Herman Koedoeboen mengaku, pihaknya diundang ke KSP guna mengklarifikasi duduk persoalan dari aspek hukum kliennya.

“Jadi dari KSP undang klien saya, PLN, ada juga masyarakat Buru termasuk tokoh-tokoh adat untuk mengklarifikasi proyek PLTG yang mangkrak,” kata Kodeoeboen.

Dijelaskan,  tidak hanya kliennya yang klarifikasi ke KSP tapi ada juga pihak PLN dan masyarakat Buru. “Jadi kita klarifikasi dari pihak PLN juga hadir, masyarakat Buru hadir termasuk pihak Ferry Tanaya yang diwakilkan kuasa hukum,” beber Kodeoboen.

Dikatakan, masyarakat hadir di KSP karena masyarakat punya tuntutan kenapa proyek tidak jalan, sementara mereka butuh listrik.

“Kita menjelaskan, PLN menje­laskan penyebab proyek mangkrak dan proyek itu baru jalan 40 persen,” tandasnya.

Disebutkan, dalam pertemuan itu PLN menjelaskan alasan proyek mangkrak antara lain, pihak PLN sendiri banyak pekerjaan, kemudian permasalahan menyangkut lahan yang berkaitan dengan Ferry Tanaya.

“Kaitan dengan itu, saya selaku kuasa hukum diminta pandangan. Nah, untuk mengetahui kenapa sam­pai persoalan ini ada dan berdampak pada pelaksanaan proyek, akhirnya kita jelaskan aspek hukum dari sisi kita. Nanti pertemuan lanjutan KSP akan mengundang pihak Kejati Maluku, Kontraktor, BPKP, PLN untuk klarifikasi kaitan dengan proyek mangkrak itu,” katanya.

Dirinya menjelaskan dari aspek hukum mengapa Tanaya dipersang­kakan, itu karena argumen Kejati tanah yang diatasnya berdiri proyek PLTG merupakan tanah negara,” urai Koedoeboen.

Koedoeboen juga menambahkan kalau pihaknya sudah masukan semua bukti-bukti dan argumen ke KSP. “Kemungkinan KSP akan undang lagi BPN dan juga Komisi Kejak­saan,” pungkas Kodeoeboen.

Tersangka Dua Kali

Kejaksaan Tinggi Maluku, kem­bali menetapkan pengusaha Ferry Tanaya sebagai tersangka, dalam kasus awal yang disangkakan kepa­da­nya.

Tanaya ditetapkan sebagai ter­sangka oleh Kejati Maluku dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan PLTG Tahun 2016 di Namlea, Kabupaten Buru.

Tanaya ditetapkan sebagai ter­sangka pada 27 Januari 2021, setelah dilakukan gelar perkara, Kejati menerbitkan surat penetapan nomor B-212/Q.1/Fd.2/01/2021.

Untuk kedua kalinya, Tanaya di­tetapkan sebagai tersangka oleh lem­baga korps Adhyaksa itu. Sebe­lumnya pada bulan Juni 2020 dan pada tanggal 31 Agustus 2020 dia ditahan.

Menolak penetapan dan penaha­nan tersebut, Tanaya melalui tim kuasa hukumnya, Hendri Lusikooy dan Herman Koedoeboen mengaju­kan praperadilan di PN Ambon pada 10 September 2020.

Langkah praperadilan Tanaya berhasil, Hakim tunggal Rahmat Selang pada 24 September 2020 membatalkan surat perintah penyidi­kan Kejati Maluku nomor Print-01/S.1/FD.1/04/2019 tertanggal 30 April 2019.

Sehari setelah putusan tersebut, Kejati Maluku kemudian menerbit­kan lagi Sprindik baru pada 25 September 2020, sekaligus melayangkan Surat Pemberitahuan Penyidikan kepada Tanaya.

Untuk membuktikan tindak pidana korupsi yang dilakukan Tanaya, Ke­jati Maluku meminta ulang, Badan Pengawasan Keuangan dan Pemba­ngunan Perwakilan Maluku melaku­kan audit. Audit yang pertama pada 17 Maret 2020 Rp 6 miliar, dan hasil audit kedua dikeluarkan BPKP pada bulan Desember 2020 juga kerugian negara Rp 6 miliar.

Kejati kemudian melakukan gelar perkara dan ekspos setelah meme­nuhi cukup bukti yang kuat, alhasil­nya Tanaya kembali ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Januari 2020.

Informasi penetapan tersangka tersebut disampaikan oleh Kasi Pen­kum Kejati Maluku, Samy Sapulette dalam rilisnya kepada Siwalima, Selasa (2/2).

Selain Tanaya, tim Kejati Maluku juga menetapkan kepala Seksi Pe­ngadaan Tanah BPN Buru, Abdul Gafur Laitupa sebagai tersangka.

Kejati menerbitkan surat peneta­pan tersangka dengan nomor B-212/Q.1/Fd.2/01/2021 kepada Feri Ta­naya dan nomor  B-213/Q.1/Fd.2/01/2021 kepada Abdul Gafur Laitupa.

“Dari serangkaian tindakan penyi­dikan, diperoleh bukti permulaan yang cukup dan setelah dilakukan ekspos atau gelar perkara pada 27 Januari, kita terbitkan surat peneta­pan tersangka untuk FT dan AGL,” ujar Sapulette.

Untuk diketahui, Lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa itu adalah milik Ferry, dan dibeli oleh PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.

Diduga ada kongkalikong  antara Ferry, PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan pihak BPN Kabupaten Buru dalam transaksi pembayaran. Sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga lahan itu hanya Rp 36.000 per meter2, namun mereka main mata untuk melakukan mark up, sehingga merugikan negara lebih dari Rp 6 miliar. (S-19)